Kata gadis itu mulai basah dengan air mata.
"Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya akan disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut...."
Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum.
"Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan."
"Tidak, kalau di sini saya tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu saya "
"Hemmm, baiklah.... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan."
"Mengasolah, Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?!
"Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi menyanyikan lagu yang sedih itu."
Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun. Tentu. saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya dia bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya.
Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan. Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagaian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.
Selain sinar bulan yang belum terlalu tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah. Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masingmasing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah serem-serem, kelihatannya lihai dan angkuh gerak-geriknya.
Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apabila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu. Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk.
Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai bercakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatarbelakangi suara musik yang meriah. Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang paling tinggi kedudukannya, dia tidak menyambut tamu sendiri, melainkan diwakili oleh pembesar-pembesar bawahannya dan dia hanya duduk sambil meng-angguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan yang memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri.
Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak! Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung. Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu.
Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman, dengan senyum di bibir dan matanya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah dan melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggauta pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi. Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa.
Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak. Di belakang Gubernur Hok ini berjalan para pengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Mo-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok. Akan tetapi Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada pemuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu.
Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar, itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama. Setelah tiba di ruangan itu, di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan len-ki (bendera utusan atau wakil kaisar dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.
"Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,"
Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara. Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya.