"Hemmm.... jangan engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?"
Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk.
"Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.
"Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada."
"Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu"
"Ehhh....? Dia....?"
Sejenak puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang sepertli Suma Kian Bu!
"Tahukah Enci di mana adanya dia?"
Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah mengapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan antara kalian"
Siang In menggeleng kepalanya.
"Tidak ada permusuhan apa-apa "
"Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah !"
"Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tidak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap."
"Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.
"Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...."
"Ah, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu."
Jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah. Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran.
"In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau.... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...."
"Ah, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?"
Siang In merangkul.
"Tidak ada rahasia perbuatan itu hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku."
"Ihhh....!"
Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu
"bukan apa-apa"!
"Kenapa kau terkejut, Enci?"
Siang In memandang penuh selidik.
"Tidak apa-apa...."
Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu.
"Hanya.... kalau sudah begitu.... berarti kalian saling men-cinta."
Siang In menggeleng kepala.
"Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?"
"Ya.... karena.... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kau kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya."
"Hemmm.... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti."
Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.
"Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku."
"Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu, memang, akan tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!"
Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!
"Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?"
"Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kaunyanyikan kemarin itu."
"In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sannbil menari."
"Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian tariannya."
"Musiknya?"'
"Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu."
Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andaikata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.
"Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya."
Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri. :
Kekasih Telah Lama Pergi
Tak Tahu Bila Akan Jumpa Kembali
Namun Hati Pantang Membeku
Tak Mengenal Putus Harapan
Selama Hayat Dikandung Badan
Cintaku Tak Pernah Padam
Jika Tiada Kesempatan Jumpa Di Dunia
Di Akhirat Kita Akan Saling Bersua
Harapan Jumpa Kekasih
Kubawa Sampai Mati.
"Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat."