Milana dan suaminya menggelengkan kepala.
"Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...."
"Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihh, ke mana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...."
Suma Han mengerutkan alisnya.
"Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu....!"
Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
"Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang."
Kata Milana.
"Rombongan utusan ke Bhutan?"
Suma Han bertanya.
"Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,"
Kata Milana menceritakan.
"yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu."
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu. Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
"Aihh....! Bhutan....? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu."
"Bisa jadi!"
Panglima Han Wi Kong berseru.
"Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka."
"Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan."
Kata Suma Han dengan tetap.
"Ayah, bolehkah aku ikut?"
Tiba-tiba Milana berkata. Suma Han memandang tajam.
"Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana."
Milana menunduk.
"Aku.... aku ingin sekali seperti dulu...."
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan. Dia menggeleng kepala.
"Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan."
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana.
"Ayah...." "Eh, ada apakah, Milana?"
"Ayah...."
Suaranya lirih sekali, gemetar dan parau,
"pernahkah ayah mendengar tentang.... dia....?"
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik,
"Aku tidak pernah mendengar.... entah di mana.... kau.... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...."
Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru dia berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi diapun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia. Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI dan SEPASANG PEDANG IBLIS) kini menimpa pula diri puterinya!
Kasihan Milana....! Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biarpun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya. Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan, dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan me-nyeret rantai panjang itu. Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya.
"Lihat itu....!"
Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.
"Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?"
"Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah."
Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa.
"Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!"
Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan.
Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi dua orang anggauta Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar. Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!
"Lee-ko.... aku.... aku takut...."
Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali. Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
"Bu-te.... kita harus dapat meloloskan diri.... sekarang juga...."
Bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu! Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.
"Bu-te, sekarang....!"
Bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan gin-kang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi. Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.
"Rajawali, terbanglah!"
Suma Kian Bu membentak.
"Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!"