Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu memandang bengong kepada pemuda tampan yang berdiri di depannya.
Juga Sin Wan merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok Ciu telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya.
Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit leher dan lengannya demiian halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang gemilang dan bibir yang merah dan manis itu! Untuk beberapa saat keduanya hanya saling pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun Kemudian Sin Wan maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh itu, lalu memberikannya kepada Giok Ciu.
"Terima kasih," kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.
"Giok Ciu!" Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang selalu ditundukkan itu.
Giok Ciu menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malumalu.
"Hm??" hanya demikian mulutnya menggumam.
"Kau.
kau sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?" kata Sin Wan lagi dengan agak heran.
Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah itu sekarang menjadi begini kikuk? Giok ciu tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu serta memandangnya dari sudut matanya.
Gerakan mata ini manis dan menarik sekali.
"Masak begitu mudah melupakan orang?" jawabnya perlahan.
"Giok ciu!, aku tidak pernah lupakan kau.
Mana bisa aku melupakanmu, teman baikku yang telah mengalami hal-hal aneh dan hebat bersamaku." Diingatkan akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan dulu, Giok Ciu tiba-tiba merasa gembira dan wajahnya berseri.
Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu Sin Wan adalah seorang tamu, maka dengan gugup ia berkata, "Kau.., masuklah , marilah." Dan ia mendahului pemuda itu ambil tempat duduk.
"Dimana Kwie-pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?" "Baik, terima kasih.
Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah bukit untuk membeli kain." "Aku disuruh oleh ibuku untuk mengantar sedikit barang tak berharga ini dan sekalian menyambangi kau." "Aku? Bukan menyambangi ayah?" Wajah Sin Wan memerah.
"Ya ayahmu juga!" Kemudian sambil menatap wajah gadis jelita itu ia berkata sungguh-sungguh, "Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau." Giok Ciu balas memandang.
"Heran? Mengapa? Apakah aku berubah dan .
Jelek?" Sin Wan tersenyum.
"Berubah sih tentu.
Kau sekarang menjadi tinggi dan.
dan.
makin manis!" Giok Ciu segera tundukkan muka, tapi senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa hatinya senang sekali.
"Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan yang sangat menyolok pada dirimu.
Kau sekarang begitu.
Begitu pendiam dan agaknya malu-malu padaku, mengapakah?" Giok Ciu memandang lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan terlalu lama.
"Kau tidak mempunyai perasaan.
malu kepadakukah?" "Mengapa aku mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini sahabatku yang baik, kawan sependeritaan ketika kita terjeblos dalam jurang dan akhirnya keluar dari sumur itu?" Untuk sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja sikapnya yang malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti biasa, bahkan gembira sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal di dalam hatinya telah disingkirkan.
"Sin Wan, kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?" "Ah, belum tentu semaju engkau!" "Hayo, kita mencoba kepandaian kita, boleh?" ajak Giok Ciu gembira.
Sin Wan geleng-gelang kepala.
"Sebenarnya aku tergesa-gesa sekali, Giok Ciu." Katanya perlahan dan tiba-tiba lenyap kegembiraannya karena ia teringat akan ibu dan kakeknya yang mungkin diancam bahaya dan bencana besar.
Melihat betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan keningnya tampak berkerut seperti orang bingung dan susah, gadis itu menjadi heran dan buru-buru bertanya, "Sin Wan, apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang menyusahkanmu? Katakan padaku, aku pasti akan membantumu!" Melihat sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati Sin Wan terhibur dan ia merasa berterima kasih sekali.
Ternyata gadis ini sama sekali tidak berubah, bahkan lebih baik dan setia kawan.
Karena ini ia lalu ceritakan dengan sejelasnya apa yang telah terjadi, yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas diri kakeknya dan betapa kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan tentara itu, tapi kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat mengkhawatirkan.
"Karena itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini, Giok Ciu, karena mungkin sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat oleh kakekku.
Aku harus kembali sekarang juga!" "Sebetulnya aku harus menyesal karena kau tak pernah mengunjungi kami dan sekarang begitu datang kau hendak pergi lagi.
Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali.
Tidak saja kau harus lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana.
Kita lebih baik sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!" Sin Wan pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang sekali tapi ia ragu-ragu.
"Ah, Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi ayahmu? Betapapun juga kau harus memberi tahu lebih dulu kepada Kwie-pekhu!" "Untuk urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit.
Apa pula untuk membela ibumu dan ayahmu adalah kewajibanku yang terutama! Biarlah aku meninggalkan surat saja untuknya agar kalau telah pulang ia bisa segera menyusul kita." "Kau maksudkan..
Kwie-pekhu juga akan ke sana membantu kami?" tanyanya girang sekali.
"Mengapa tidak? Ia pasti akan menyusul kita." Giok Ciu lalu cepat ambil alat tulis dan menulis surat pemberitahuan untuk ayahnya di atas meja dalam kamar ayahnya.
"Hayo kita pergi,tapi kau harus makan dulu.
Bukankah kau tadi belum makan? Jangan kita nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu." Kata gadis itu menimbulkan kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.
"Tak usah, Giok Ciu, kalau ada kuih, kau bawa kuih saja, kita makan di jalan nanti." Giok Ciu tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari cepat.
Sin Wan sengaja lari cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi ternyata ilmu lari cepat gadis itu tidak berada dibawah tingkatnya hingga ia menjadi kagum dan girang.
Ketika tiba di jurang yang lebar, dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan tambang, mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar.
Giok Ciu dengan gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil berkata, "Sin Wan, lihat I sana itu, masih ingatkah kau?" Sin Wan memandang dan melihat sebuah benda panjang keputihputihan menggantung dari puncak karang.
Ia ingat bahwa itu adalah tali tambang yang dulu ia pakai untuk meloncati jurang itu.
Ia menghela napas dan berkata, "Alangkah cepatnya waktu berjalan.
Tiga empat tahun telah lalu dan tali itu masih tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri di sini, seakan-akan peristiwa itu baru terjadi kemarin.
Dan kitapun tak terasa pula sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!" "Kenapa dalam beberapa tahun itu kau atau kong-kong tak pernah datang menengok kami? Tadinya kukira kalian sudah lupa!" Gadis itu berkata sambil cemberutkan bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan malahan tampak lebih manis.
"Kakekku selalu sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku hendak pergi sendiri, ibu selalu melarangku setelah terjadi aku hilang dua hari dulu itu!" Giok Ciu padang wajah Sin Wan dengan iri hati, "Ah, kau memang beruntung, mempunyai seorang ibu menyayangimu." Dan mata gadis itu menjadi merah.
Tapi Sin Wan segera menghiburnya, "Tapi aku tidak mempunyai ayah seperti kau.
Keadaan kita sama.
Giok Ciu, jangan kau bersedih.
Biarlah kau anggap ibuku seperti ibumu sendiri." Tiba-tiba sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan.
Pemuda itu terheran dan tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak kenal jalan terpaksa berhenti juga, agak jauh dari tempat Sin Wan berhenti.
"Giok Ciu, kau kenapakah? Marahkah kau?" Giok Ciu memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca isi hatinya.
Kemudian gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap biasa.
"Tidak apa-apa, hanya aku tadi terharu mendengar bahwa aku harus menganggap ibumu seperti ibuku sendiri.
Alangkah baiknya, dan kau juga menganggap ayahku seperti ayahmu sendiri." "Ya, begitulah lebih baik," kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak tahu betapa Giok Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup hingga sepasang mata yang bening itu mengincar dari balik bulu matanya yang panjang dan lentik.
"Marilah kita percepat perjalanan ini agar segera sampai dirumah,"kata Sin Wan.
"Apakah kau tidak lapar? Ini, makanlah kuih ini." Gadis itu keluarkan sepotong kuih kering dari saku bajunya, dan mereka lalu makan kuih itu.
Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa dulu didalam jurang, dimana mereka juga makan kuih kering bekal Sin Wan.
Setelah makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan segar mereka lalu berangkat pula.
Perjalanan kali ini berbeda dengan ketika Sin Wan berangkat dari rumah, karena dengan berdua mereka merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di kanan kiri.
Tamasya alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan tidak terlihat oleh Sin Wan, kini nampak bagus dan menarik sekali hingga beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti untuk menikmati pemandangan indah itu beberapa lama.
Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan dan keuletan tubuh Sin Wan.
Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa lelah! Karena sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin Wan telah mulai senja.
Matahari telah sembunyi di balik puncak Kamhong-san dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah sehari penuh beterbangan mencari makan.
Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.