Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 54

NIC

“Kim-ci (Kakak Kim), siapa ya pemuda itu? Tampaknya dia tergesa-gesa. Apakah dia anggauta Pek-lian- kauw?” tanya Can Gin Siang kepada kakak kembarnya.

“Entahlah, Gin-moi (adik Gin). Akan tetapi melihat wajah dan sikapnya, dia seperti bukan orang jahat. Akan tetapi tampak gugup dan gelisah. Wajahnya agak pucat,” kata Can Kim Siang menjawab pertanyaan adik kembarnya.

Dua orang gadis kembar itu lalu melanjutkan pendakian mereka menuju puncak bukit. Seperti kita Ketahui, Can Kim Siang dan Can Gin Siang ini adalah sepasang gadis kembar yang diutus Pek-hwa Sianli untuk mencari dan membunuh Thio Kam Ki. Mereka berdua adalah adik misan Pek-hwa Sianli yang telah menjadi yatim piatu sejak berusia sembilan tahun. Pek-hwa Sianli membawa mereka dan melatih mereka dengan ilmu silat selama tujuh tahun, kemudian mengirim mereka berguru kepada bibi gurunya, yaitu Hoa-san Kui-bo selama tiga tahun. Kini sepasang gadis kembar itu menjadi lihai dan tingkat kepandaian mereka tidak berada di bawah tingkat Pek-hwa Sianli.

Tentu saja sepasang gadis kembar ini menjadi bingung juga karena selain mereka belum pernah melihat Kam Ki, juga mereka tidak tahu ke mana perginya pemuda itu, tidak tahu harus mencari ke mana. Mereka melanjutkan perantauan mereka dan di sepanjang perjalanan itu mereka bertanya-tanya barangkali ada orang yang mengetahui di mana adanya Thio Kam Ki yang mereka cari-cari itu.

Ketika pada suatu hari mereka tiba di dusun Liok-cung, tak jauh dari Bukit Siong, mereka mendengar keluhan penduduk dusun itu bahwa baru beberapa bulan ini gerombolan yang tinggal di puncak Siong- san, yang mereka tidak tahu gerombolan apa, telah melakukan banyak gangguan, terutama sekali suka menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun di sekitar pegunungan itu.

Dua orang gadis kembar yang biarpun sejak kecil dididik oleh orang-orang sesat seperti Pek-hwa Sianli dan Hoa-san Kui-bo namun memiliki jiwa pendekar, begitu mendengar keluhan rakyat pedusunan itu segera membalapkan kuda mereka mendaki Bukit Siong. Semenjak meninggalkan Hoa-san Kui-bo, guru mereka yang tinggal di Hoa-san, sepasang gadis kembar ini selalu turun tangan menentang para penjahat dan membela mereka yang lemah tertindas. Karena itu, mendengar ada gerombolan yang suka bertindak sewenang-wenang bahkan menculik gadis-gadis dusun, mereka menjadi marah dan tanpa ragu lagi segera mendaki Bukit Siong untuk menumpas gerombolan jahat itu.

Kalau sewaktu Siong Li, Ui Kong, dan Bwee Hwa mendaki bukit itu sama sekali tidak menemui rintangan sampai mereka tiba di depan perkampungan Pek-lian kauw, hal itu adalah karena memang disengaja oleh para pimpinan Pek-lian-kauw yang hendak memancing tiga orang itu naik dan baru dikepung setelah tiba di pekarangan rumah ketua Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, ketika Can Kim Siang dan Can Gin Siang menjalankan kudanya mendaki bukit, setelah tiba di lereng tengah, tiba-tiba muncul sepuluh anggauta Pek-lian-kauw menghadang di tengah jalan.

Melihat munculnya sepuluh orang laki-laki yang bersenjata golok dan pada baju bagian dada mereka terdapat lukisan bunga teratai putih pada lingkaran dasar biru, tahulah dara kembar itu bahwa mereka tentulah anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Keduanya lalu melompat turun dari atas kuda dan menghadapi mereka dengan siap siaga dan waspada.

Sepuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang dua orang gadis itu. Mereka merasa kagum dan heran. Kagum akan kecantikan mereka akan tetapi juga heran melihat betapa dua orang dara itu persis sama. Wajah, bentuk tubuh, pakaian, semua serupa dan tidak dapat dibedakan satu sama lain. Pemimpin kelompok itu lalu melangkah maju dan bertanya, suaranya keren karena seperti biasa terjadi pada pria umumnya, bertemu dengan wanita cantik lalu timbul sikapnya untuk berlagak.

“Hei, dua orang nona yang cantik dan gagah! Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian mendaki bukit ini? Kalian melanggar wilayah kami!”

Can Kim Siang yang selalu menjadi wakil pembicara di antara sepasang dara kembar itu karena ia lebih pandai bicara daripada Can Gin Siang yang pendiam, lalu menjawab lantang.

“Siapa kami tidak perlu kalian Ketahui! Kalian adalah para anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Minggirlah atau terpaksa kami berdua akan membunuh kalian semua!”

“Ha-ha, galak benar engkau, nona. Kami tidak akan mempergunakan kekerasan karena ketua kami tentu akan marah kalau kami melukai apalagi sampai membunuh dua orang gadis cantik jelita seperti kalian berdua. Akan tetapi karena kalian telah melanggar wilayah kami, terpaksa kami akan menangkap kalian dan kami bawa menghadap ketua kami.”

Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Keduanya memiliki perasaan yang amat peka satu terhadap yang lain sehingga melalui pandang mata saja mereka sudah menduga pikiran masing-masing. Can Kim Siang dan adik kembarnya berpikir bahwa berdasarkan pengalaman mereka menghadapi gerombolan penjahat, untuk membasmi gerombolan penjahat haruslah seperti kalau membunuh ular. Yaitu kepalanya dulu dihancurkan dan seluruh badan dan ekornya akan tak berdaya lagi. Menghadapi gerombolan penjahat juga demikian. Kepalanya atau pemimpinnya dulu dibasmi. Kalau pemimpinnya mati, tentu para anggautanya akan menyerah.

“Memang kedatangan kami ini untuk bertemu dengan ketua kalian! Akan tetapi kami hendak bertemu dengannya sebagai orang bebas, bukan tangkapan. Kalau kalian hendak menangkap kami, terpaksa kami melawan dan membunuh kalian!” kata Can Kim Siang.

Seorang anggauta gerombolan itu mendekati sang pemimpin regu dan berbisik, “Hati-hati, twako, jangan-jangan mereka ini teman-teman ketua kita yang baru. Kalau kita ganggu dan ketua mendengarnya, kita akan celaka ”

Pemimpin itu mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dara kembar itu. “Baiklah, mari kami antar nona berdua bertemu dengan ketua kami, bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Silakan, nona-nona!”

Kim Siang dan Gin Siang merasa girang. Mereka akan lebih senang kalau dapat membasmi saja pimpinan gerombolan ini, daripada harus membasmi para anggauta yang hanya menaati perintah pimpinannya. Mereka menunggang kuda mereka dan mendaki bukit, didahului oleh sepuluh orang anggauta Pek-lian- kauw itu karena dua orang dara kembar itu tidak menghendaki anak buah gerombolan itu berjalan di belakang mereka.

Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan Pek-lian-kauw, Kim Siang dan Gin Siang turun dari atas kudanya dan mereka membiarkan anak buah Pek-lian-kauw mengurus dua ekor kuda mereka. Dengan waspada dan hati-hati dua orang dara kembar yang tabah itu mengikuti anggauta Pek-lian-kauw yang mengantar mereka sampai ke dalam pekarangan rumah besar tempat tinggal ketua Pek-lian-kauw.

Pemimpin regu tadi segera memasuki rumah besar dan ketika mendapat keterangan dari para pelayan bahwa sang ketua berada dalam kamarnya, dia segera menuju ke kamar itu dan mengetuk daun pintu kamar yang tertutup.

“Tok-tok-tok. !!”

Thio Kam Ki berada di dalam kamarnya yang luas itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan di atas pembaringan itu Bwee Hwa rebah telentang dengan kedua kaki tangannya terbelenggu! Setelah tadi berhasil menangkap Bwee Hwa dengan menotoknya sehingga gadis itu terkulai lemas dan dipondongnya memasuki rumah, dia lalu melempar tubuh Bwee Hwa di atas pembaringan, mengikat kedua kaki tangannya, baru dia membebaskan totokan pada diri Bwee Hwa sehingga Bwee Hwa dapat bergerak kembali. Akan tetapi gadis itu tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terpentang dan terikat pada kaki pembaringan. Ia teringat akan Ong Siong Li yang terluka dan terpukul roboh.

Kini ia tertawan dan mungkin Siong Li tewas, juga Ui Kong tentu tidak mampu melawan seorang diri saja. Membayangkan semua ini, Bwee Hwa memandang kepada Kam Ki yang duduk di atas kursi sambil minum arak itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. Membayangkan Siong Li tewas, ia menjadi sedih dan marah sekali. Ong Siong Li merupakan orang yang paling baik baginya, pemuda itu merupakan penolongnya, sahabatnya yang setia, dan ia tahu pula betapa Siong Li amat mencintanya.

Iapun amat suka dan kagum kepada Siong Li, walaupun ia mencinta pemuda itu sebagai kasih sayang seseorang terhadap kakaknya. Betapa besar kasih sayang Siong Li kepadanya sehingga pemuda itu mengantar ia untuk mencari tunangannya, calon suaminya! Siong Li mengalah, mengorbankan kesenangan diri sendiri demi cintanya dan demi kebahagiaan dirinya! Ia sendiri mencinta Siong Li sebagai seorang kakak. Juga ia tidak mempunyai rasa cinta terhadap Ui Kong maupun Ui Kiang, hanya menganggap kedua kakak beradik ini sebagai sahabat-sahabat yang baik. Bagaimanapun juga, kini mengingat bahwa mungkin Siong Li tewas dan Ui Kong terancam bahaya, ia menjadi sedih sekali dan marah.

“Kamu…… jahanam busuk, manusia terkutuk! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai mati!” Bwee Hwa memaki sambil memandang kepada pemuda tampan yang gerak-geriknya lembut namun yang memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu.

Mendengar kata-kata ketus ini, Kam Ki menoleh, lalu minum sisa arak dalam cawannya dan setelah meletakkan cawan kosong di atas meja, dia tersenyum menghampiri pembaringan. Dia duduk di tepi pembaringan dan mengamati wajah dan seluruh tubuh Bwee Hwa.

Diam-diam Bwee Hwa bergidik dan merasa seluruh bulu di tubuhnya meremang. Ia merasa seolah-olah sinar mata pemuda itu menggerayangi dan membelai seluruh tubuhnya. Pandang mata itu terasa amat mengerikan baginya. Sering sudah ia melihat pandang mata seperti itu dari para pria yang bertemu dengannya, akan tetapi baru sekarang ia melihat sinar mata yang begitu penuh nafsu seperti bernyala- nyala, senyum yang tampak olehnya begitu keji dan kejam!

“Hemm, Ang-hong-cu Lim Bwee Hwa, julukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) memang tepat untukmu. Engkau dapat menjadi liar dan galak seperti seekor tawon yang siap menyerang dan menyengat siapa saja, akan tetapi engkaupun dapat seperti seekor kupu-kupu yang amat cantik jelita menggairahkan. Bwee Hwa, engkau telah terjatuh ke dalam tanganku. Betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, akan tetapi aku tidak tega membunuhmu, bahkan menyakitimupun aku tidak tega. Engkau begini cantik jelita, kulitmu begini mulus. Gadis seperti engkau ini pantasnya disayang dan dibelai, bukan disakiti……”

“Keparat, aku tidak membutuhkan pujian dan rayuanmu! Cepat katakan bagaimana keadaan dua orang temanku!”

“Ha-ha-ha, dua orang temanmu itu mencari kematiannya di sini. Mereka sudah mati!”

Tentu saja Bwee Hwa terkejut bukan main dan kesedihan membuat ia menjadi marah sekali. Akan tetapi karena kaki tangannya terbelenggu sehingga ia tidak mampu bergerak, ia hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kebencian dan berteriak-teriak.

“Jahanam busuk! Engkau kejam, engkau keparat! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati! Kalau engkau pengecut dan tidak berani, hayo cepat bunuh! Aku tidak takut mati!”

Kam Ki tidak marah, malah tersenyum. “Hem, dalam keadaan marah engkau malah semakin cantik menarik. Bwee Hwa, manis, jangan salahkan aku kalau dua orang itu mati. Mereka mencari kematian mereka sendiri karena berani menyerbu ke sini. Akan tetapi engkau…… aku tidak mengijinkan siapapun juga membunuhmu atau bahkan melukaimu. Aku cinta padamu, Bwee Hwa, dan aku ingin engkau menjadi isteriku dan hidup sebagai suami di sini, memimpin para anak buah. Engkau akan hidup bahagia !”

“Cukup!” Bwee Hwa membentak. “Lebih baik aku mati daripada menjadi isteri seorang penjahat busuk macam kamu!”

Biarpun mulutnya tetap tersenyum, namun dalam hatinya Kam Ki mulai merasa dongkol. “Lim Bwee Hwa, biar kau pikirkan lebih dulu permintaanku agar engkau lebih baik hidup dan menjadi isteriku di sini daripada engkau nekat mencari kematian. Aku akan mandi dulu. Nanti aku akan kembali mendengar keputusan dan jawabanmu.” Setelah berkata demikian, Kam Ki keluar dari kamar itu.

Setelah pemuda itu meninggalkan kamar, Bwee Hwa mulai menangis. Tadi ia tidak sudi memperlihatkan tangisnya di depan pemuda itu. Akan tetapi kini, setelah ditinggal sendirian, ia membayangkan kematian Ong Siong Li dan Ui Kong seperti yang dikatakan Kam Ki tadi dan ia merasa berduka sekali. Ia memang belum mempunyai perasaan cinta sebagai seorang wanita terhadap pria kepada kedua orang pemuda itu, biarpun Siong Li merupakan seorang sahabat terbaiknya yang selalu membela dan membantunya dan Ui Kong adalah salah seorang calon tunangannya karena ia harus memilih antara Ui Kong dan Ui Kiang untuk menjadi calon jodohnya seperti yang telah ditentukan mendiang ibunya. Akan tetapi ia menganggap Siong Li dan Ui Kong sebagai sahabat-sahabat yang amat baik dan ada rasa kagum dan sayang dalam hatinya terhadap mereka. Kini mereka telah tewas! Ia merasa sedih dan juga sakit hati sekali terhadap Pek-lian-kauw yang dipimpin Kam Ki, pemuda yang jahat akan tetapi juga amat lihai sekali itu. Tak lama kemudian, terpaksa Bwee Hwa menghentikan lamunannya dan menghentikan pula tangisnya walaupun ia tidak dapat menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya karena ia mendengar langkah kaki orang memasuki ruangan itu.

Posting Komentar