Jodoh Rajawali Chapter 21

NIC

Untung dia cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu bukan hanya tempat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana kaisar itu.

"Penjahat pemberontak!"

Komandan ke dua dari Kuku Garuda yang jenggotnya lebat,

Sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo sehingga kini pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo. Kini keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan sudah menerima perintah lalu maju, disambut oleh pasukan pengawal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat. Kian Lee juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar ole Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing.

Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan siap untuk menolong apabila pangeran itu terancam bahaya. Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-diam mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan. Pada suatu senja yang dingin. Musim dingin telah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu,

Dengan kopyah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga. Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah, hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan api di dalam perapian. Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguhpun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa dibawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu mekar untuk menghangatkan tubuh.

Tiada nampak sesuatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dan langit biru sampai air empang teratai di dalam taman yang tidak bergerak sedikit pun, nampaknya lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu. Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang amat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana.

Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah mengaairahkan itu membayangkan kekerasan hati. Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apalagi setelah puteri yang tadinya dianggap telah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan yang terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu. Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan dibagian depan cerita ini, munculiah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan.

Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi mening-galkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya. Demikianlah, Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram!

Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi. Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biarpun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung. Tentu saja raja dan ratu merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.

"Syanti Dewi, ingatlah bahwa engkau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?"

Berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.

"Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?"

Berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan.

"Tentu dia malu!"

Kata Sri Baginda Raja.

"Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu."

"Tidak, Ayah.... tidak...."

Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras.

"Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!"

"Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!"

Sri Baginda berkata marah.

"Aku tahu, aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu.... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?"

Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mancari kekasihnya, akan tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki istana puteri. Apalagi manusia, seekor kucing pun tidak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.

Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya.

"Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan,"

Demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya.

"Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu."

"Ayah....!"

Syanti Dewi hanya dapat menangis. Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani memaksa, apalagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi.

Dia percaya bahwa kedukaan tidak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti. Betapa dia tidak akan sabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang yang paling tinggi kedudukannya di kerajaan itu? Demikianlah, sampai empat tahun lamanya sejak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri.

Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang! Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orartg-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju bulu dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat perniagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang mulai memudar, terganti warna kelabu yang gelap.

"Sssttttt, lihat dia itu....!"

Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang. Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan yang menjadi tanda kekaguman kalau mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang, kepala mereka menjeguk ke luar dan mata mereka terbelalak memandang menembus kesuraman senja.

"Waduh cantiknya....!"

Kata seorang.

"Bukan main! Manis sekali....!"

"Tubuhnya.... amboiiiii....!"

"Mati aku.... lenggangnya...."

"Wab, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!"

Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.

Posting Komentar