Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih.
"Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal."
"Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?"
"Tentu saja aku mau!"
"Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?"
"Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat."
"Bagus!"
Siang In berseru girang.
"Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci."
Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata,
"Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan "
"Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu."
"Bagus, akan tetapi betapapun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman."
Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat!
Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In. Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya. Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring,
"Siluman jahat!, jangan lari!"
Siang In terkejut. Tak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya! Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
"Eh-eh, kalian ini mau apakah?"
Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.
"Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tu-buhmu!"
Bentak di sebelah kirinya.
"Berlututlah engkau!"
Perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu. Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan,
"Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!"
Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
"Ihhhhh.... ularrrrr....!"
"Hiiiiihhhhh.... aih, celaka....!"
Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi. Mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang adalah seekor ular cobra!
"Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?"
Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.