Dan begitu dia berkelebat, bayangannya lenyap di antara pohon-pohon dan meninggalkan orang-orang itu yang menjadi bengong saking heran dan kagum mereka. Mulai peristiwa ini seterusnya, dunia kang-ouw mulai mengenal nama Pek Ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih) karena memang Sin Hong jarang memperkenalkan nama sendiri dan sepak terjangnya seperti seekor burung bangau putih menyambar dan melayang-layang. Memang dia suka mengenakan pakaian putih. Setelah dia mempunyai uang dan berkesempatan membeli pakaian, dia membeli pakaian yang sederhana, berwarna putih dengan garis pinggir warna kuning atau biru. Dengan pakaian putih ini, makin terkenallah julukan Si Bangau Putih.
Kota Ban-goan tidaklah besar, akan tetapi karena kota ini merupakan kota yang menjadi awal penyeberangan ke luar Tembok Besar, maka kota ini dikunjungi banyak pedagang yang ingin membawa barang dagangannya menyeberang lewat Tembok Besar. Perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang mengawal barang dagangan juga semakin subur dan sibuk. Banyak terdapat perusahaan ekspedisi atau pengawal di kota ini, dan satu di antaranya, yang terkenal dan dipercaya orang, adalah perusahaan piauwkiok yang dahulu dipimpin oleh Tan-piauwsu. Tidak sukar bagi Sin Hong untuk menemukan orang yang dicarinya, yaitu Tang-piauwsu, karena Tang-piauwsu ternyata masih melanjutkan pekerjaan ayah-nya, melanjutkan perusahaan ekspedisi yang dahulu dipegang ayahnya, dan Sin Hong masih belum lupa akan rumah bekas tempat tinggal orang tuanya itu. Tidak banyak perubahan pada rumah itu yang bagian depannya merupakan kantor,
Juga papan nama Peng An Piauwkiok (Kantor Ekspedisi Selamat) masih tergantung di depan kantor. Bahkan rumah itu kini nampak butut dan seolah-olah tidak terpelihara lagi. Dua orang kuli tua duduk di depan kantor, di atas bangku reyot dan melihat mereka berdua mengobrol sambil menghisap rokok dapat diketahui bahwa perusahaan itu sepi saja. Sin Hong masih ingat kepada dua orang kuli tua ini Walaupun dia tidak tahu lagi siapa nama mereka. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang menjadi keras karena kerja berat itu menambah bayangan kemiskinan diderita dua orang ini. Melihat seorang pemuda menghampiri kantor itu, dua orang kuli ini cepat bangkit memberi hormat dan kegembiraan membayang di wajah mereka, kegembiraan penuh harap untuk mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan hasil bagi mereka.
"Selamat pagi, Tuan Muda. Apakah Tuan Muda hendak mengirim barang yang perlu pengawalan?"
Tanya seorang di antara mereka penuh harapan. Begitu mudah membaca kegembiraan penuh harapan membayang di wajah mereka sehingga Sin Hong merasa terharu. Melihat rumah ini, bertemu dengan dua wajah tua yang tidak asing ini, mendatangkan kenangan lama dan mengingatkan dia akan ayah ibunya yang sudah tiada. Pohon cemara itu masih tumbuh di samping rumah dan dia masih mengenal cabang-cabangnya yang kini semakin besar dan tinggi, juga batu besar di bawahnya, di mana dahulu dia seringkali bermain di atasnya. Hatinya terharu, namun wajahnya tidak membayangkan perasaan hatinya dan dia masih tersenyum ramah ketika menjawab,
"Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua), aku ingin bertemu dengan Tang-piauwsu. Apakah dia berada di sini?"
Dahulu, delapan tahun yang lalu, Tang-piauwsu merupakan pembantu utama ayahnya dan pengawal ini dahulu adalah seorang bujangan berusia tiga puluh tahun lebih, tidak berkeluarga dan tinggalnya mondok pula di rumah ayahnya. Tentu kini sudah berusia empat puluh tahun, dan dia ingin sekali tahu apakah pengawal itu masih tinggal di situ ataukah pindah ke rumah lain dan hanya berkantor di situ. Atau diam-diam dia gelisah, jangan-jangan Tang-piauwsu sudah tidak ada, tewas pula ketika mengawal dia dan ibunya dan kemudian dikeroyok oleh para perampok berkedok. Akan tetapi, jawaban orang itu melegakan hatinya.
"Tang-piauwsu? Tentu saja dia berada di sini, Kongcu. Kongcu hendak bicara tentang pesanan pengawalan? Biar saya panggilkan dia, tentu sedang berada di bagian dalam rumahnya. Akhir-akhir ini kesehatannya seringkali terganggu."
Dua orang itu lalu masuk ke dalam setelah mempersilakan Sin Hong duduk menanti di bangku yang terdapat di dalam kantor itu. Sin Hong duduk dan mengamati keadaan kantor itu. Seingatnya, kantor ini dahulu lebih bersih dan lebih banyak mejanya, dan sedikitnya ada lima orang piauwsu yang duduk di situ melayani tamu. Juga ada sedikitnya lima orang kuli yang menerima barang-barang dan menyimpannya dalam gudang sebelum dikirimkan.
Akan tetapi sekarang kantor itu kosong sama sekali tidak ada orangnya, dan meja yang terdapat di situ hanya dua, kini kosong. Suara sepatu dari dalam membuat dia mengangkat muka memandang. Muncullah Tang-piauwsu. Dia masih ingat benar wajah itu, hanya kini nampak jauh lebih tua daripada delapan tahun yang lalu. Tubuh yang tinggi besar dari Tang Lun, demikian nama piauwsu itu, kini agak membungkuk, kumis dan jenggotnya tidak terpelihara dan biarpun usianya baru empat puluh tahun lebih sedikit rambutnya sudah banyak bercampur uban, mukanya memperlihatkan garis-garis pengalaman pahit yang dalam, dan yang lebih mengherankan hati Sin Hong adalah buntungnya telinga kiri piauwsu itu! Daun telinga kirinya tidak ada. Sin Hong cepat bangkit berdiri dan Tang-piauwsu yang mengira mendapat langganan baru, segera memberi hormat.
"Selamat pagi, Kongcu. Kongcu mencari saya? Sayalah Tang-piauwsu, dan kalau Kongcu membutuhkan pengawal....an."
"Paman Tang, lupakah Paman kepadaku?"
Kata Sin Hong, suaranya agak menggetar karena keharuan. Orang ini pernah membela dia dan ibunya dari serangan gerombolan perampok berkedok. Melihat wajah orang ini, seketika lenyaplah keraguannya dan dia hampir yakin bahwa dugaan mendiang subonya itu keliru. Orang tinggi besar dan telinga kirinya buntung itu memandang kepada Sin Hong penuh perhatian dan keraguan. Betapapun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu mengenal pemuda itu.
"Maaf.... maafkan saya yang sudah tua dan lemah ingatan, akan tetapi siapakah Kongcu...."
Katanya agak bingung. Sin Hong tersenyum ramah sambil maju melangkah mendekati Tang Lun, kemudian berkata lembut,
"Paman Tang Lun, aku adalah Sin Hong, Tan Sin Hong, sudah lupakah engkau?"
Sepasang mata itu terbelalak dan wajah itu menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah,
Matanya memandang penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia menubruk Sin Hong dan menangis! Orang tua itu, yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang gagah perkasa, kini merangkul Sin Hong sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil, Sin Hong membiarkan saja karena maklum bahwa agaknya baru sekarang orang ini memperoleh kesempatan melepaskan semua penanggungan batinnya melalui tangis, bukan hanya pelepas derita batin, akan tetapi juga mungkin karena keharuan, kekagetan dan kegembiraan melihat Sin Hong masih hidup. Akhirnya dia dapat juga bicara. Sambil memegang kedua pundak Sin Hong, dia mendorong halus dan mengamati wajah pemuda itu dengan air mata masih bercucuran. Bukan air mata buaya, pikir Sin Hong dan dia masih tetap percaya akan kejujuran orang tua ini.
"Sin Hong! Tan Sin Hong, ya Tuhan Yang Maha Kuasa! Siapa dapat percaya? Siapa dapat mengenalmu? Sudah bertahun-tahun aku menangisi kalian semua, ayahmu, ibumu, engkau sendiri. Siapa kira kini engkau muncul dalam keadaan selamat, masih hidup dan sudah dewasa? Ya Tuhan, apa saja yang telah terjadi denganmu, Nak? Bagaimana mungkin engkau masih dapat keluar dengan selamat dan di mana ibumu?"
"Nanti dulu, Paman. Aku tentu akan menceritakan semua pengalamanku selama ini, akan tetapi lebih dulu aku ingin mendapatkan keterangan darimu tentang segala yang telah terjadi, segala urusan mengenai keadaan ayah pada delapan tahun yang lalu."
Orang itu mengangguk-angguk.
"Baik, baik akan tetapi mari kita duduk, Sin Hong."
Mereka duduk berhadapan dan Tang Lun menatap wajah pemuda itu dan berkata,
"Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu dan menceritakan segala hal yang kuketahui dengan sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengetahui satu hal. Jawablah, Sin Hong, katakanlah bagaimana keadaan ibumu. Melihat betapa sepasang mata itu meman-dang dengan penuh selidik, penuh harap dan penuh kecemasan, Sin Hong merasa tidak tega untuk membuat orang tua itu berada dalam keadaan bimbang dan gelisah.
"Paman Tang Lun, ibuku telah meninggal dunia, diserang badai di gurun pasir...."
"Ahhhhh....!"
Tang Lun menutupi mukanya dengan kedua tangannya, kembali dia menangis! Sampai lama baru dia dapat bicara.
"Aku yang berdosa, aku.... aku yang menyuruh engkau dan ibumu melarikan diri ke gurun pasir sehingga ibumu mendapatkan kematiannya di sana dan engkau... ah, hanya berkat perlindungan Tuhan saja engkau masih dapat hidup sampai sekarang.... aih, Sin Hong, betapa aku selama ini membayangkan kengerian kalian di gurun pasir.... dan semua.... itu karena aku yang menyuruhmu...."
Sin Hong mengerutkan alisnya. Hemm, mengapa orang ini berkata demikian? Apa benar juga dugaan mendiang subonya? Dia merasa tegang, akan tetapi dapat menekan perasaannya. Dia harus menyelidiki semua ini dengan bebas. Setelah orang tua itu tenang kembali, mulailah dia bertanya.
"Paman. Tang Lun, sekarang aku minta dengan hormat agar engkau suka menjawab dan menceritakan seluruhnya secara jujur kepadaku. Aku berhak untuk mengetahui segala yang telah terjadi pada orang tuaku, bukan? Nah, pertama, ceritakanlah tentang kepergian ayah ke Tuo-lun, barang apa yang dikawalnya dan siapa menyuruhnya. Ceritakanlah dengan jelas dari awal, mulanya, Paman."
Peristiwa yang terjadi delapan tahun yang lalu itu selalu terbayang di dalam benak Tang Lun, maka tanpa banyak mengingat lagi dia pun bercerita, dengan lancar. Pada suatu hari, demikian dia bercerita, datanglah seorang hartawan ke kantor ekspedisi Peng An Piauwkiok itu.
Hartawan itu datang bersama empat orang pelayannya, dia seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah sekali dan keretanya pun indah. Dia mengaku sebagai seorang hartawan dari kota raja yang datang ke Ban-goan dengan maksud mengirimkan sebuah peti besar berisi emas permata yang harganya tidak kurang dari seratus kati emas. Hartawan itu mengaku she Lay dan selanjutnya disebut Lay-wangwe (hartawan Lay) yang katanya membuka toko rempah-rempah yang amat besar di kota raja. Karena peti itu berisi barang berharga, maka Tan-piauwsu menuntut biaya pengawalan yang besar, yaitu sepuluh kali emas atau sepersepuluh harga barang yang akan dikawalnya. Lay-wangwe sambil tertawa menyetujui dan mengatakan bahwa dia bahkan akan menambah jumlah itu dengan hadiah lain kalau barangnya itu tiba di tempat tujuan dengan selamat.
"Demikianlah Sin Hong. Karena barang itu amat berharga, ayahmu tidak tega menyerahkan pengawalannya kepada anak buah. Ayahmu berangkat mengawal sendiri bersama sepuluh orang anak buahnya yang terpilih dan urusan di sini diserahkan kepadaku."
Tang-piauwsu melanjutkan keterangannya. Sebulan kemudian setelah Tan-piauwsu mengawal kiriman berharga itu, datang utusan Tan-piauwsu yang mengabarkan bahwa dia telah tiba dengan selamat di kota Tuo-lun dan minta agar isteri dan puteranya menyusul ke Tuo-lun karena di kota itu sedang ada keramaian dan perayaan besar.
"Karena aku khawatir akan keselamatan ibumu dan engkau, maka aku sendiri yang mengawal kalian, akan tetapi ternyata diperjalanan kita diserang gerombolan berkedok itu dan selanjutnya engkau dan ibumu kusuruh menyelamatkan diri dari kejaran gerombolan dengan menunggang onta memasuki gurun pasir. Ah, peristiwa itu menghantui aku setiap malam selama ini, karena aku merasa seolah-olah aku menyu-ruh kalian berdua memasuki jurang kematian!"
"Nanti dulu, Paman. Siapakah orang yang mengirim berita dari ayah itu? Yang menyampaikan pesan ayah dari Tuo-lun?"
"Aku sudah mencari orang itu namun tidak berhasil. Ketika dia datang melapor itu, aku sudah merasa heran mengapa Tan-toako tidak mengutus seorang di antara para anak buahnya, melainkan seorang yang asing dan tidak kukenal. Orang itu mengatakan bahwa dia adalah anggauta rombongan piauwsu yang mengawal barang dari Tuo-lun ke selatan, dan Tan-toako yang sudah mengenalnya, menitipkan pesan itu untuk kita."
"Dan engkau masih ingat orangnya? Wajahnya? Namanya?"
Tang Lun menarih napas panjang dan menggeleng kepala.
"Itulah kesalahan dan kecerobohanku. Karena tidak menduga buruk, aku lupa lagi akan namanya, dan wajahnya juga wajah orang biasa sehingga aku sudah tidak ingat lagi. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa dia adalah seorang anggauta gerombolan orang berkedok itu yang sengaja memancing kita melakukan perjalanan jauh itu."
Pada saat itu, dari luar muncullah seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun, orangnya bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat kekuningan akan tetapi sepasang matanya berkilat dan dia nampak cerdik dan gagah. Sebatang pedang tergantung dipunggung-nya dan pakaiannya juga pakaian seorang piauwsu. Melihat orang ini, Sin Hong segera mengenalnya. Dia adalah Ciu-piauwsu, nama lengkapnya Ciu Hok Kwi, seorang di antara piauwsu-piauwsu pembantu ayahnya. Sebaliknya, Ciu Hok Kwi tidak mengenal pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan Tang-piauwsu itu. Disangkanya seorang tamu biasa yang hendak mengirim barang, maka dia pun acuh saja.
"Paman Ciu!"