Bwee Hwa tersenyum nakal. “Bukan duga sembarang duga, twako. Tadi aku mendengar betapa engkau membujuk Kam Ki dan mengajaknya kembali kepada suhumu. Aku yakin engkau amat menyayang sutemu yang sejak kecil kaukenal itu, dan engkau yang memiliki budi pekerti halus dan bijaksana, tentu tidak tega untuk membunuhnya.”
Bun Sam menghela napas. “Engkau benar, Hwa-moi. Aku memang tidak mau mendesaknya, bukan karena aku berbudi baik dan bijaksana, melainkan karena aku lemah. Aku tidak patut dipuji, sepantasnya dicela!”
“Aku kagum padamu dan aku selalu memujimu, Sam-ko. Sekarang tiba giliranmu, Kong-ko. Ceritakan pengalamanmu, bagaimana engkau dapat melo-loskan diri dan datang bersama Kiang-ko dan pasukan.”
“Hwa-moi, engkau dulu ceritakan apa yang terjadi. Kami sudah ingin sekali mendengarnya, terutama aku,” kata Ui Kiang.
“Baiklah, dan karena Sam-ko dan kedua enci kembar belum mengetahui, biar kuceritakan dari semula. Kami bertiga, aku, Kong-ko ini, dan mendiang twako Ong Siong Li, melakukan pengejaran terhadap penjahat Pek-lian-kauw yang merampok patung emas Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si dan telah membunuh paman Ui Cun Lee, ayah kakak Ui Kiang dan Ui Kong ini. Setelah kami menemukan sarang Pek-lian-kauw di puncak bukit ini, kami bertiga mendaki puncak dan. ah, kalau aku teringat lalu aku
menyadari betapa bodoh dan lancangnya aku. Mendiang kakak Ong Siong Li sudah memperingatkan bahwa tempat ini berbahaya dan sebaiknya mencari bala bantuan. Akan tetapi aku. aku yang dungu
ini membantah dan aku memaksanya nekat menyerbu perkampungan Pek-lian-kauw. Dan akibatnya.......
Li-ko telah tewas....... ah, aku menyesal sekali tidak menaati peringatannya.” Teringat akan ini, Bwee Hwa memejamkan matanya mencegah mengalirnya kembali air matanya.
“Hwa-moi, akulah yang bersalah!” Ui Kong berkata sambil mengepal tangannya. “Aku juga membantah pendapat Li-ko dan memaksanya terus naik ke sarang Pek-lian-kauw. Dia tewas karena kebodohanku yang sombong mengandalkan kekuatan sendiri sehingga akhirnya dia malah yang menjadi korban. Li-ko tewas karena kecerobohanku!”
“Kecerobohan kita berdua, Kong-ko.”
Can Gin Siang yang duduk dekat Bwee Hwa, merangkul gadis itu dan membujuk. “Sudahlah, Bwee Hwa, tiada gunanya disesali dan ditangisi lagi. Bagaimanapun juga, dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa.” Can Kim Siang juga menghibur Bwee Hwa. “Benar apa yang dikatakan A Gin itu, Bwee Hwa. Setiap orang bisa saja melakukan kekeliruan perhitungan seperti itu. Lebih baik lanjutkan ceritamu.”
Bwee Hwa mengangguk. Menyadari bahwa Siong Li tewas sebagai seorang pendekar gagah sedikitnya dapat menghibur hatinya.
“Setelah kami bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw, kami segera dihadapi Thio Kam Ki dan dikeroyok para anggauta Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko. Aku sendiri menghadapi Thio Kam Ki, akan tetapi dia terlalu lihai bagiku sehingga aku tertawan dan aku masih sempat melihat kakak Ong Siong Li dikeroyok banyak anak buah Pek-lian-kauw. Si jahanam Thio Kam Ki itu menawanku dan mengikat aku ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian aku mendengar ribut-ribut di luar seperti orang berkelahi dan tak lama kemudian jahanam itu masuk kamar sambil membawa kedua enci ini sebagai tawanan pula. Dia juga mengikat kaki tangan mereka seperti aku. Kami sama sekali tidak berdaya dan jahanam itu mengeluarkan ancaman-ancaman yang mengerikan. Akan tetapi ketika dia keluar dari kamar, katanya hendak mandi, muncullah Sam-ko ini yang membebaskan kami bertiga. Kami segera bersama Sam-ko keluar dan mengamuk! Nah, itulah ceritaku. Sekarang aku minta kakak Ui Kong menceritakan pengalamannya karena ketika Siong Li dikeroyok dan aku tertawan, dia masih dikeroyok banyak orang.”
Ui Kong menghela napas panjang. “Wah, menyeramkan sekali ceritamu, Hwa-moi. Untung ada Sam-ko ini! Tentang diriku. ah, semakin sedih kalau kuingat pengalamanku. Ketika terjadi pertempuran itu
aku berhadapan dengan Pek-bin Moko yang amat kubenci karena dialah yang dulu membunuh ayahku. Biarpun dikeroyok banyak orang, dengan nekat aku menerjangnya dan akhirnya aku berhasil membalaskan kematian ayah, berhasil membunuh Pek-bin Moko. Akan tetapi keadaan Li-ko dan aku semakin terdesak. Dalam keadaan seperti itu Li-twako mendesak aku agar supaya aku melarikan diri dan mencari bala bantuan. Tadinya aku membantah, akan tetapi Li-ko mendesak dan mengatakan agar aku mencari bantuan untuk menolong Hwa-moi yang tertawan. Terpaksa aku mencari jalan keluar dan Li-ko mengamuk, menahan mereka yang hendak mengejar aku. Aku berhasil mendapatkan kuda kami dan aku melarikan diri turun gunung.”
“Kami berpapasan denganmu ketika kami berdua menunggang kuda mendaki puncak!” kata Can Gin Siang sambil memandang wajah Ui Kong.
“Ya, aku ingat dan aku sempat heran melihat dua orang gadis yang persis sama segalanya,” kata Ui Kong sambil tersenyum. “Setelah tiba di lereng bawah, aku bertemu dengan kakakku Ui Kiang ini yang membawa duaratus orang perajurit. Kami lalu menyerbu ke puncak dan selanjutnya kalian sudah mengetahui.” Ui Kong mengakhiri ceritanya.
“Engkau tidak perlu menyesal telah meninggalkan Li-ko, karena bagaimanapun juga, Li-ko benar. Kalau engkau tidak melarikan diri mencari bala bantuan, tentu engkaupun akan tewas dikeroyok begitu banyak orang, terutama di sana ada Kam Ki dan Ang-bin Moko yang lihai,” kata Bwee Hwa. “Sekarang giliranmu, Kiang-ko. Dahulu engkau kami tinggalkan di kota Ki-lok, lalu bagaimana engkau dapat mengajak pasukan untuk menolong kami?”
Ui Kiang menghela napas panjang dan berkata dengan suaranya yang lembut. “Setelah kalian bertiga berangkat untuk mencari penjahat yang membunuh ayah dan mencuri patung, aku merasa gelisah dan juga bersedih. Ayah dibunuh orang dan aku yang lemah ini tidak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya seorang kutu buku, seorang siucai (sastrawan) yang lemah dan tiada guna. Patung kuil Ban-hok-si dicuri orang akupun tidak dapat bantu mencarinya. Aku khawatir kalian bertiga akan menghadapi bahaya, maka aku lalu menghubungi komandan pasukan keamanan yang menjadi sahabat baik ayah dan minta bantuannya. Dia segera membantuku dengan mengirim pasukan beserta tiga perwiranya. Aku lalu mengajak mereka pergi mencari gerombolan Kiu-liong-pang dan berhasil memaksa pimpinan mereka untuk mengatakan di mana adanya sarang Pek-lian-kauw. Setelah mendapatkan keterangan, aku lalu mengajak pasukan itu ke sini dan selanjutnya kalian tahu apa yang terjadi.”
Ui Kong memegang lengan kakaknya. “Kiang-ko, biarpun engkau tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi engkau berjasa besar dalam peristiwa ini. Engkau pula yang dulu memberi petunjuk kepada kami untuk mencari keterangan kepada Kiu-liong-pang dan sekarang, engkau yang menolong kami membasmi Pek-lian-kauw. Biarpun tubuhmu tidak mengandung tenaga kuat seperti kami yang telah mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun, namun engkau memiliki pikiran yang kuat dan pandai. Aku bangga sekali, Kiang-ko!”
“Nah, semua orang telah menceritakan pengalamannya. Kini tinggal kalian berdua, enci (kakak perempuan) kembar. Aih, aku bingung sekali kalau memandang kalian ini. Tadi kalian sudah memperkenalkan nama kalian dan aku ingat benar, yaitu Can Kim Siang dan Can Gin Siang, akan tetapi kalian begitu sama segala-galanya, bagaimana aku tahu mana yang Kim (emas) mana yang Gin (perak)?” kata Bwee Hwa sambil tertawa.
Mereka semua ikut tertawa. Betapa cepatnya gadis itu melupakan kedukaannya karena kematian Ong Siong Li, sahabatnya yang paling baik. Pada umumnya orang akan beranggapan bahwa Bwee Hwa tidak mengenal budi atau tidak sayang kepada sahabat baiknya itu. Anggapan ini sebenarnya keliru sehingga banyak orang, demi “jangan dianggap demikian”, suka berlarut-larut dalam perkabungannya karena kematian keluarga. Bahkan ada yang mengenakan pakaian berkabung sampai setahun atau beberapa tahun sebagai tanda kedukaannya! Biar dianggap mengenal budi dan setia kepada orang yang telah meninggal dunia. Padahal, semua kedukaan yang tampak atau sengaja diperlihatkan itu kebanyakan hanya pada luarnya saja. Dalam batinnya sudah lama tidak ada lagi kedukaan itu!
Bwee Hwa adalah seorang gadis yang polos, tidak suka berpura-pura. Orang seperti Bwee Hwa ini tidak mudah terbawa emosi, tidak akan larut dalam duka dan tidak akan mabok dalam suka. Suka dan duka hanya bagaikan angin yang melandanya, namun hanya sebentar dan setelah lewatpun tiada bekasnya lagi.
“Ah, aku tahu mana yang bernama Can Kim Siang dan mana yang Can Gin Siang,” kata Ui Kiang dengan senyum yang khas, senyuman yang membayangkan kesabaran hatinya.
“Aku juga tahu mana Nona Can Gin Siang, tidak mungkin salah!” kata pula Ui Kong dengan gembira.
Bwee Hwa membelalakkan mata dan mengangkat alisnya, senyumnya melebar. Hemm, kakak beradik yang salah satu akan dijodohkan dengannya ini ternyata menaruh perhatian kepada gadis kembar itu! Kalau benar dugaannya, ia merasa lega dan girang sekali.
Sesungguhnya, ia sendiri bingung kalau harus menentukan siapa di antara mereka yang harus dipilihnya. Kedua orang pemuda itu memiliki keistimewaan masing-masing dan ia merasa yakin bahwa keduanya dapat menjadi suami yang baik. Akan tetapi, harus ia akui bahwa biarpun ia merasa kagum dan suka kepada kedua orang kakak beradik Ui itu, seperti juga rasa kagum dan sukanya kepada Ong Siong Li, tidak ada keinginan dalam hatinya untuk menjadi isteri seorang di antara mereka bertiga.
Dulu pernah ia mengira bahwa ia mencinta Siong Li, akan tetapi akhir-akhir ini ia menyadari bahwa rasa sukanya itu hanyalah rasa sayang di antara sahabat. Siong Li terlalu baik kepadanya sehingga ia merasa berhutang budi, kagum dan juga sayang karena ia merasa benar betapa Siong Li amat menyayangnya. Karena itu, melihat kini kedua orang kakak beradik Ui itu tampaknya tertarik kepada sepasang gadis kembar, ia merasa senang sekali.
Karena selain ia merasa tidak ingin menjadi isteri seorang di antara mereka, juga ia merasa bingung dan kasihan kalau harus memilih salah satu karena itu akan membikin kecewa yang lain. Sejak pertemuan pertama, kedua kakak beradik itu seolah bersaing atau berlumba untuk menarik hatinya!
“Kiang-ko dan Kong-ko, coba buktikan kalau kalian memang benar dapat membedakan antara kedua orang enci kembar ini! Rasanya tidak mungkin engkau dapat membedakan. Mereka begitu persis, tidak ada perbedaannya sedikitpun juga. Wajahnya, bentuk badannya, gelung rambutnya, pakaiannya! Wah, benar-benar membingungkan!” kata Bwee Hwa dan melihat gadis kembar itu tertawa, ia berseru, “Lihat, ketawanya juga sama. Bukan main!”
“Akan tetapi aku akan selalu mengenal adik Can Kim Siang!” kata Ui Kiang dengan suara penuh keyakinan dan sepasang matanya memandang ke arah wajah Kim Siang.
“Dan aku akan selalu dapat mengenal adik Can Gin Siang!” kata pula Ui Kong tidak kalah yakin.
“Sekarang begini saja! Aku akan menguji kalian!” kata Bwee Hwa dan ia merasa sangat gembira. “Akan tetapi kalian berdua pergilah dulu ke belakang semak belukar itu agar jangan dapat melihat ke sini. Nanti akan kupanggil untuk memilih satu demi satu. Jangan mengintai, jangan curang dan Sam-ko di sini yang menjadi saksinya!”
Mereka semua merasa gembira seperti sekumpulan anak-anak sedang bermain-main. Ui Kiang dan Ui Kong dengan gembira lalu pergi ke belakang semak belukar. Bwee Hwa berbisik kepada dua orang gadis kembar itu.
“Eh, yang mana sih enci Kim Siang?”
Kim Siang sambil tersenyum menjawab. “Aku Kim Siang dan ini adikku Gin Siang.” Bwee Hwa mengambil sehelai sapu tangan merah dari saku bajunya.
“Kalian menurut saja, aku akan menguji mereka apakah benar-benar mereka dapat mengenal kalian.”
Ia lalu menyelipkan saputangan merah itu di ikat pinggang Kim Siang sehingga tentu saja kini ia tidak bingung lagi. Kim Siang yang memakai saputangan merah di sabuknya dan Gin Siang tidak.
“Kiang-ko, engkau keluarlah!” Bwee Hwa berseru ke arah semak belukar. Ui Kiang keluar dan menghampiri, dipandang oleh Bwee Hwa, dua orang gadis kembar, dan Bun Sam dengan senyum.
“Nah, Kiang-ko, coba katakan yang mana enci Kim Siang?” Sejenak Ui Kiang memandang kepada dua orang gadis kembar yang tersenyum itu, kemudian tanpa ragu dia mendekati Kim Siang dan berkata.
“Inilah adik Can Kim Siang!” Dia menuding ke arah gadis yang memakai tanda merah di ikat pinggangnya itu.
Bwee Hwa dan Bun Sam mengangguk-angguk, dan Bwee Hwa lalu berseru ke arah semak belukar, “Kong-ko, sekarang engkau keluarlah!” kepada Ui Kiang ia berkata, “Kiang-ko, sekarang engkau kembalilah ke belakang semak itu.”
Ui Kong datang dan Ui Kiang kembali ke belakang semak. “Nah, katakan yang mana enci Gin Siang, Kong- ko?” tanya Bwee Hwa.
Ui Kong sejenak memandang dua orang gadis kembar itu dan tanpa ragu lagi dia menunjuk ke arah gadis yang tidak memakai saputangan merah sambil berkata, “Inilah adik Can Gin Siang!”
“Bagus, sekarang aku hendak menguji kalian sekali lagi. Kembalilah ke belakang semak, Kong-ko.”
Sambil tersenyum Ui Kong kembali ke balik semak di mana Ui Kiang sudah lebih dulu bersembunyi. Bwee Hwa cepat mengambil saputangan merah dari ikat pinggang Kim Siang dan memasangnya di ikat pinggang Gin Siang. Dua orang gadis kembar itu tersenyum geli dan Bun Sam juga tersenyum, memandang kagum kepada Bwee Hwa melihat kecerdikan gadis itu menguji kebenaran pengakuan dua orang pemuda itu bahwa mereka dapat mengenal dan membedakan dua orang gadis kembar itu.
“Kiang-ko dan Kong-ko, sekarang kalian berdua keluarlah!” Bwe Hwa berseru. Dua orang pemuda itu keluar dan sambil tersenyum menghampiri dua orang gadis kembar itu.
“Sekarang, coba kalian pilih, yang mana Emas yang mana Perak?” kelakar Bwee Hwa. Dengan menukar tanda sapu tangan merah itu, ia yakin bahwa dua orang pemuda itu akan keliru atau salah pilih.