Gadis itu merangkul ibunya. Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon dan mereka maju baberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.
"Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!"
Bentak laki-laki muda.
"Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,"
Kata pria yang setengah tua. Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, diapun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.
"Maaf, paman.... maafkan aku. Aku.... aku bukan setan, aku manusia biasa yang mengharapkan pertolongan kalian."
Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, akan tetapi mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentu orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!
"Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?"
Tanya pria setengah tua.
"Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku.... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini."
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong membalikkan tubuh memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, memperlihatkan pula tanpa disadari pinggulnya karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.
"Iiihhh....!"
Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, hanya mengintai dari celah-celah jari tangannya! Kini pria setengah tua itu percaya karena dia melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.
"Kau ambilkan satu stel pakaianmu, juga obor."
Perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.
"Baik, ayah."
Diapun lari ke dalam. Ayah, ibu den anak perempuan itu manih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita terutamm gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.
"Maafkan aku, puman. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, maka aku sengaja menanti sampai gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci di sana itu memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar suaila."
Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukan seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.
"Siapakah namamu, orang muda?"
Tanya si ayah.
"Namaku Liong, she Sie."
Pada saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa obor di tangan kanan dan satu stel pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dengan perasaan berterimakasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itupun kakinya terlalu panjang. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan. Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka.
"Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak Terimakasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini."
Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, di tariknya untuk diajak masuk ke rumah.
"Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kmpada kami."
Sie Liong mengikuti mereka dan kini gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lajimnya gadis-gadis dusun. Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali sebulan karena daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baiknya, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali. Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.
"Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku telah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan."
Empat orang itu senang sekali melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak di dusun yang kasar.
"Kalau engkau sebatangkara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaianpun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu."
Kata sang ayah.