Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 59

NIC

Kam Ki mencari jalan keluar dengan merobohkan setiap orang yang berada di depannya. Karena dia menyusup ke dalam pertempuran antara banyak orang itu maka Bun Sam tidak dapat mengejarnya, juga tiga orang gadis yang mengamuk dan Ui Kong juga tidak tahu bahwa Thio Kam Ki sedang berusaha melarikan diri. Kejadian itu berlangsung demikian cepat dan Kam Ki berhasil meloloskan dirinya setelah merobohkan belasan orang perajurit!

Mellhat keadaan para anggauta Pek-lian-kauw sudah terdesak hebat dan para pimpinan mereka tidak ada lagi, Ui Kong dan Bwee Hwa lalu cepat memasuki bangunan induk tempat tinggal Kam Ki dan melakukan penggeledahan. Dalam sebuah kamar, mereka menemukan patung emas Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si. Ui Kong segera mengambilnya. Mereka juga menemukan belasan orang gadis muda dan cantik, yaitu mereka yang selama ini diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Ui Kong lalu menyerahkan mereka kepada para perwira pasukan agar kelak para gadis itu dikembalikan ke dusun mereka.

Akhirnya, semua anggauta Pek-lian-kauw yang tadinya melakukan perlawanan mati-matian itu terbasmi hampir semua dan sisanya, hanya belasan orang menjadi putus asa dan melemparkan senjata sambil berlutut tanda menyerah. Mereka menjadi orang-orang tawanan.

Para perwira pasukan lalu memerintahkan para anggauta Pek-lian-kauw yang masih hidup untuk mengurus dan mengubur semua mayat yang menjadi korban pertempuran, merampas semua barang berharga yang berada di perkampungan itu, lalu membakar semua rumah yang terdapat di situ. Kemudian pasukan meninggalkan perkampungan Pek-lian-kauw yang sudah menjadi puing, kembali ke kota Ki-lok dengan gembira karena telah memperoleh kemenangan.

Sie Bun Sam, Ui Kong, Ui Kiang, Lim Bwee Hwa dan dua orang gadis kembar dengan hormat mengurus dan mengubur jenazah Ong Siong Li yang tewas dalam perlawanannya menghadapi pengeroyokan banyak anggauta Pek-lian-kauw tadi. Bwee Hwa tidak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatinya ketika jenazah Siong Li telah dikubur. Ia menangis di depan gundukan tanah itu sehingga membuat para pendekar, terutama Ui Kong dan Ui Kiang yang maklum betapa akrabnya hubungan antara Bwee Hwa dan Siong Li, yang sudah seperti kakak dan adik.

Enam orang pendekar ini menjauhi perkampungan di mana para perajurit tadi sibuk mengurus para korban, merampas barang-barang lalu membakari pondok. Mereka tidak ingin mencampuri urusan pasukan pemerintah.

Dalam kesempatan itu, Bwee Hwa yang memandang Sie Bun Sam berkata, “Saudara yang gagah perkasa dan budiman telah menyelamatkan kami bertiga. Kalau tidak ada engkau, mungkin kami bertiga sekarang sudah mati terbunuh atau membunuh diri.” “Benar sekali. Kami berdua kakak beradik bersyukur dan sangat berterima kasih atas budi pertolongan taihiap tadi,” kata Can Kim Siang sambil mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diikuti oleh adiknya.

“Aneh, kami bertiga berhutang nyawa kepadamu, akan tetapi kita belum saling berkenalan!” kata Bwee Hwa sambil tersenyum. Agaknya kedukaannya karena kematian Siong Li hanya sebentar saja mengganggu kelincahan Bwee Hwa yang selalu bersemangat dan gembira itu.

Sie Bun Sam seolah terpesona memandang wajah dan gaya bicara Lim Bwee Hwa. Belum pernah dia merasa seperti ini. Sudah banyak dia melihat wanita cantik tanpa kesan, akan tetapi sekali ini, ada sesuatu pada diri Bwee Hwa yang membuat dia terpesona.

Dua orang gadis kembar itupun cantik menarik, akan tetapi bagi Bun Sam mereka itu biasa saja. Dia merasa heran sendiri mengapa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Bwee Hwa dan dia menutupi debar jantungnya itu dengan senyum ramah dan dia mengangkat kedua tangan di depan dada kepada tiga orang gadis dan dua orang pemuda itu, membalas penghormatan mereka.

“Ah, sesungguhnya di antara kita tidak perlu merasa berhutang budi karena dalam menghadapi gerombolan penjahat ini kita semua telah bersatu padu. Semua juga berjasa karena telah memenuhi kewajiban masing-masing sebagai orang-orang menentang kejahatan. Bahkan aku mohon maaf dari anda sekalian akan kejahatan yang dilakukan Thio Kam Ki yang sesungguhnya adalah sute-ku (adik seperguruanku) sendiri.”

Bun Sam menghela napas panjang, perasa kecewa dan menyesal sekali bahwa sute yang disayangnya itu ternyata telah tersesat amat jauhnya.

Tentu saja lima orang muda itu terkejut bukan main dan mereka semua memandang kepada Bun Sam dengan sinar mata heran. “Sute-mu? Dia itu sute-mu? Akan tetapi mengapa dia begitu jahat dan engkau musuhi sendiri?” tanya Bwee Hwa.

Bun Sam menghela napas panjang lalu tersenyum. “Sebelum aku menceritakan lebih lanjut tentang Thio Kam Ki, apakah tidak sebaiknya kita saling berkenalan dulu. Rasanya tidak enak bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak kukenal. Nah, perkenalkan, aku bernama Sie Bun Sam, berasal dari pegunungan Himalaya.”

“Aku bernama Lim Bwee Hwa dari…… Twi-bok-san.” Ia mengaku Twi-bok-san, di mana mendiang ibunya tinggal menjadi isteri mendiang Kauw-jiu Pek-wan Kui Ciang Hok, yang sekarang tentu saja menjadi haknya.

“Kami berdua adalah saudara kembar, aku bernama Can Kim Siang, dan ini adikku bernama Can Gin Siang. Kami tinggal di rumah piauw-ci (kakak perempuan misan) kami di bukit Ayam Emas.” Kim Siang memperkenalkan diri mereka, bukan hanya Bun Sam, melainkan kepada Bwee Hwa, Ui Kiang, dan Ui Kong.

“Kami berdua adalah kakak beradik. Aku bernama Ui Kong, dan yang baru datang membawa pasukan ini adalah kakakku Ui Kiang. Kami tinggal di kota Ki-lok.” Ui Kong memperkenalkan diri dan kakaknya. Setelah mereka saling memperkenalkan nama mereka, Bwee Hwa lalu berkata. “Secara kebetulan sekali kita semua berada di sini, bersatu melawan gerombolan Pek-lian-kauw dan saling berkenalan. Sebelum kita bercerita, sebaiknya kalau kita duduk di sana, rasanya canggung kalau kita bicara sambil berdiri saja.”

Semua orang setuju dan menghampiri tempat yang ditunjuk Bwee Hwa, yaitu sebuah pohon besar di bawah mana terdapat banyak batu yang dapat mereka jadikan tempat duduk. Setelah semua orang duduk berhadapan, Bun Sam segera bercerita.

“Kami berdua, yaitu aku dan sute Thio Kam Ki, adalah murid-murid suhu Leng-hong Hoatsu di Himalaya.”

“Ohh! Leng-hong Hoatsu yang mendirikan Hwe-coa-kauw?” tanya Bwee Hwa yang pernah mendengar cerita mendiang Siong Li tentang Hwe-coa-kauw dan tentang pertapa sakti itu.

Bun Sam menggeleng kepala. “Kabar itu sama sekali tidak benar, nona Lim Bwee Hwa……”

“Ih, twako (kakak), kenapa begitu sungkan menyebut aku dengan nona segala? Namaku Bwee Hwa, Lim Bwee Hwa, tanpa nona bagi seorang sahabat,” cela Bwee Hwa.

“Baiklah, Hwa-moi (adik Hwa). Kuulangi, kabar bahwa guruku menjadi pendiri Hwe-coa-kauw itu sama tidak benar. Dahulu, tigapuluh tahun lebih yang lalu, suhu Leng-hong Hoatsu pernah turun gunung dan merantau ke timur, mengajarkan agama dan kebajikan, menolong orang-orang sakit. Beliau memang mempunyai seekor ular yang aneh yang beliau temukan dalam perjalanan dan memelihara ular itu. Ular kecil itu memang mempunyai tonjolan di kanan kiri seperti sayap, dan keadaannya yang aneh itu orang- orang menamakannya Hwe-coa (Ular Terbang). Sesungguhnya ular itu tidak dapat terbang, hanya melompat dari pohon ke bawah dan tonjolan di kanan kiri itu dibentangkan untuk menahan lajunya peluncuran. Nah, orang-orang bodoh yang tahyul itu mulai menyembah-nyembah ular itu yang mereka anggap sebagai penjelmaan dewa dan bahkan mengabarkan bahwa semua kepandaian suhu adalah berkat pertolongan ular itu. Ketika orang-orang itu tidak memperdulikan bantahan suhu, maka suhu menjadi kecewa dan agar ketahyulan itu tidak berlarut-larut, beliau kembali ke Himalaya membawa ularnya. Begitulah ceritanya.”

Para pendengarnya mengangguk-angguk. Bwee Hwa lalu berkata, “Aku pernah mendengar cerita itu, Sam-ko (kakak Sam) dan ternyata cocok dengan ceritamu. Sekarang lanjutkan ceritamu tentang Thio Kam Ki.”

“Sejak kecil Thio Kam Ki yatim piatu seperti juga aku. Dia dirawat dan diambil murid suhu dan sejak kecil kami berdua tinggal bersama suhu. Aku lebih tua dua tahun daripada sute, dan aku banyak membimbingnya. Beberapa bulan yang lalu, seperti biasa sute mengajak aku berlatih silat dan mengadu tenaga sakti. Dan seperti yang sudah-sudah, aku mengalah dan tidak mengerahkan seluruh tenaga karena khawatir dia terluka. Akan tetapi ketika kami mengadu sin-kang, aku terkena pukulan beracun yang asing sehingga aku jatuh pingsan. Suhu menolongku dan ternyata sute telah pergi meninggalkan pondok suhu. Suhu mengatakan bahwa aku terkena pukulan beracun yang sesat dan menduga bahwa sute telah mempelajari ilmu sesat dari orang lain. Karena suhu tidak ingin melihat sute tersesat melakukan kejahatan, maka aku disuruh mencari sute dan menghalangi kalau dia melakukan kejahatan. Ketika aku lewat di kaki bukit ini, aku mendengar keluh kesah penduduk dusun bahwa gerombolan yang berada di puncak ini sering melakukan gangguan. Aku lalu mendaki bukit dan tiba-tiba aku melihat rombongan pasukan juga mendaki bukit ini. Ketika saudara Ui Kong bicara dengan kakaknya tentang pemimpin gerombolan yang bernama Kam Ki, aku terkejut dan cepat mendahului mereka naik ke sini dan kebetulan aku dapat membebaskan adik Bwee Hwa dan kedua adik kembar ini. Selanjutnya kalian sudah tahu. Aku bertanding melawan Thio Kam Ki, akan tetapi sayang dia dapat meloloskan diri.”

“Sam-ko, maafkan pendapatku ini. Aku yakin bahwa kalau engkau menghendaki, tentu Thio Kam Ki sekarang telah menggeletak tanpa nyawa. Engkau sengaja membiarkan dia lolos!”

Bun Sam diam-diam terkejut walaupun tidak dia perlihatkan, lalu sambil mena-tap tajam wajah gadis yang menawan hatinya itu, dia bertanya.

“Hwa-moi, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”

Posting Komentar