Kisah Sepasang Naga Chapter 05

NIC

Ia agak khawatir melihat betapa gadis itu rebah tak bergerak dengan tubuh lemas, dan dengan bingung ia memandang kesekelilingnya.

Ternyata mereka terjatuh kedalam jurang yang lebar dan disitu terdapat batu-batu besar dan air lumpur.

Anehnya di tengah-tengah jurang itu terdapat tumpukan pasir lemas yang telah menolong jiwa mereka! Sin Wan lalu menghampiri sebagian tanah yang terdapat airnya lalu celupkan ujung bajunya disitu.

Setelah direndam agak lama dan ujung baju itu menjadi cukup basah, ia lalu kembali ketempat gadis itu berbaring dan peras ujung bajunya hingga airnya mengucur membasahi muka anak perempuan itu.

Dengan perlahan anak perempuan itu sadar dari pingsannya.

Ia gerak-gerakkan bibir dan pelupuk matanya.

Karena duduk di dekat kepala gadis cilik itu, Sin Wan dapat melihat betapa bulu mata yang panjang, hitam dan lentik itu bergerak-gerak dan betapa kulit pelupuk mata yang halus itu terbuka perlahan.

Pertama-tama pandangan mata gadis itu bertemu dengan Sin Wan dan ia tersenyum karena segera ia teringat kepada pemuda ini.

Kemudian ia merasa betapa jidatnya agak sakit maka dirabanya jidat itu.

Pandang matanya berubah heran ketika jari-jari tangannya menyentuh ikat pinggang membalut jidatnya.

"Kau terluka sedikit dan aku membalutnya".

Ketika Sin Wan melihat betapa gadis itu memandangnya dengan agak bingung, ia mengingatkan.

"Kita jatuh ke dalam jurang, ingatkan?" Maka teringatlah gadis itu.

Ia loncat bangun dan memandang ke atas dengan ketakutan.

Sin Wan juga memandang keatas.

Ternyata mereka terjatuh dalam sekali hingga mereka tak dapat melihat tebing jurang di atas, apalagi jurang itu tertutup oleh uap semacam embun yang tebal dan tergenang di situ.

"Aneh sekali, mengapa kita masih hidup?" anak gadis itu berkata perlahan.

Sin Wan meraba pasir lemas di bawah kaki mereka.

"Inilah yang menolong kita, kalau kita terjatuh disitu, ah.ah" Ia bergidik ketika memandang kepada lain bagian dalam jurang itu yang penuh batu-batu hitam besar, Gadis cilik itupun bergidik ngeri.

"Kau..

kau siapakah? Siapa namamu?" tanyanya sambil pandang wajah Sin Wan dengan sepasang matanya yang bening dan bagus, sedangkah karena terjatuh tadi, maka kedua jambul di atas kepalanya menjadi kusut dan rambut-rambut halus menutup sebagian mukanya.

"Aku she Bun bernama Sin Wan, dan kau siapakah?" "Namaku Kui Giok Ciu, aku tinggal bersama ayah dilereng gunung Kam-hong-san sebelah timur, Ah, ayah tentu mencari-cariku dan nanti tentu akan marah padaku".

"Namamu bagus sekali, Giok Ciu.

Kau beruntung masih mempunyai ayah.

Ayahku telah meninggal dan aku hanya tinggal bersama ibu dan kakekku di kampung Lok-thian-kwan di kaki gunug.

Kakekku juga tentu mencari aku karena aku pergi tanpa pamit".

"Bagaimana kita bisa keluar dari sini? Sin Wan, kita harus keluar dari sini secepatnya, aku .

.

.

.

.

., aku takut dan perutku lapar sekali".

Sin Wan tersenyum dan merasai kemenangan di dalam jurang ini.

Ia sama sekali tidak merasa takut sekarang.

Mendengar bahwa kawannya itu merasa lapar, ia teringat akan roti keringnya.

Ia rogoh saku dan ternyata rotinya masih ada.

Segera ia keluarkan roti itu dan berikan kepada Giok Ciu.

Gadis cilik ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu terima roti itu dan terus saja menggigitnya.

"Ah, enak juga rotimu," kata Giok Ciu.

Ketika melihat betapa pemuda itu melihatnya dengan wajah ingin sekali,ia tertegun dan bertanya "Tidak ada lagikah rotimu? Hanya ini?" Sin Wan menggeleng kepala.

"Tidak ada lagi, tapi tidak apa, kau makanlah." "Ah, mana bisa begitu.

Ini, kau makanlah sepotong." Gadis kecil itu lalu potong roti kering di tangannya menjadi dua potong dan ia berikan yang sepotong kepada Sin Wan.

"Makanlah semua, Giok Ciu, aku tidak lapar," jawab Sin Wan sambil geleng kepala.

Tapi Giok Ciu tiba-tiba menjadi ngambul dan cemberut, lalu ia kembalikan dua potong roti itu kepada Sin Wan.

"Kalau begitu, aku juga tidak lapar.

Mari, kau terima kembali rotimu!" katanya marah.

Sin Wan tersenyum melihat ini dan terpaksa ia terima juga sepotong.

Tapi tanpa disengaja ia menerima potongan yang bekas digigit oleh Giok Ciu.

Ketika Giok Ciu gigit bagiannya sambil melihat kepada Sin Wan, gadis cilik itu melihat betapa roti yang dipegang oleh Sin Wan terdapat bekas gigitannya maka cepat ia berkata sebelum roti digigit Sin Wan.

"Eh tahan dulu, jangan kau makan roti itu!" Sin Wan telah bawa roti itu kedekat mulut dan siap hendak menggigitnya.

Maka ketika mendengar seruan Giok Ciu, ia heran dan turunkan kembali rotinya.

"Ada apakah?" Wajah Giok Ciu memerah hingga Sin Wan makin heran.

"Kemarikan roti itu, itu adalah roti bagianku yang telah kugigit.

Ini, kau harus makan yang ini." Dengan cepat Giok Ciu saut roti dari tangan Sin Wan dan berikan rotinya dari tangan Sin Wan dan berikan rotinya sendiri kepada pemuda itu.

Tapi pada saat itu dengan terkejut ia melihat bahwa roti ke dua itupun telah digigitnya tadi! Maka ia menjadi bingung dan berkata dengan mata terbelalak.

"Ah, itupun sudah kugigit! Bagaimana baiknya, ah.

.

.

.

eh .

.

.

.

.

." Melihat kebingungan gadis itu, Sin Wan tersenyum sambil melihat bekas gigitan pada roti ditangannya.

"Giok Ciu kau aneh sekali! Kukira tadi ada apa maka kau tahan roti yang hendak kumakan.

Tidak tahunya hanya soal itu.

Apakah salahnya kalau aku makan roti bekas gigitanmu? Apakah gigitanmu berbahaya seperti ular berbisa?" Makin merahlah wajah Giok Ciu mendengar godaan ini.

"Bukan begitu, tapi .

.

.

.

tapi .

.

.

.

bekas mulutku .

.

.

.

dan .

.

.

kotor!" Sin Wan segera gigit rotinya dibagian bekas gigitan Giok Ciu lalu makan roti itu dengan enak.

Ia angguk-anggukkan kepala dan berkata.

"Ah, bekas gigitanmu tidak berbisa, dan kulihat mulutmu tidak kotor, bahkan bersih dan bagus.

Mengapa adatmu seaneh-aneh ini? Makanlah".

Mereka lalu makan roti yang tidak berapa besar itu.

Tentu saja mereka tidak kenyang.

Kemudian mereka merasa haus karena roti kering itu dimakannya seret sekali.

Mereka mencari air bersih dan temukan pancuran air kecil yang bening dan mengucur dari ats sepanjang batu cadas.

Setelah puas minum air, tiba-tiba Giok Ciu menunjuk kedepan.

"Sin Wan, lihat itu, ada gua!" Benar saja, tertutup oleh alang-alang yang rapat sekali, terdapat sebuah gua besar dan gelap dalam jurang itu.

Gua ini bukan hanya karena tertutup oleh alang-alang maka tak tampak, tapi adalah karena gua itu gelap dan hitam sedangkan di dasar jurang dimana kedua anak itu terjatuh, terdapat cahaya matahari yang masuk dari sebelah utara di mana tida ada awan yang menghalang.

Jurang itu sebenarnya adalah semacam lamping gunung, dan bukanlah merupakan jurang biasa, maka di belakang masih terdapat tempat terbuka yang curam kebawah dan berbahaya sekali.

Sin Wan tidak melihat kemungkinan untuk keluar dari tempat itu melalui jalan naik karena batu cadas yang merupakan dinding jurang itu licin sekali dan tinggi luar biasa, juga tidak mungkin melepaskan diri dari kurungan itu melalui bagian yang terbuka, karena bagian itu merupakan jurang lain yang lebih curam lagi! Ia mencoba melongok kesana dan cepat-cepat tutup kedua matanya karena ngeri! Ternyata bawah mereka berada di lereng gunung dan dari tempat terbuka yang dimasuki cahaya matahari itu mereka dapat melihat dasar dibawah yang luas dan dalamnya puluhan li! "Sayang tambang dan besi pengaitku tertinggal di sana ketika kita meloncati juran itu," kata Sin Wan.

Sekarang terpaksa kita harus coba menyelidiki gua itu." "Gua hitam itu? Ah, aku takut, Sin Wan.

Agaknya mengerikan sekali tempat itu." "Habis apakah kita mau tinggal selamanya disini dan mati kelaparan? Kita harus berdaya mencari jalan keluar!" Terbangun semangat Giok Ciu mendengar kata-kata ini.

Mereka lalu saling berpegang tangan untuk saling menahan kalau tergelincir, dan bersama-sama memasuki gua yang gelap sekali itu.

Sambil meraba-raba dengan kaki dan tangan mereka masuk.

Gua itu ternyata besar dan di bawahnya tidak basah, melainkan pasir belaka isinya.

Sin Wan dan Giok Ciu berjalan terus setengah merayap karena khawatir kalau-kalau terjeblos kedalam lubang.

Setelah berjalan lama dan membelok lebih dari tujuh kali dalam tikungan-tikungan yang tajam, tiba-tiba disebuah tikungan mereka dibikin silau oleh cahaya yang dengan aneh sekali dapat memasuki guha itu! Gua yang merupakan terowongan panjang itu makin lama makin lebar, dan ketika tiba di tempat yang terang, Giok Ciu dan Sin Wan cepat menuju ke ruang tersebut.

Ternyata bahwa rung itu merupakan sumur yang lebar dan besar dan cahaya masuk dari atas.

Tapi sayang, sumur itu terlalu dalam hingga tak mungkin untuk loncat naik, juga dindingnya dari karang-karang yang tajam dan tak mungkin didaki.

Kedua anak itu duduk melepaskan lelah dan saling pandang dengan putus asa.

Tapi Sin Wan tidak mau memperlihatkan kelemahannya, ia gigit bibirnya dan berkata.

"Giok Ciu, bukankah aneh sekali kejadian yang menimpa diri kita hari ini? Kau lihatkah tadi dua ekor naga yang menyerang kita?" Giok Ciu pandang kawannya dengan heran.

Ia takut kalau-kalau Sin Wan sudah berubah ingatan.

"Apa maksudmu? Dua naga yang mana?" Kini Sin Wan yang heran, "Apa Kau tidak melihat dua naga yang menyambar-nyambar kita dan memukul-mukul kita dengan ekornya ketika kita berada di atas dan sebelum terjatuh ke dalam jurang?" Giok Ciu geleng-geleng kepala.

"Aku hanya melihat mendung tebal menghitam dan kilat menyambar-nyambar, disertai suara geluduk yang mengerikan.

Dimanakah ada naga? Aku tidak melihatnya." Sin Wan tundukkan kepalanya.

Apakah benar kata kakeknya bahwa ia terlalu banyak memikirkan dongeng naga itu hingga sering mimpi dan melamun sampai bayangan-bayangan naga tampak di depan mata? Ah, tak mungkin.

Dua naga yang tadi jelas kelihatan olehnya!" "Sin Wan, jangan mengobrol yang tidak-tidak.

Paling perlu, pikirkanlah bagaimana kita harus keluar dari sini!" Sin Wan bangkit berdiri diikuti oleh Giok Ciu.

"Hayo kita berjalan terus," ajaknya.

Ketika menyelidiki ruang itu, mereka melihat sesuatu yang menarik hati sekali.

Tadi hal itu tidak tampak oleh mereka, tapi kini setelah meneliti dengan baik, Sin Wan dapatkan bahwa bentuk batu di dalam sumur ini mengherankan sekali.

Posting Komentar