Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang menurunkan kepada dara itu.
Betapapun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong. Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selalu mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah.
Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri. Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang auggauta gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan. Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.
"Serbu! Bunuh semua orang yang berada di dalam istana!! teriak Hek-i Mo-ong sambil meloncat ke depan, membawa senjatanya yang mengerikan yaitu sebatang tombak Long-ge-pang (Tombak Gigi Serigala). Kakek ini memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, akan tetapi karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih nampak kuat. Hek-i Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang peranakan Bangsa Kozak, ibunya seorang wanita utara yang juga bertulang besar.
Rambutnya sudah putih semua, dan pakaiannya serba hitam, membuat wajahnya yang berkulit putih dan rambut, jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyolok. Di pinggangnya nampak sebatang kipas merah yang ujungnya runcing. Di samping senjata Long-ge-pang yang dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini merupakan senjata yang amat ampuh pula.
Kipas merah ini bukan hanya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan ujungnya yang runcing, akan tetapi juga merupakan alat penarik perhatian untuk melakukan sihir terhadap lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo -ong ini terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata.
Orang ke dua dari para pimpinan gerombolan penyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam perkelahian mati-matian yang akhirnya menyebabkan keduanya mati sampyuh.
Orang ke tiga adalah Ulat Seribu, seorang wanita yang melihat keadaan wajahnya yang amat buruk, sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot, mengerikan dan bahkan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti penyakit kulit yang hehat. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya yang masih padat dan indah, kulit leher dan lengannya yang putih mulus maka usia wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh lima tahun.
Wanita ini peranakan Korea dan dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang anak buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu ini amat keras wataknya, dan lihai bukan main, terutama sekali gin-kangnya yang membuat ia dapat bergerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat lawan menjadi ngeri dan gentar adalah kebiasaannya yang aneh. Ia suka memelihara dan membawa-bawa segala macam ulat.
Dari ulat yang gundul sampai ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang, ulat-ulat itu merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat beracun dan dapat ia pergunakan sebagai senjata untuk merobohkan lawan! Keadaan yang mengerikan inilah yang membuat ia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja, dan tidak ada orang lain yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun, wanita ini terkenal ahli bermain silat dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya terdapat kaitan-kaitan dari emas.
Orang ke empat bernama Liok Can Sui, berjuluk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda), sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, dan yang berkedudukan di daerah Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini amat lihai ilmunya, dan ganas sekali senjatanya, yaitu sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu diapun merupakan seorang ahli racun yang ampuh.
Datuk ke lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia memang pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena dialah satu-satunya orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah terbasmi dan tewas semua.
Jai-hwa Siauw-ok ini dahulunya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari Ji-ok, tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati iblis betina itu, dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan melalui wanita tua yang tergila-gila kepadanya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula mempelajari Ilmu Silat Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan pukulan Hoa-mo-kang (Katak Buduk) yang lihai dari Su-ok. Sesuai dengan julukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini memang mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang dan setiap kali melihat wanita muda yang menggerakkan nafsu berahinya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak perduli anak orang atau isteri orang!
Empat orang datuk yang merasa marah karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam segebrakan saja ada sebelas orang anak buah mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak buah mereka yang masih cukup banyak itu untuk menyerbu.
Akan tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan sesuai dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Nenek Nirahai sendiripun sudah menerjang turun dari atas wuwungan samping dan begitu pedang payunngya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting dan roboh tewas seketika! Cin Liong juga mengamuk.
Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan biarpun para anak buah gerombolan itu adalah orang-orang pilihan, namun amukannya membuat tiga orang roboh binasa mandi darah! Juga Suma Hui tidak mau kalah. Dara ini mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada seorang lawan tewas dan seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun mengamuk dengan tangan kosong, menggunakan ihnu pukulai Hwi-yang Sin-ciang yang baru diperdalam itu untuk mengamuk dan pemuda ini berhasil merobohkan seorang lawan pula.
Suma Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu juga membantu keluarganya, menggunakan sebatang tombak dan anak ini memang mengagumkan sekali. Seorang anggauta gerombolan yang bersenjata golok besar menyerangnya kalang-kabut, namun anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa sehingga ke manapun golok itu menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat kosong belaka, sedangkan ujung tombak itupun kadang-kadang melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya!
Setelah mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan merobohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga orang rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mundur. Bahkan lima orang pelayan yang tadi melawan mati-matian itupun sudah roboh satu demi satu dan tewas dengan tangan masih memegang senjata, seperti perajurit-perajurit yang gagah perkasa.
Nenek Nirahai lalu menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya melompat memasuki halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok yang sejak tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan tetapi tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup. Keluarga Pulau Es itu mundur semua sampai di halaman samping dan di sini mereka semua mengamuk mati-matian.
Nenek Nirahai maklum bahwa di antara semua datuk, yang paling lihai adalah Hek-i Mo-ong, maka iapun sudah menerjang iblis ini dengan dahsyat. Pedang payungnya menyambar bagaikan halilintar, menyambar ke arah leher lawan. Melihat berkelebatnya sinar senjata yang demikian menyilaukan mata, Hek-i Mo -ong terkejut dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar Super Sakti yang bernama Puteri Nirahai ini, maka dia tidak berani memandang ringan dan tombak Long-ge-pang di tangannya diputar untuk menangkis.