Jodoh Rajawali Chapter 24

NIC

Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela,

"Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku."

Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biarpun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab,

"Selamat malam, Panglima Mohinta."

Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya "panglima", dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut "kakanda"

Kepada tunangannya ini! Sebutan "panglima"

Sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!

"Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin."

"Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?"

Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu.

"Saya.... saya.... hanya menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...."

"Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian."

Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.

"Adinda Syanti Dewi...."

"Panglima, aku ingin sendirian!"

"Aduhai, Adinda sayang. Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?"

"Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!"

"Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...."

"Sudahlah. Kalau kau mau bicara tentang itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku."

"Adinda, aku.... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini....?"

"Sudah terlalu sering sampai membosankan!"

"Duhai, Adinda.... jangan begitu"

Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.

"Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!"

"Adinda.... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku....!"

Panglima itu kini menjatuhkan diri berlutut! Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat sembunyinya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.

"Siapa kau....?"

Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring. Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta. Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya.

"Adinda Syanti Dewi"! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik,

"Puteri, lupakah engkau padaku?"

Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.

"Aku Siang In.... eh, yang dulu pernah membantumu.... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu "

Berseri wajah Syanti Dewi.

"Aihhh, Si tukang sulap itu....?"

Teriaknya.

"Sssttttt....!"

Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih merayu arca.

"Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi."

Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melang-kah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghu-bungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-olah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.

"Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?"

Bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta! Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab "perintah"

Dara itu,

"Siap, Panglima!"

Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya,

"Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?"

Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu.

"Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!"

Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.

"Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin daripada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?"

"Tapi.... tapi mengapa bisa begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?"

"Aihhhhh.... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga."

Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main.

"Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik, hik, dia menganggap arca tadi?"

"Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan ganteng juga, eh!"

Syanti Dewi bersungut-sungut.

Posting Komentar