Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar. Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar den diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering!
Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis den buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya den tersenyum kepada mereka.
"Aih, paman sekalian membikin kaget saja padaku,"
Katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
"Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!"
Kata seorang.
"Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!"
Kata orang ke dua. Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!"
"Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!"
Teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan. Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
"Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?"
Bentak si brewok.
"Hayo jawab!"
Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.
"Tidak."
"Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, akan tetapi buntalanmu harus kautinggalkan!"
Berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya. Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.
"Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah.
"Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!"
Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga."
Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.
"Bukkk!"
Tendangan itu mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan diapun roboh pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi. Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!
Berubah seketika nampaknya hidup di dunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat. Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat! Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan monemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.
Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya. Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itupun telanjang bulat mengapa dia harus malu? Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum. Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau manuasia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.
Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada yang mau menolongnya den bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila! Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih. Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.
Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang monampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya. Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati meayelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu manghampirinya.
Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika dalam keremangan senja itu dia malihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur. Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.
"Siapa itu?"
Gadis itu menegur. Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.
"Hayo katakan siapa itu! Malingkah? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!"
Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.
"Aku.... aku bukan maling...."
Katanya lirih. Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!
"Eiiiiihhh....!"
Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itupun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.
"Setaaan....! setaaaaann....!"
Ia menjerit-jerit.
Sie Liong kembali memyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit dan merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkpk telanjang! Sungguh sial, gerutunya, tidak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki berusia dua puluh tahun lebih, keduanya membawa parang dan siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegang tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan.
"Mana. dia? Mana setan itu?"
Tanya pemuda itu dengan lagak pemberani akan tetapi suaranya agak gemetar.
"Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihat! Dia masih di sana...."