Lembah Selaksa Bunga Chapter 04

NIC

Ditanya begini, Siangkoan Leng tak mampu menjawab. Di dalam hatinya dia merasa bingung. Sejak dulu dia amat takut terhadap kakaknya ini yang selalu penyabar, mengalah, namun yang segala-galanya melebihi dirinya. Justeru karena kelembutan dan kebaikan hati Sie Bun Liong itulah yang membuat dia selalu tunduk dan menurut.

“Aku...... aku belum tahu, Liong-ko. Maklumlah, wanita biasanya malu-malu untuk mengaku cinta. Akan tetapi aku sedang membujuknya dan agaknya ia tidak menolak ketika kulamar untuk menjadi isteriku.”

“Hemm, calon isterimu itu gadis dari manakah dan di mana ia tinggal?”

Siangkoan Leng semakin bingung. Dia merasa yakin benar bahwa kalau kakaknya yang selalu menuntut kebenaran ini tahu bahwa calon isterinya adalah gadis yang ditawannya dan dia hendak memaksanya menjadi isterinya, tentu kakaknya akan marah sekali dan jelas akan melarangnya! Dia sudah tergila-gila kepada Hwe-thian Mo-li dan tidak ingin dihalangi pernikahannya dengan gadis itu.

Dia harus menggunakan akal karena tidak mungkin dia dapat menggunakan kekerasan terhadap kakaknya untuk mencapai niatnya. Dia tahu bahwa selain dia tidak akan mampu mengalahkan Sie Bun Liong, juga sebagian anggauta Ban-hwa-pang terutama yang sudah lama, tentu tidak mau membelanya untuk mengeroyok Sie Bun Liong yang disegani dan dihormati semua anggautanya.

“Liong-ko, Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis kang-ouw yang sudah tidak berkeluarga dan bertempat tinggal tetap. Sejak kami bertemu, ia tidak meninggalkan tempat kita ini.”

“Ah, dia sudah berada di sini? Aku ingin melihat calon Adik Iparku, Leng-te!” kata Sie Bun Liong dengan wajah berseri gembira dan agak kemerahan karena dia telah minum agak terlalu banyak arak. Sudah beberapa tahun ini dia jarang minum arak sampai demikian banyaknya sehingga dia kini terpengaruh dan agak mabok.

Siangkoan Leng terkejut sekali. “Ah, Liong-ko, mana mungkin engkau dapat menemuinya sekarang? Ia tentu malu sekali dan memang seorang calon mempelai wanita tidak boleh menemui seorang pria sebelum menikah, bahkan aku sendiri tidak berani menemuinya. Ia tentu akan merasa terhina, dan ia galak sekali, Liong-ko. Bersabarlah sampai kami menikah besok. Sekarang karena aku merasa rindu sekali padamu, mari kita minum sepuasnya sambil berbincang-bincang. Engkau harus menceritakan semua pengalamanmu selama merantau!”

Karena alasan yang dikemukakan adiknya itu masuk akal, Sie Bun Liong tidak mau mendesak lagi untuk bertemu dengan Hwe-thian Mo-li.

“Leng-te, dalam perjalananku ke sini, aku mendengar kabar-kabar yang tidak begitu menyenangkan tentang Ban-hwa-pang kita. Ada yang mengabarkan bahwa kini Ban-hwa-pang merupakan perkumpulan yang ditakuti orang, anggautanya banyak yang bertindak kasar dan kejam terhadap rakyat. Bahkan kabarnya Ban-hwa-pang suka memeras para pedagang di kota-kota sekitar sini. Benarkah engkau melakukan hal yang tidak patut itu, Leng-te?”

“Ah, itu hanya kabar bohong, disebarkan orang-orang yang tidak suka kepada perkumpulan kita, Liong-ko. Kami memang menerima sumbangan, namun itu diberi secara sukarela oleh para pedagang yang merasa keamanannya terlindung oleh Ban-hwa-pang. Kalau kami bersikap tegas dan keras, itu pun hanya terhadap para penjahat yang mengganggu rakyat!”

“Hemm, mudah-mudahan keteranganmu benar. Biarlah, soal calon isterimu itu, biar kutemui besok. Kalau memang ia dengan sukarela mau menjadi isterimu, aku pun tidak akan menghalangimu. Akan tetapi, aku melarang keras kalau engkau menggunakan kekerasan dan paksaan.”

“Ah, tentu saja tidak, Liong-ko. Mari, mari minum lagi, Liong-ko!” “Ah, sudah terlalu banyak aku minum, Adikku!”

“Liong-ko, tanpa doa restumu sebagai pengganti orang tua kita, aku tidak akan merasa tenang dan bahagia. Marilah minum, Liong-ko, demi mendoakan kebahagiaanku bersama calon isteriku. Marilah, Liong-ko!”

Sampai malam mereka bercakap-cakap membicarakan masa lalu dan pengalaman masing-masing sejak mereka berpisah sebagai pemuda dan kini mereka sudah sama-sama berusia empatpuluh tahunan. Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan minum arak. Siangkoan Leng yang memang setiap hari suka minum banyak arak, tentu saja lebih kuat dalam hal minuman ini dibandingkan kakaknya yang sudah bertahun- tahun tidak pernah minum arak.

Akhirnya, Sie Bun Liong yang ikut bergembira menghadapi pernikahan adiknya sehingga tidak tega menolak ajakan Siangkoan Leng untuk minum arak tanpa ukuran lagi, meletakkan kepalanya berbantal lengan di atas meja dalam keadaan tidak sadar karena mabok berat. Sambil tertawa-tawa Siangkoan Leng membantu dan memapah kakaknya keluar dari ruangan itu.

“Ha-ha-ha, Liong-ko, engkau sudah tidak kuat minum lagi! Ha-ha, marilah, mari beristirahat, engkau harus membantuku, Liong-ko ha-ha-ha!” Siangkoan Leng yang hanya setengah mabok tertawa-tawa gembira.

Dia ingin menyenangkan hati kakaknya agar kakaknya itu tidak menghalangi pernikahannya, melainkan membantunya.

Malam telah larut, bahkan setelah tengah malam, gedung tempat tinggal Siangkoan Leng telah menjadi sepi. Semua anggauta Ban-hwa-pang yang sehari penuh tadi bekerja menghias seluruh perkampungan mereka untuk mempersiapkan perayaan pernikahan ketua mereka, kini sudah tidur melepaskan lelah.

Siang Lan melihat betapa lima orang wanita yang menjaganya sudah tidur pulas di atas lantai. Ia sejak tadi berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya, namun tidak berhasil. Tali itu terlampau kuat, agak lentur sehingga tidak dapat putus. Juga rantai baja pada kakinya amat kuat. Kini ia duduk bersila di atas pembaringan untuk menghimpun tenaga. Ia pikir bahwa untuk melaksanakan upacara pernikahan besok, mau tidak mau Siangkoan Leng pasti akan melepaskan ikatan kaki tangannya. Tidak mungkin ia harus melakukan upacara pernikahan dalam keadaan terbelenggu disaksikan para tamu!

Nah, kesempatan itu, walaupun sedikit dan di sana akan terdapat banyak kaki tangan Siangkoan Leng, akan ia pergunakan untuk mengamuk dan membebaskan diri! Untuk itu ia membutuhkan banyak tenaga murni, maka malam ini ia duduk melakukan siu-lian (samadhi) menghimpun tenaga.

Lewat tengah malam, suasananya menjadi semakin sepi. Siang Lan yang tenggelam ke dalam samadhi menjadi peka sekali. Ia bahkan dapat mendengar dengkur yang datang dari kamar-kamar sebelah, bahkan pernapasan halus dari lima orang wanita pelayan di lantai itupun terdengar dengan jelas olehnya.

Tiba-tiba, pada waktu jauh lewat tengah malam, pendengarannya menangkap gerakan yang tidak wajar itu di luar kamar itu. Ia membuka sepasang matanya dan melihat betapa lilin yang tadi bernyala di sudut kamar telah padam. Juga lampu kecil di atas meja berkedap-kedip, apinya bergoyang.

Kemudian ada angin bertiup dan api lampu itu pun padam, membuat ruangan itu menjadi remang-remang karena hanya mendapat sedikit sinar dari lampu yang berada di luar. Sinar itu memasuki kamar lewat daun jendela yang telah terbuka!

Sesosok bayangan dalam cuaca remang-remang itu berkelebat mendekati pembaringan. Siang Lan cepat mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya yang terikat untuk menyerang bayangan yang mendekatinya itu.

“Wuuuttt !” Pukulan gadis itu dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membunuh

bayangan yang ia yakin tentulah Siangkoan Leng yang berniat buruk terhadap dirinya..

“Plakk! Plakk!” Dua pukulannya itu tertangkis dan Siang Lan merasa betapa kedua tangannya bertemu tangan yang demikian lemas dan lunak sehingga menyerap semua tenaga pukulannya. Ia terkejut sekali akan tetapi tiba-tiba dengan cepat sekali ada tangan yang menotoknya.

Seketika ia terkulai lemas, tak mampu bergerak menggunakan kekuatan tenaga sin-kang lagi, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Demikian hebatnya totokan itu, membuat ia terheran-heran. Tubuhnya tidak terasa nyeri, juga tidak lumpuh, akan tetapi anehnya ia tidak mampu menggunakan tenaganya!

01.03. Pembantaian Laki-laki Ban-hwa-pang

Tiba-tiba ia menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Jerit itu terjadi di dalam hatinya saking kaget dan ngerinya karena ada tangan yang dengan lembut melepaskan pakaiannya dan menanggalkan pakaian itu dari tubuhnya! Dan tangan-tangan yang gerakannya lembut namun kuat sekali itu bahkan membuka ikatan kedua tangannya dan juga belenggu pada kakinya.

Ia kini bebas dari belenggu, akan tetapi tubuhnya tidak dapat meronta dan sama sekali tidak berdaya. Yang terjadi kemudian membuat ia menjerit-jerit dalam hatinya.

Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan akhirnya ia jatuh pingsan karena tidak dapat menahan rasa ngeri, marah, benci dan perasaannya hancur lebur. Pada saat itu, sebelum ia jatuh pingsan, ia ingin mati saja. Ia telah diperkosa orang tanpa ia mampu bergerak atau menjerit. Siang Lan tentu saja tidak tahu berapa lamanya ia dalam keadaan seperti itu dan pingsan. Ketika ia siuman, ia mendengar suara seperti isak tangis dan ada bayangan terhuyung meninggalkan pembaringan menuju ke jendela yang terbuka.

Pada saat itu, Siang Lan teringat apa yang telah terjadi menimpa dirinya dan tiba-tiba ia merasa betapa ia dapat lagi menggerakkan kaki tangannya yang sudah tidak terbelenggu lagi. Cepat ia melompat turun hendak mengejar bayangan itu, yang kini telah melompat keluar melalui lubang jendela. Akan tetapi melihat betapa dirinya dalam keadaan telanjang bulat, ia terkejut bukan main dan menahan gerakannya yang hendak melakukan pengejaran.

Dalam cuaca remang-remang itu, cepat ia menyambar pakaiannya yang bertumpuk di atas tepi pembaringan. Cepat ia mengenakan pakaian dengan air mata bercucuran akan tetapi menahan suara tangisnya. Ia menyadari benar apa yang telah terjadi. Tadi malam ia tertotok dan dalam keadaan tak berdaya telah diperkosa orang!

Posting Komentar