Kisah Sepasang Rajawali Chapter 23

NIC

Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan mengangguk.

"Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali. Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan melupakan jasamu ini."

"Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhumu. Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggung-jawabkan kelak kalau aku tidak berhasil menyerahkan semua ini kepadamu."

Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada "gurunya"

Yang bernama Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya,

"Kong-lopek, menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"

Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan.

"Jangan.... jangan.... sebut-sebut nama dia.... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti.... ihhh.... aku takut, kongcu."

Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek inipun ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.

"Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka?"

"Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu hebat, mengerikan.... tapi kalau suhumu dan susiokmu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang."

Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab wasiat suhu dan susioknya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman! Demikianlah, sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam guha bersama Kong To Tek yang melayaninya dan yang selalu menjaga di luar guha di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat.

Untuk kedua kalinya, pemuda ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biarpun hanya terhadap kakek gundul itu! Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sin-kang dan bersamadhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua. Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mujijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In.

Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya. Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang perajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para perajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh keli-hatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap. Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.

"Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,"

Kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya.

"Bagaimana penda-patmu, Tan-ciangkun?"

"Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh."

Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata,

"Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku."

"Tentu saja. Mari kita pergi."

Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat.

Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang--bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram. Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.

"Hemm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa rumah itu,"

Kata Panglima Jayin.

"Ssttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarangan obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu."

Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.

"Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...."

Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak. Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu.

Panglima Jayin meng-amuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut! Akan tetapi fihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.

"Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!"

Kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk. Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jerih dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi. Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak. Para pengeroyok tadi kini menyerang mereka dari luar benteng obor, dengan menggunakan anak panah! Tentu saja dua orang gagah itu menjadi semakin sibuk!

Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang oleh hujan anak panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kasar untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup! Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara, yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang.

"Ke kiri melalui tiga obor....!"

Posting Komentar