"Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...."
"Tukkk!"
Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
"Hi-hik, bocah cerewet!"
Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali. Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah seperti mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.
"Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuhnya mengering tanpa darah. Heh-heh-heh!"
Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini. Kalau saja Yo Han mau menuruti kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.
Kini, terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang, dan ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin hanya dua tiga hari anak itu akan bertahan. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai ia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar Moli lalu menambahkan kayu dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk di dekat api unggun ketika memilih isi bungkusan.
Sisa obat itu ia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya. Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat. Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu telah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut. Rasa takut adalah perkembangah dari si aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si aku yang merasa terancam menimbulkan rasa takut.
Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut kalau kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati. Si-aku ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut timbul kalau si-aku merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si-aku yang sesungguhnya hanyalah khayalan sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.
Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tidak mengenal rasa takut karena dia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan maupun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membibingnya dan menjaganya. Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, kemudian mengambil guci dan hendak menuangkan isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.
"Hah-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak engkau sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han? Akan tetapi anak itu tidak menjawab.
Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman! Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam "gendongan"
Kekuasaan Tuhan yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran maupun yang tidak ter-jangkau. Kalau sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apalagi yang dapat menimbulkan rasa takut?
"Heh-heh-heh-heh!"
Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarut-kannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.
"Hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau akan menjadi seekor kuda jantan dalam berahi! Hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau akan tak pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan hasrat kejantananmu itu terus-menerus sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu, sampai habis, hi-hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hik!"
Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya seperti iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.
"Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,"
Kata Moli dengan suara manis merayu. Tentu saja Yo Han tidak mau membuka mulutnya. Dia memang masih dapat menggerakkan mulut karena yang tidak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.
"Buka mulutmu kataku!"
Kini Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.
"Anak bandel!"
Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han. Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air di cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.
"Hi-hi-hik, racun itu telah memasuki perutmu, Yo Han. Engkau akan tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi kalau engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...."