Jodoh Rajawali Chapter 26

NIC

Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.

"Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?"

Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!

"Kursi....? Eh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik....

"

"Memang bagus sekali, tentu enak diduduki...."

Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk. Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia menggerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.

"Cusssss.... aduhhhhh....!"

Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung.

"Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!"

Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu! Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda lalu berkata,

"Syukurlah kalau tidak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang."

Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman. Setelah Syanti Dewi menutupkan kembali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.

"Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah kursi?"

Tanya puteri itu, memandang kagum. Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis,

"Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...."

"Hushhh, jangan berkata demikian, aku.... aku benci padanya!"

"Eihhhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi rayuan maut di taman...."

"Sudahlah, Siang In."

Syanti Dewi menghela napas panjang.

"Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?"

"Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...."

Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama pemuda itu.

"Adik yang baik."

Syanti Dewi kini memandang dara itu.

"Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?"

"Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?"

Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis. Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut,

"Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?"

Dia mengangguk-angguk meyakinkan.

"Ceritakan dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri."

Karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.

"Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggal-kan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In"

Puteri mengakhiri ceritanya. Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar, biarpun sangkar itu terbuat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.

"Puteri...."

"In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak)."

"Baiklah Enci Syanti Dewi,"

Jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri.

"Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?"

"Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?"

"Hemmm.... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi.... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak mencintamu, Enci."

Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.

"Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku."

"Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!"

"Eh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?"

"Coba saja renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?"

Syanti Dewi mengangguk.

"Nah, tindakan Ayahmu memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?"

"Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku."

"Itulah kepalsuanya, itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua, orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hati-nya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!"

"In-moi....!"

Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak.

"Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat....?"

Dara itu menggeleng kepala,

"Siapapun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?"

Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya.

"Ah, aku tidak tahu.... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?"

"Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...."

"Aku yakin benar akan cintanya!"

"Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit!"

"Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Eci itu, daripada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?"

"Pergi....? Kau maksudkan minggat dari istana?"

Posting Komentar