Kisah Sepasang Naga Chapter 06

NIC

Ia mundur sampai di dinding yang berhadapan dengan batu-batu di dinding itu, dan hampir saja ia berseru kaget dan heran.

Giok Ciu segera menghampiri kawannya dan ikut melihat.

Juga gadis cilik itu terherannya ketika lihat betapa batu-batu besar yang menonjol di dinding karang itu bentuknya sedemikian rupa hingga merupakan mata, sedemikian rupa hingga merupakan kepala seekor naga! Sepasang batu bulat merupakan mata, batu dibawah merupakan hidung dengan dua lubangnya, dan batu di bawah yang memanjang diserta batu-batu runcing merupakan mulut naga yang sedang ternganga! Dengan tabah Sin Wan mendekati dinding berlukis kepala naga itu dan meraba-raba.

Juga Giok Ciu meraba-raba, dan gadis kecil ini berteriak kaget ketika ia meraba mata kiri batu naga itu.

"Sin Wan! Batu yang menduduki tempat mata ini dapat bergerakgerak!" Sin Wan cepat meraba batu mata kanan dan ternyata batu itupun dapat bergerak-gerak.

Dengan berbareng Sin Wan dan Giok Ciu menekannekan kedua batu yang merupakan mata naga itu.

Ini sebetulnya terjadi kebetulan saja, tapi sungguh mengagetkan mereka ketika tiba-tiba terdengar bunyi berkerotokan seperti barang yang sangat berat bergerak pindah dan perlahan-lahan batu yang menempati mulut itu bergeser dan terbuka! Sin Wan dan Giok Ciu loncat mundur dengan takut dan menunggu-nuggu kalau-kalau dari lubang itu akan keluar makhluk yang dahsyat.

Tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu dengan hati berdebar, tak tampak sesuatu keluar dari situ.

Dalam kegelapan hati mereka, kalau saja pada saat itu ada seekor tikus kecil keluar dari lubang itu tentu keduanya akan terperanjat sekali! "Giok Ciu biarlah aku memasuki lubang ini untuk memeriksa.

Kau tinggal saja disini." "Tidak, Sin Wan.

Aku tidak mau berada seorang diri disini.

Kita terjerumus di tempat ini berdua, maka sekarang maju harus berdua pula." "Giok Ciu lubang ini terjadi karena kita berdua menggerakkan batu-batu yang membentuk mata naga, maka tentu ini bukan hal kebetulan saja.

Pasti lubang dan batu-batu ini sengaja dibuat oleh orang, atau setidaknya oleh makhluk hidup.

Maka kurasa tentu ada apaapa menanti dibalik lubang dan bukan tidak berbahaya.

Kalau aku saja yang masku biarpun ada bahaya menimpa, hanya aku yang menghadapinya.

Biarpun sampai mati, tapi masih ada engkau.

Lebih baik kurban hanya seorang daripada kedua duanya." Tak tersangka ketika mendengar kata-kata ini, Giok Ciu marah sekali.

Sepasang matanya yang lebar memancarkan cahaya yang mengingatkan Sin Wan akan sepasang mata naga yang dilihatnya didalam hujan ribut tadi pagi! "Sin Wan, kau anggap aku orang apakah? Aku bukan seorang pengecut, dan ayahku ialah seorang tokoh Kunlun-pay yang gagah perkasa dan dihormati orang! Kalau kau tidak takut menghadapi bahaya, apa kau kira akupun takut mati? Pendeknya kau pilih saja, kita masuk berdua atau kalau hanya seorang yang boleh masuk, kau yang tinggal disini dan aku yang masuk sendiri! Sin Wan pandang gadis cilik yang usianya sepantaran dia tapi sudah bersemangat gagah ini dengan kagum.

Maka iapun mengalah.

Ia hendak masuk lebih dulu, tapi Giok Ciu tetap hendak masuk berbareng.

Karena lubang itu cukup besar, maka dengan merangkak berdampingan mereka dapat juga menerobos masuk.

Tapi, dalam keadaan masih merangkak bagaikan dua ekor binatang kaki empat, kedua anak itu dengan mata terbelalak dan mulu ternganga serta wajah pucat memandang sambil berdongak ke depan mereka, sedang tubuh mereka tak bergerak bagaikan berubah menjadi patung! Di depan mereka tidak ada tiga tombak jauhnya, terdapat rangka dua ekor ular besar sekali dengan tengkorak menghadap mereka dan mulut tengkorak ular itu terbuka lebar seakan-akan hendak telan mereka! Sin Wan dapat tenteramkan goncangan hatinya lebih dulu dan ia berkata.

"Ah, tidak apa-apa Giok Ciu.

Hanya rangka yang telah mati.

Hayo berdirilah." Tapi biarpun mulutnya berkata begini, ketika berdiri SinWan merasa heran karena kedua kakinya agak menggigil! Giok Ciu berpegang kepada tangan Sin Wan yang diulurkan dan gadis cilik itupun berdiri dengan wajah masih pucat.

Mereka maju selangkah demi selangkah ketempat di mana dua rangka ular itu berada.

"Aduh besarnya!" Giok Ciu berbisik ketika mereka telah dekat dengan rangka itu.

Memang rangka itu besar dan panjang dengan tubuh kedua ular saling belit.

"Jangan-jangan masih ada ularnya yang hidup." Giok Ciu berbisik kepada Sin Wan, tapi pemuda kecil ini sedang pandang kedua tengkorak ular dengan penuh perhatian dan tertarik.

Bayangan dua ekor naga sakti bersisik putih dan hitam terbayang depan matanya.

Apakah ini rangka naga sakti itu? Demikian hatinya berbisik dengan takjub.

Melihat betapa Sin Wan berdiri bengong di depan tengkorak ular, Giok Ciu segera betot tangan kawannya itu.

"Sin Wan, hayo kita kesana.

Lihat ada apa itu di sana?" Sin Wan memandang dan ternyata di bagian sebelah dalam terdapat semacam tetumbuhan yang mengeluarkan bau harum.

Mereka segera menghampiri tetumbuhan itu dan ternyata daun tetumbuhan itu seperti daun anggur dan disitu terdapat enam butir buah yang berwarna putih.

Buah itu besarnya sekepalan tangan dan macamnya seperti apel, tapi baunya sangat harum.

Giok Ciu yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering pemberian Sin Wan, segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.

"Giok Ciu, tahan dulu!" kata Sin Wan cepat.

"Ada apa? Kalau kau mau, petiklah itu." Jawab Giok Ciu.

"Buka begitu, Giok Ciu.

Buah ini kita tidak tahu apakah boleh dimakan atau tidak.

Bagaimana kalau mengandung racun?" "Tapi baunya enak sekali, kurasa tidak beracun," jawab Giok Ciu.

"Pula lebih mati makan buah beracun daripada mati kelaparan." "Kalau begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!" kata Sin Wan.

"Ah, kau ini anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri saja! Apa-apa hendak mendahului!" "Kalau begitu, biarlah kita makan bersama," kata Sin Wan yang lalu petik sebuah lagi.

Mereka berbareng gigit buah itu dan saling pandang heran.

Ternyata buah itu manis dan harum sekali, rasanya lezat dan segar! Karena hanya ada enam butir di situ, maka masing-masing makan tiga.

Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir buah mereka merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat menahan pula.

Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan hampir jatuh.

Sin Wan berseru, "Celaka, kita makan buah beracun!" dan ia masih sempat peluk tubuh kawannya yang hendak roboh.Tapi ternyata Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya.

Dengan hati-hati dan perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah, sedangkan ia sendiri yang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya lagi, segera rebahkan diri di atas tanah yang tertutup pasir itu.

Sebentar saja ia mengeros karena tertidur pulas! Kedua anak itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai sumur itu menjadi gelap karena matahari telah terbenam.

Semalam penuh lewat tanpa mereka ketahui samasekali, juga mereka tidak merasa betapa hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut naga itu karena mereka telah tertidur lelap sekali.

Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam sumur, Giok Ciu bangun lebih dulu.

Gadis cilik ini merasa perutnya mulas dan sakit bagaikan diremas-remas dari dalam hingga ia bangun duduk sambil pegang-pegang perutnya.

Ia merasa hendak buang air besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani bangunkan Sin Wan yang masih tidur enak, karena malu.

Ia lari kesana kemari mencari tempat untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu.

Sedangkan perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di dalam perutnya.

Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahannahan rasa sakit, dan akhirnya ia tak kuat lagi.

Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu dan cepat buka pakaiannya.

Dan disudut situlah ia buang air besar yang banyak sekali seakan-akan perutnya dikuras habis.

Kotoran keluar dari perutnya tiada hentinya hingga Giok Ciu hampir menangs karena malu.

Ah, bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan dan tubuhnya terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran dalam perutnya terkuras keluar! Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan teliti.

Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia mendengar suara orang buang air di sebelah kanan rangka ular itu! Hampir Giok Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa yang telah terjadi di balik rangka yang menghalangi mereka itu! Ternyata Sin Wan juga telah sadar dari tidurnya dan mengalami nasib yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok Ciu.

Kenapa mesti malu kalau pemuda itupun berhal seperti dia? Karena perut kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di dalam ruangan itu tersiar bau yang tidak sedap hingga keduanya merasa jengah dan malu.

Masing-masing tidak berani berdiri, biarpun buang air itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi di dalam perut mereka yang dapat keluar.

Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

Juga suara rintihan Sin Wan sudah lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik rangka ular aau tidak.

Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.

"Giok Ciu, ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut kita dikuras habis! Barusan aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan tak jauh dari situ jika kau berjalan terus kau akan menemukan sebuah pancuran air.

Tadi aku telah ke situ untuk cuci badan dan cuci pakaian.

Kau kesanalah, Giok Ciu!" Giok Ciu tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan yang ditunjuk oleh Sin Wan itu.

Ketika memasuki tikungan, ia mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima kasih sekali ketika melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu hingga tidak melihatnya.

Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu cepat lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air memancur keluar dari sebuah batu yang terbelah.

Ia cepat cuci tubuhnya dan bersihkan dir, maka ia makan waktu yang agak lama.

Posting Komentar