Lembah Selaksa Bunga Chapter 03

NIC

Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dia duduk di tepi pembaringan dan menatap wajah Siang Lan yang kini tampak semakin cantik jelita dan tersenyum lebar.

“Aih, kitanya engkau yang berjuluk Hwe-thian Mo-li itu, Nona? Bagus, bagus! Makin mantap lagi hatiku untuk memperisterimu, karena kita berdua suami isteri tentu akan menjagoi dunia kang-ouw dan membuat Ban-hwa-pang menjadi semakin besar!”

Kini Siang Lan tak mampu menahan kemarahannya. Ia meronta sambil memaki. “Jahanam Siangkoan Leng! Lepaskan aku dan ingin kulihat sampai di mana kehebatan tombakmu. Hayo, kalau engkau memang laki-laki, kita bertanding sampai napas terakhir!”

Siangkoan Leng terkejut melihat betapa kaki tangan gadis itu mulai bergerak-gerak. Tahulah dia bahwa pengaruh totokannya mulai memudar dan kalau gadis itu pulih kembali tenaganya, bukan tidak mungkin ia akan mampu merenggut putus tali pengikat kaki tangannya. Maka cepat dia menghampiri dan tiga kali jari tangannya bergerak menotok kedua pundak dan punggung Siang Lan, membuat gadis itu tidak dapat lagi menggerakkan kaki tangannya.

“Jahanam! Laki-laki pengecut!” Siang Lan memaki-maki dengan tidak berdaya.

“Ha-ha-ha, tunggu sampai besok, sayangku. Besok engkau tentu akan menyanyikan lagu lain kalau sudah menjadi isteriku!” kata Siangkoan Leng sambil meninggalkan kamar itu.

Gadis itu menjerit-jerit dengan makiannya dan baru berhenti setelah lima orang wanita itu memasuki kamar lagi. Siang Lan dapat mengetahui dari pandang mata mereka bahwa lima orang wanita itu menaruh hati kasihan kepadanya, namun mereka merasa ngeri dan takut akan hukuman ketua mereka, maka mereka pun hanya berusaha untuk menghibur dan menyenangkan hati gadis tawanan itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua anak buah Ban-hwa-pang sudah bekerja dan sibuk menyambut pesta pernikahan yang akan dilaksanakan besok lusa atau tiga hari setelah Siang Lan ditawan. Siangkoan Leng yang cukup cerdik tidak mau mengunjungi kamar di mana Siang Lan berada karena dia tidak ingin calon isterinya itu terganggu.

Hanya kadang-kadang saja dia memeriksa apakah gadis itu masih belum membahayakan dan masih dalam keadaan terbelenggu. Karena dia tidak ingin kesehatan calon isterinya terganggu, maka dia tidak lagi memperpanjang tubuh Siang Lan dalam keadaan tertotok.

Dia hanya menggunakan pengikat kaki dan tangan gadis itu yang teramat ulet dan kuat, yang mengikat kedua pergelangan tangan Siang Lan. Adapun kedua kakinya terbelenggu rantai baja yang tebal dengan gelang baja longgar mengikat kedua pergelangan kakinya.

Biarpun gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, namun kiranya akan sulit baginya untuk dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggu ini. Akan tetapi karena belenggu itu panjang, diikatkan pada baja di luar tembok kamar sehingga kuat sekali, Siang Lan kini dapat duduk, berdiri atau rebah di atas pembaringan.

Tubuhnya masih agak lemah karena pengaruh totokan yang terlalu lama pada malam hari tadi. Gadis itu tidak mengamuk lagi, melainkan bersabar menyimpan tenaga dan menanti datangnya kesempatan untuk dapat membebaskan diri.

Ban-hwa-pang menyebar undangan, akan tetapi karena pesta pernikahan itu dilakukan mendadak, hanya ada waktu tiga hari, tentu saja mereka hanya dapat mengundang orang-orang yang tinggal tidak amat jauh dari Ban-hwa-pang.

Pada hari yang kedua, tempat itu telah dihias dan semua anggauta Ban-hwa-pang tampak bergembira. Sang Ketua sendiri, Siangkoan Leng, sibuk di ruangan khusus di mana dia membuat ramuan obat dari berbagai macam bunga. Dia memang ahli membuat obat dari bunga-bunga itu.

Demikian banyaknya bunga tumbuh di lembah itu dan dia sudah mempelajari khasiat setiap macam bunga. Ada bunga yang dapat menyembuhkan luka beracun, ada yang dapat mencuci darah, ada yang menguatkan tubuh, melawan bermacam penyakit. Ada pula bunga yang mengandung racun mematikan, ada yang dapat membius, bahkan ada yang dapat diramu menjadi semacam obat perangsang yang amat kuat.

Ruangan ini merupakan kamar pribadi dan tidak ada orang lain diperbolehkan masuk kecuali seijin Siangkoan Leng. Pada siang hari itu, Siangkoan Leng sibuk membuat ramuan dan dia menutup daun pintu dan jendela kamar itu agar kegiatannya jangan terganggu orang lain.

Dia membuat ramuan obat-obatan dan di antara lain dia meramu obat perangsang yang amat kuat. Siangkoan Leng sudah memperhitungkan bahwa tidak akan mudah menundukkan seorang gadis seperti Hwe-thian Mo-li agar menyerahkan diri secara sukarela kepadanya. Maka dia hendak menggunakan obat itu agar gadis itu mau menyerah tanpa paksaan dan sekali menyerah, gadis itu tentu akan menjadi isterinya yang boleh diandalkan memperkuat kedudukannya!

Saking senangnya membayangkan penyerahan diri Hwe-thian Mo-li secara sukarela kepadanya, Siangkoan Leng meramu obat sambil tersenyum-senyum. Setelah selesai membuat beberapa ramuan bunga kering itu menjadi bubuk halus, dia memasukkan bubukan obat itu ke dalam sebuah kantung kain kecil lalu mengantunginya.

Tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara lembut. “Leng-te (Adik Leng). !”

Siangkoan Leng terkejut sekali dan begitu membalikkan tubuhnya, dia melihat daun jendela sudah terbuka dan di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tampan lembut namun rambutnya telah hampir putih seluruhnya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Pakaiannya juga sederhana, berwarna kuning. Laki-laki itu berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum lembut dan matanya yang tajam itu memiliki pandangan yang menembus.

Melihat siapa yang datang, Siangkoan Leng tidak menjadi heran lagi. Bagi orang ini, tidak ada tempat yang tidak dapat dimasukinya, pikirnya dan dia berseru dengan gembira. “Liong-ko (Kakak Liong)......!!” Dua orang laki-laki itu saling mendekati dan laki-laki yang baru datang itu menaruh kedua tangan di atas pundak Siangkoan Leng.

“Liong-ko, sudah bertahun-tahun engkau menghilang, ke mana sajakah engkau?”

“Aku merantau ke barat, Leng-te dan baru sekarang kembali ke timur. Baru sekarang aku datang dan begitu memasuki Lembah Selaksa Bunga aku disambut suasana pesta yang meriah. Mendengar bahwa engkau besok pagi akan menikah, aku hampir tidak percaya dan langsung saja mencarimu ke kamar ini. Leng-te, benar-benarkah engkau hendak menikah?”

“Benar, Liong-ko. Mari kita duduk di ruangan dalam! Pertemuan menggembirakan ini harus kita rayakan. Ah, betapa bahagianya hatiku bahwa engkau datang pada saat aku akan merayakan pernikahanku, Liong-ko!” kata Siangkoan Leng gembira.

Mereka keluar dari kamar itu lalu duduk menghadapi hidangan dan arak di ruangan dalam di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira sekali karena kakak dan adik ini sudah saling berpisah selama hampir duapuluh tahun!

Laki-laki itu berusia sekitar empatpuluh dua tahun dan bernama Sie Bun Liong. Ketika dia berusia lima tahun, ayahnya meninggal dunia dan ibunya yang menjadi janda diperisteri oleh Siangkoan Kok, Ketua Ban- hwa-pang yang juga sudah menduda dan mempunyai putera Siangkoan Leng. Jadi, hubungan antara Sie Bun Liong dan Siangkoan Leng sebetulnya jauh, tidak ada hubungan keluarga.

Mereka hanya saudara tiri berlainan ayah ibu. Akan tetapi karena sejak berusia lima tahun Sie Bun Liong ikut ibunya yang menjadi isteri Ketua Ban-hwa-pang, maka dia tumbuh besar di Lembah Selaksa Bunga itu. Mereka berdua belajar ilmu silat dari mendiang Siangkoan Kok, akan tetapi ternyata Sie Bun Liong memiliki bakat yang jauh lebih baik sehingga dalam ilmu silat, dia selalu menjadi contoh dan pembimbing adik tirinya.

Ketika Siangkoan Kok meninggal, yang menggantikannya menjadi Ketua Ban-hwa-pang adalah Siangkoan Leng sebagai putera kandung. Biarpun Sie Bun Liong jauh lebih lihai ilmu silatnya, namun dia yang ketika itu berusia duapuluh tahun menganjurkan adik tirinya menjadi ketua.

Dia sendiri tidak senang menjadi ketua. Dia lebih senang memperdalam ilmu silat dan sastra, bahkan beberapa tahun sesudah adik tirinya itu menggantikan ayah tirinya menjadi Ketua Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong meninggalkan Lembah Selaksa Bunga dan melakukan perantauan sampai bertahun-tahun dan baru sekarang dia muncul, bertemu lagi dengan adik tirinya setelah mereka berdua berusia lebih dari empatpuluh tahun.

Selama makan minum, Sie Bun Liong tidak bicara, agaknya dia tidak ingin mengganggu adiknya yang bergembira menyambut kedatangannya. Akan tetapi setelah mereka selesai makan minum, mereka duduk di ruangan depan yang hawanya lebih sejuk dan Sie Bun Liong bertanya.

“Leng-te, ketika aku datang, di sini sedang dihias untuk menyambut pesta pernikahanmu besok. Leng-te, gadis manakah yang telah membuat engkau mengambil keputusan untuk menikah, padahal sejak dulu engkau bilang bahwa engkau tidak akan mengikat diri dengan pernikahan?”

“Ah, Liong-ko, sekali ini aku benar-benar terpesona dan tergila-gila melihat calon isteriku. Dan ia itu adalah seorang gadis kang-ouw yang amat terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li, lihai dan cantik jelita.”

“Mo-li ?” Sie Bun Liong mengerutkan alisnya mendengar adiknya akan menikah dengan seorang wanita

yang berjuluk Mo-li (Iblis Betina)! Karena selama ini dia merantau dan tinggal di barat, di daerah Pegunungan Himalaya, maka tentu saja dia tidak mengenal julukan Hwe-thian Mo-li itu.

“Ia memang seorang tokoh persilatan yang liar dan ganas, juga lihai sekali, Liong-ko. Maka aku mengambil keputusan untuk menjadikannya isteriku agar aku dapat membimbing ia meninggalkan keganasannya.”

Sie Bun Liong mengangguk-angguk. “Hemm, niatmu itu tidak buruk. Akan tetapi dasar perjodohan harus ada cinta kasih kedua pihak. Apa engkau mencintanya?”

“Wah, aku tergila-gila padanya, Liong-ko. Aku sungguh telah jatuh cinta begitu aku bertemu dengannya,” kata Siangkoan Leng gembira. Kakaknya mengamati wajahnya yang tidak dapat dibilang menarik itu.

“Bagus kalau engkau begitu mencintanya. Akan tetapi bagaimana dengan gadis itu? Apakah ia juga mencintamu?”

Posting Komentar