Setelah orang itu datang dekat dan duduk di tepi pembaringan di mana ia diikat, ia melihat Kam Ki yang agaknya telah mandi dan kini mengenakan pakaian bersih dan indah. Juga ketika pemuda itu di tepi pembaringan, dekat sekali dengannya, ia mencium bau harum. Agaknya pemuda itu sengaja bersolek untuk menarik hatinya. Akan tetapi, kemunculan pemuda yang tampak tampan dan lembut itu bukan menarik hati Bwee Hwa, bahkan membuat ia muak dan semakin membencinya.
“Ah, adik manis, kenapa engkau menangis?” tanya Kam Ki dengan lembut dan ia mengusap air mata dari pipi Bwee Hwa. Gadis itu menggerakkan kepalanya menolak rabaan itu.
“Bwee Hwa, bagaimana, apakah engkau telah mengambil keputusan? Maukah engkau menjadi isteriku tersayang? Percayalah, aku cinta padamu.”
“Jahanam, tidak perlu merayu. Kalau mau bunuh, lakukanlah, dan jangan banyak cakap lagi!” Bwee Hwa menghardik lalu membuang muka, tidak mau memandang pemuda yang dibencinya itu.
Kesabaran mulai menyurut dari hati Kam Ki. “Dengar baik-baik, Bwee Hwa. Sekarang engkau boleh memilih satu antara dua. Pertama, engkau menurut dengan suka rela menjadi isteriku dan kita hidup berdua di sini dalam keadaan terhormat, mulia dan serba kecukupan. Kedua, kalau engkau tetap menolak, aku akan memaksamu dan memperkosamu, setelah aku bosan engkau akan kuserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw agar engkau mereka permainkan beramai-ramai sampai engkau mati! Nah, engkau pilih yang mana?”
Tanpa berpikir panjang untuk memilih-milih, Bwee Hwa membentak. “Aku memilih mati!” Wajah Kam Ki berubah merah. “Engkau memilih yang kedua?”
“Aku tidak sudi memilih, baik yang pertama maupun yang kedua. Aku akan membalas dendam kepadamu kalau masih hidup atau aku akan memilih mati agar arwahku dapat mengejar dan membalas dendam kepadamu, keparat!”
Kam Ki marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, pintu kamar diketuk orang dari luar.
“Siapa berani menggangguku? Apa engkau minta mati?” bentak Kam Ki yang merasa terganggu.
“Ampun, pangcu (ketua). Saya tidak bermaksud mengganggu, akan tetapi hendak melaporkan bahwa di luar ada dua orang gadis cantik ingin bertemu dengan pangcu.” jawab kepala jaga dengan suara agak gemetar karena dia merasa ketakutan.
Mendengar bahwa ada dua orang gadis cantik ingin bertemu dengannya, kemarahan Kam Ki mereda. Dia bangkit berdiri, berkata kepada Bwee Hwa.
“Kau tunggu saja. Masih ada waktu untuk berpikir. Akan tetapi kalau aku kembali ke sini dan engkau masih keras kepala menolak untuk menjadi isteriku, aku akan melakukan pilihan kedua!” Setelah berkata demikian, Kam Ki melangkah ke pintu kamar, keluar dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Kemudian, diiringkan oleh kepala jaga yang melapor itu, dia melangkah keluar.
Setelah tiba di luar, dia melihat dua orang gadis yang cantik manis berdiri dengan sikap gagah. Yang mengagumkan hatinya, dua orang gadis itu memiliki wajah, bentuk tubuh, gelung rambut dan pakaian yang persis sama, seolah dia melihat seorang gadis dan bayangannya! Dia menduga bahwa tentu dia berhadapan dengan sepasang gadis kembar yang cantik jelita dan gagah. Mereka memiliki kulit yang putih mulus kemerahan, bermata tajam jeli seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang menggairahkan. Juga bentuk tubuh mereka amat indah. Dua orang gadis ini tidak kalah cantik dibandingkan Lim Bwee Hwa!
Sementara itu, Can Kim Siang dan Can Gin Siang, dua orang gadis kembar tercengang melihat bahwa ketua Pek-lian-kauw yang keluar menemui mereka sama sekali bukan seorang yang berpakaian pendeta berusia lanjut seperti yang mereka duga, melainkan seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah! Pemuda berwajah tampan gagah, bersikap lembut dan senyumnya menawan.
Kam Ki merasa gembira dan dia segera mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai tanda penghormatan yang segera dibalas oleh sepasang gadis kembar itu.
Sio-cia(Nona Berdua), siapakah kalian dan ada keperluan apakah nona datang berkunjung?” tanya Kam Ki dengan suara yang lembut dan senyum memikat.
“Kami ingin bertemu dan bicara dengan ketua Pek-lian-kauw,” kata Can Kim Siang. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu seorang anggauta pula.
Kam Ki tersenyum, “Akulah ketua Pek-lian-kauw di sini, nona.”
Dua orang gadis itu saling pandang dan Kim Siang mengerutkan alisnya lalu berkata ragu. “Akan tetapi, bukankah ketua Pek-lian-kauw seorang yang sudah berusia lanjut dan berpakaian sebagai pendeta? Kami mendengar bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama……”
“Ha-ha, memang tadinya begitu. Akan tetapi sekarang aku yang menjadi ketua di sini semenjak beberapa bulan yang lalu.”
“Hemm, kebetulan kalau begitu. Kami sepasang saudara Can hanya kebetulan lewat di daerah ini dan kami mendengar berita dari para penduduk pedusunan di daerah ini bahwa banyak terjadi penculikan dan perampokan yang dilakukan oleh gerombolan penjahat yang tinggal di puncak Siong-san sini. Karena yang berada di sini adalah perkumpulan Pek-lian-kauw, maka kami minta pertang-gungan jawab ketua Pek-lian-kauw. Benarkah anak buahmu yang melakukan pengacauan dan mengganggu rakyat di pedusunan daerah ini?” tanya Kim Siang sambil menatap ketua perkumpulan gerombolan penjahat.
Senyum di bibir Kam Ki melebar. Tentu saja dia tahu akan perbuatan anak buahnya itu karena dialah yang lebih dulu memilih gadis-gadis yang diculik, memilih yang dia sukai.
“Aih, nona-nona yang baik, kenapa kalian menuduh begitu? Aku ketua Pek-lian-kauw Kam Ki tidak pernah. ” Sepasang gadis kembar itu terkejut sekali sehingga Kim Siang segera memotong ucapan Kam Ki. “Siapa namamu tadi?”
“Namaku Kam Ki dan aku tidak pernah membiarkan anak buahku berbuat jahat!”
“Kam Ki? Jadi engkau inikah yang dulu berada di lereng, Bukit Ayam Emas? Engkau yang telah berjina dengan A-hui dan A-kui? Engkau tunangan Pek-hwa Sianli?” Kim Siang berseru marah.
“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?” Kam Ki bertanya, terheran-heran dan terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut maka diapun tidak hendak menyangkal.
Can Kim Siang dan Can Gin Siang mencabut pedang mereka. Kedua orang gadis kembar ini bersenjata siang-kiam(sepasang pedang).
“Kam Ki, bersiaplah engkau untuk menebus dosa dan mati di tangan kami!” Kim Siang membentak, kini tidak merasa ragu untuk memenuhi permintaan piauw-ci (kakak misan) yang juga gurunya yang pertama, yaitu Pek-hwa Sianli, dan untuk membunuh Kam Ki karena ternyata bahwa pemuda itu adalah seorang penjahat, ketua Pek-lian-kauw yang suka mengganggu penduduk dusun dan menculik gadis- gadis dusun.
“Hei, nanti dulu!” kata Kam Ki, masih tenang saja karena memang dia selalu memandang rendah orang lain dan menganggap diri sendiri yang paling pandai. “Boleh saja kalau kalian hendak mencoba untuk membunuhku nanti. Akan tetapi katakan lebih dulu apa hubungannya aku bercintaan dengan Pek-hwa Sianli, dengan A-hui dan A-kui? Siapakah kalian berdua ini sebenarnya?”
“Kami adalah piauw-moi (adik misan) Pek-hwa Sianli dan ia minta kepada kami untuk membunuh engkau yang sudah mengkhianati cintanya. Kam Ki, bersiaplah untuk mati di tangan kami!”
“Ha-ha-ha!” Kam Ki tertawa. “Aku memang sudah siap, bukan untuk mati di tangan kalian, melainkan untuk bersenang-senang dengan kalian berdua!”
Tentu saja sepasang gadis kembar itu menjadi merah mukanya karena marah. Mereka berpencar ke kiri kanan, lalu dari kiri kanan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
“Haiiittttt……!!”
Kam Ki terkejut bukan main. Serangan kedua orang gadis ini benar-benar hebat dan amat berbahaya. Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengandalkan kecepatannya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi dua pasang pedang itu membentuk empat gulungan sinar yang mengejarnya ke manapun dia berkelebat sehingga Kam Ki menjadi kewalahan juga. Sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sepasang gadis kembar ini. Akan tetapi karena dua orang gadis itu maju berbareng dan mereka berdua agaknya memiliki hubungan batin yang amat kuat sehingga gerakan mereka dapat dipersatukan, seolah dikendalikan oleh satu pikiran saja maka mereka merupakan lawan yang amat tangguh.