“Itukah mereka, Pek-bin Moko?” tanyanya.
Pek-bin Moko memandang penuh perhatian dan dia segera mengenal tiga orang muda yang dulu bertempur dengan rombongannya dan telah membunuh Hek-bin Moko dan tiga orang pembantu mereka.
“Tidak salah lagi, mereka bertiga itulah yang dulu menentang kami!”
“Perintahkan murid-murid agar siap mengepung setelah mereka tiba di sini. Jangan ganggu mereka dalam perjalanan mereka ke sini karena aku ingin menangkap gadis itu dalam keadaan hidup dan tidak terluka. Kita bunuh dua orang pemuda itu setelah mereka bertiga tiba di sini,” kata Kam Ki.
Pek-bin Moko lalu cepat menyampaikan perintah itu kepada para pembantunya, kemudian dia kembali ke dalam pondok untuk menanti datangnya tiga orang musuh itu bersama Ang-bin Moko dan Kam Ki.
Bwee Hwa, Siong Li, dan Ui Kong merasa heran juga melihat bahwa mereka dapat mendaki ke atas tanpa ada rintangan sedikitpun. Mereka tahu bahwa jalan yang dapat dilalui kuda itu tentu buatan orang- orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa perjalanan menuju ke lereng itu sama sekali tidak dapat rintangan dan keadaan di situ sunyi saja? Biarpun tampaknya perjalanan menuju ke atas itu aman saja dan agaknya tidak ada halangan apa-apa, tiga orang muda itu tetap waspada dan berhati-hati, khawatir kalau pihak musuh memasang perangkap.
Akhirnya mereka melihat perkampungan Pek-lian-kauw di atas tanah landai yang luas dekat puncak. Akan tetapi juga sekitar duapuluh lebih pondok yang berada di perkampungan itu tampak sepi. Tidak tampak ada seorangpun.
Ong Siong Li memberi isyarat kepada dua orang temannya, lalu dia melompat turun dari atas kuda dan menambatkan kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di luar perkampungan. Ui Kong dan Bwee Hwa mengikutinya. Kemudian mereka bertiga dengan hati-hati memasuki perkampungan. Melihat sebuah pondok terbesar di tengah perkampungan, mereka menghampiri.
Baru saja mereka memasuki pekarangan yang luas dari rumah besar itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw memasuki perkampungan itu. Kiranya mereka semua bersembunyi di luar perkampungan dan setelah tiga orang itu memasuki perkampungan bagaikan tiga ekor ikan memasuki jaring, mereka semua serentak memasuki perkam-pungan dan mengepung tiga orang muda yang berada di pekarangan rumah besar itu!
Melihat puluhan orang berbondong-bondong memasuki perkampungan dan kini mengepung mereka dalam lingkaran yang lebar, tiga orang muda itu sudah mencabut pedang masing-masing dan siap menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi ternyata puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw itu tidak ada yang bergerak menyerang. Siong Li segera berseru ke arah mereka. Suaranya lantang dan bergema karena dia mengerahkan tenaga saktinya.
“Kami bertiga datang untuk berurusan dengan Pek-bin Moko seorang. Suruh dia keluar menemui kami karena kami tidak ingin membunuh orang-orang lain yang tidak bersalah kepada kami!”
“Ha-ha-ha-ha! Bocah-bocah sombong, kalian seperti tiga ekor anjing kecil menggonggong dan menantang dalam gua singa!” terdengar suara tawa dan muncullah Kam Ki, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko dari dalam rumah itu. Yang tertawa tadi adalah Pek-bin Moko dan dia melanjutkan. “Mau apakah kalian bertiga datang ke sini?”
Wajah Ui Kong sudah menjadi merah saking marahnya melihat Pek-bin Moko. Inilah orang yang telah membunuh ayahnya, maka dia lalu membentak marah.
“Tosu jahanam, engkau telah membunuh ayahku. Aku akan membunuhmu untuk membalaskan sakit hati ini!”
“Dan engkau harus mengembalikan patung Dewi Kwan Im milik kuil Ban-hok-si!” Lim Bwee Hwa juga membentak marah.
Sejak tadi Kam Ki memandang Bwee Hwa dengan sinar mata berkilat. Dia tersenyum dan diam-diam hatinya girang bukan main. Gadis yang dari jauh tampak jelita itu setelah kini berdiri di depannya ternyata cantik luar biasa. Belum pernah dia mendapatkan seorang gadis cantik dan segagah ini.
Ang-bin Moko yang kedudukannya lebih tinggi daripada Pek-bin Moko, berkata dengan nada sombong. “Heh, siapakah kalian tiga orang muda ini? Perkenalkan namamu agar jangan sampai kalian mati tanpa nama!”
Kini Siong Li kembali mewakili dua orang temannya. “Dengarlah, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Nona ini adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) Lim Bwee Hwa. Pemuda ini adalah Ui Kong, putera mendiang Ui-wangwe yang dibunuh oleh Pek-bin Moko, dan aku sendiri bernama Ong Siong Li murid Thai-san-pay. Kami bertiga tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Pek-lian-kauw, akan tetapi ketika kami bertiga melihat orang-orang Pek-lian-kauw membunuhi hwesio dan merannpok patung Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si, tentu saja kami menentang. Ui-wangwe yang tidak berdosa telah dibunuh pula. Maka kami datang untuk minta kembali patung kuil Ban-hok-si dan pertanggungan jawab Pek-bin Moko yang telah membunuh Hartawan Ui Cun Lee yang terkenal sebagai seorang dermawan di kota Ki-lok!”
Kini Kam Ki maju dan sambil memandang wajah Bwee Hwa dan tersenyum, dia berkata. “Kami sungguh kagum melihat kalian bertiga begini tabah dan berani, bagaimana pendapatmu kalau kita berbaik-baik saja, melihat betapa kalian telah dikepung limapuluh orang lebih anggauta kami?”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan sambil melintangkan pedangnya di depan dada dan menudingkan dua jari tangan kirinya ke arah muka Kam Ki, ia berkata dengan ketus.
“Siapa takut kepada kalian berikut anak buah kalian? Kalau kalian demikian curang dan pengecut untuk mengeroyok kami dengan banyak anak buah, biar ditambah seratus orang lagi kami tidak akan merasa gentar!”
“He-he-he-he!” Kam Ki terkekeh dan wajahnya berseri. “Engkau hebat, nona Liem Bwee Hwa. Sikapmu yang berani memang pantas dengan julukanmu Si Tawon Merah yang siap menyerang dan menyengat! Akan tetapi kurasa julukanmu lebih pantas diubah menjadi Si Kupu-kupu Merah karena engkau begini indah, cantik jelita bagaikan seekor kupu-kupu merah. Ketahuilah, aku Thio Kam Ki yang menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw di sini. Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko ini adalah wakil-wakilku. Kalian kematian Ui Cun Lee, akan tetapi pihak kami kematian Hek-bin Moko dan tiga orang anak buah kami. Sebetulnya kami yang lebih menderita rugi dan sepatutnya kami yang mendendam sakit hati kepada kalian! Akan tetapi sudahlah, bagaimana pendapatmu kalau kita baik-baikan saja, nona?”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kam Ki yang tampan itu dengan sinar mata penuh selidik. “Apa yang kau maksudkan?” tanyanya ketus.
“Begini, nona. Pihak kalian kematian seorang dan pihak kami kematian empat orang. Biarlah kami mengalah dan tidak ada dendam lagi di antara kami. Adapun mengenai patung Dewi Kwan Im dari Kuil Ban-hok-si itu, kami akan berbaik hati mengembalikannya kepadamu. Akan tetapi sebaliknya kalian harus membalasnya dengan kebaikan pula.”
“Kebaikan apa?” tanya Bwee Hwa, masih ketus karena ia merasa ragu apakah Ui Kong dapat menerima usul perdamaian itu karena ia tahu bahwa pemuda itu amat sakit hati terhadap Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya.
“Begini. Kita berdamai saja, melupakan permusuhan kami mengembalikan pa-tung, akan tetapi kalian tinggal di sini, engkau menjadi isteriku, nona dan kedua orang ini menjadi pembantu-pembantuku. Bagaimana pendapatmu?”
Wajah Bwee Hwa menjadi merah, matanya mencorong dan ia menerjang dan menyerang Kam Ki sambil membentak. “Jahanam busuk, siapa sudi menjadi isterimu? Makan pedang ini!”
Serangan Bwee Hwa itu dahsyat sekali karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan gerakannya cepat bukan main, pedangnya berkelebat meluncur ke arah leher Kam Ki bagaikan seekor tawon terbang menyerang. Akan tetapi, walaupun Kam Ki terkejut melihat dahsyatnya serangan itu dan merasa kagum, namun dia yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengelak dengan loncatan ke belakang dan berkata kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko. “Kalian bunuh dua orang pemuda itu!”