Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 58

NIC

Ketika dia tiba di pekarangan yang luas itu, dia melihat semua anak buah sedang mengepung dan mengeroyok tiga orang gadis yang telah bebas itu. Para anak buah itu dipimpin sendiri oleh Ang-bin Moko. Melihat Ang-bin Moko memimpin kurang lebih limapuluh orang anggautanya itu mengeroyok, Kam Ki merasa yakin bahwa dia akan mampu menangkap tiga orang gadis itu kembali.

“Ang-bin Moko, tangkap mereka hidup-hidup! Jangan bunuh atau lukai mereka!” teriaknya.

Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Thio Kam Ki telah berdiri Sie Bun Sam yang memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh mengandung teguran!

“Suheng……! Kau…… di sini?” tanyanya gagap, bukan karena takut melainkan karena kaget. Kini mengertilah dia mengapa tiga orang gadis yang ditawannya itu dapat terlepas. Tentu suhengnya ini yang membebaskannya!

“Sute, apa saja yang kaulakukan ini? Sungguh menyedihkan dan memalukan. Engkau tersesat jauh sekali, sute!”

Kam Ki sudah dapat menenangkan hatinya dan dia tertawa mengejek. “Suheng, kenapa engkau mencampuri urusanku? Ingat, aku dapat mengalahkanmu seperti dulu, engkau pernah roboh pingsan oleh pukulanku. Apakah engkau kini hendak menentangku? Suheng, kunasihatkan kepadamu. Pergilah sebelum aku hilang sabar karena aku akan menyesal kalau harus membunuhmu!”

Bun Sam tersenyum. “Sute, dulu engkau merobohkan aku karena kecuranganmu. Sekarang dengarlah nasihatku, sute. Ingatlah, sejak dahulu aku menyayangmu, aku tidak ingin melihat engkau celaka. Maka, sadarlah, sute. Ingat akan nasihat suhu. Tinggalkan perkumpulan sesat ini dan mari kita kembali kepada suhu yang akan membimbingmu! Aku yang akan mintakan ampun kepada……”

Akan tetapi ucapan itu terpaksa dihentikan karena secara curang sekali, tiba-tiba Kam Ki sudah menyerangnya dengan pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang dulu pernah merobohkan Bun Sam. Dia tahu bahwa kalau dia menggunakan semua ilmu yang dia pelajari dari Leng-hong Hoatsu, tidak mungkin dia mampu mengalahkan Bun Sam yang memiliki tingkat lebih tinggi.

Dia menggunakan Ban-tok-ciang yang dipelajari dari Hwa Hwa Cin-jin karena Bun Sam tentu tidak mengenal ilmu ini. Serangannya memang hebat sekali. Kedua tangan yang sudah dialiri hawa beracun itu menyambar-nyambar ganas dan mengeluarkan bau yang amis seperti ada ratusan ular berbisa menyerang Bun Sam.

Akan tetapi sebelum turun gunung, Bun Sam sudah diberitahu gurunya bahwa dia tidak akan kalah oleh ilmu sesat sutenya kalau dia menggunakan seluruh tenaga saktinya. Kalau dulu dia sampai terluka dan pingsan, hal itu terjadi karena dia tidak menyangka dan dia hanya mempergunakan tenaga tidak sepenuhnya agar sutenya tidak terluka.

Kini, menghadapi serangan bertubi itu, dia menggunakan kelincahan gerak tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini, dan mencari kesempatan untuk menotok roboh sutenya. Bagaimanapun juga, Bun Sam tetap sayang kepada sutenya yang sejak kecil hidup bersama dia di bawah asuhan Leng-hong Hoatsu. Dia tidak tega untuk melukai sutenya itu, apalagi membunuhnya. Maka, pertandingan itu menjadi seimbang dan Kam Ki yang licik itu agaknya maklum bahwa suhengnya mengalah.

Hal ini tidak membuat hatinya tergerak dan terharu, bahkan dia hendak mencari keuntungan dari kelemahan hati Bun Sam itu. Dia menyerang semakin ganas, memainkan ilmu silat Ciu-kwi-kun (Silat Setan Mabok) yang dipelajari dari Hwa Hwa Cinjin. Pertandingan itu menjadi seru sekali dan tidak mudah bagi Bun Sam untuk dapat merobohkan sutenya tanpa melukainya.

Sementara itu, tiga orang gadis, tanpa perundingan lebih dulu, sudah menghadapi pengeroyokan banyak orang dengan saling membelakangi. Dengan demikian, mereka tidak sampai diserang dari belakang. Ketiganya mengamuk dengan pedang mereka dan gerakan mereka memang lincah dan kuat sekali sehingga para pengeroyok tidak berani terlalu mendekat setelah ada enam orang roboh oleh pedang tiga orang dara perkasa itu. Ang-bin Moko akhirnya dilawan oleh Bwee Hwa, sedangkan sepasang gadis kembar itu menghadapi puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw.

“Bwee Hwa, hati-hati, tosu (pendeta) siluman itu memiliki alat peledak yang mengeluarkan asap beracun!” teriak Kim Siang, sambil memutar sepasang pedangnya menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu.

Biarpun sepasang gadis kembar ini lihai sekali ilmu sepasang pedang mereka, namun jumlah pengeroyok terlampau banyak. Mereka berdua harus memutar sepasang pedang mereka untuk melindungi diri mereka dari datangnya serangan golok, pedang, atau tombak yang seperti hujan lebat. Mereka berdua hanya mampu melindungi diri tanpa dapat membalas karena serangan banyak orang itu tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk balas menyerang.

Perkelahian antara Ang-bin Moko melawan Bwee Hwa amat seru. Tingkat kepandaian mereka seimbang sehingga perkelahian itu ramai sekali, sukar diduga siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Sesungguhnya, Bwee Hwa lebih bersemangat dan gerakannya lebih lincah.

Namun Ang-bin Moko menang pengalaman dan selain dari itu, pimpinan cabang Pek-lian-kauw ini mengandalkan banyak anggauta yang akan dapat disuruh membantunya mengeroyok Bwee Hwa kalau dua orang gadis kembar itu sudah dapat ditundukkan. Yang membuat dia repot adalah karena tadi Kam Ki berteriak agar tiga orang gadis cantik itu ditangkap hidup-hidup, jangan dilukai atau dibunuh. Semua anak buah mendengar dan tentu saja mereka merasa takut kepada Kam Ki kalau melanggar perintah itu. Hal ini membuat mereka hanya mengepung rapat akan tetapi selalu menjaga agar gadis-gadis itu jangan sampai terluka atau roboh tewas.

Mendadak mendengar sorak sorai dan duaratus orang perajurit yang dipimpin para perwira tiba di puncak itu. Mereka adalah pasukan yang diajak Ui Kiang dan kemudian bertemu dengan Ui Kong dan kini mereka tiba di puncak itu dengan Ui Kong sebagai penunjuk jalan. Begitu tiba di perkampungan Pek- lian-kauw, para perajurit itu menyerbu masuk. Ui Kong sendiri sudah cepat terjun ke dalam pertempuran. Dia girang bukan main melihat Bwee Hwa masih hidup dan kini sedang bertanding mati- matian melawan Ang-bin Moko.

“Hwa-moi, mari kita basmi para iblis Pek-lian-kauw!” bentak Ui Kong dan dia sudah menggunakan pedangnya untuk membantu Bwee Hwa menyerang Ang-bin Moko.

Gegerlah semua anggauta Pek-lian-kauw menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang amat banyak jumlahnya itu. Mereka menjadi panik dan sebentar saja banyak anggauta Pek-lian-kauw roboh. Yang hendak melarikan diri, tidak mendapatkan jalan karena mereka sudah terkepung ketat.

Ang-bin Moko terkejut bukan main. Menghadapi Bwee Hwa saja dia sudah merasa repot, apalagi kini ditambah seorang musuh yang tingkat kepandaiannya tidak kalah dibandingkan tingkatnya sendiri. Dia terdesak hebat dan terancam oleh pedang Bwee Hwa dan Ui Kong. Dia lalu melompat ke belakang dan mengayun tangan, membanting alat peledak.

“Awas, Kong-ko, asap beracun!” Bwee Hwa berseru dan kedua orang muda ini cepat melompat menjauhi ketika ledakan itu mengeluarkan asap yang mengandung pembius. Beberapa orang perajurit yang berada dekat tempat ledakan, terserang asap ini dan mereka roboh pingsan!

Ang-bin Moko menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Karena tempat itu telah terkepung ketat. Dia mengamuk dengan pedangnya dan berhasil membobolkan kepungan dengan merobohkan empat orang perajurit. Akan tetapi pada saat itu, dua batang pedang menyambar. Ang-bin Moko masih berhasil menangkis pedang Bwee Hwa, akan tetapi pedang Ui Kong memasuki lambungnya. Ang-bin Moko mengeluh dan roboh, tewas seketika.

Betapapun lihainya, Thio Kam Ki kini menjadi panik. Ketika semua ilmunya dia keluarkan untuk merobohkan Bun Sam tidak berhasil, barulah dia maklum bahwa dulu dia dapat merobohkan Bun Sam karena suhengnya itu tidak mengira dia menggunakan ilmu pukulan sesat yang dahsyat dan tidak menjaga diri dengan tenaga sepenuhnya.

Sekarang, dia mendapat kenyataan bahwa suhengnya itu memang tangguh bukan main. Akan tetapi karena suhengnya tidak mau membunuhnya, maka dia masih mampu melawan. Berulang kali mereka mengadu tenaga selalu Thio Kam Ki terdorong mundur.

Kini, melihat dengan jelas betapa anak buah Pek-lian-kauw berjatuhan karena tidak dapat mengimbangi kekuatan lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, melihat pula betapa pembantu utamanya, Ang-bin Moko juga roboh, dia menjadi khawatir sekali dan maklum bahwa kalau dilanjutkan perlawanannya, nyawanya terancam bahaya maut. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga Ban-tok-ciang menyerang Bun Sam dengan pukulan jarak jauh sambil membentak nyaring dengan suara yang mengandung kekuatan sihir untuk menggetarkan jantung lawan dan membuatnya lemah.

“Yaaaaahhhhhh!”

Menghadapi serangan dahsyat ini, Bun Sam menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan pula. Akan tetapi tetap saja Bun Sam membatasi tenaga karena dia sama sekali tidak ingin melukai apalagi membunuh sutenya yang masih disayangnya. “Blaarrrr……!” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan akibatnya, tubuh Kam Ki terlempar ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka, hanya terdorong dan terpental seolah tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lunak namun yang membuat dia terpental seperti menghantam sebuah bola karet besar.

Kini dia melihat kesempatan untuk menyelamatkan diri. Begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah melompat jauh, terjun ke dalam pertempuran antara para perajurit dan anak buah Pek-lian-kauw dan menghilang di antara banyak orang yang sedang bertempur itu.

Posting Komentar