"Tempat itu sangat jauh dan berbahaya.
Aku khawatir...
kau...
kau...!" "Khawatir aku menemui bahaya? Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular? Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani." Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng.
"Koko, kau...
Kau seorang mulia.
Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini.
tapi...
Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah...
lalu aku bagaimana koko?" air matanya menitik turun.
"Jangan khawatir, adikku.
Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh segala bahaya.
Aku pasti akan kembali.
Katakanlah dimana tempat ular itu?" "Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang Coat Ho.
Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk bertapa seekor ular yang besar sekali.
Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia berbahaya serta ganas.
Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata ibu.
Tapi, lebih baik kita Tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk yang lebih nyata lagi." Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke kampung.
Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya.
Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yangternyata sudah bangun pula.
Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga bercakap-cakap.
Bu Beng langsung majukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang pulau Ang Coat Ho.
"Ah, kau sudah tahu? Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu, mantuku.
Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu.
Pulau yang kau tanyakan itu terletak di sebelah timur.
Aku sendiri tidak tahu jelas.
Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara.
Terus saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur.
Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut.
Kau harus hati-hati, air sungai itu setelah mendakati laut menjadi sangat besar dan berbahaya.
Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan.
Pulau itu mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja.
Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu.
Di Ang Coat Ho terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas.
Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah selatan bukit.
Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu.
Nah, disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala-galanya terserah kepada pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri." Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Sue, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu.
Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula.
Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk pergi kesana?" Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, "Suheng, kau sendiri yang mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan.
Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup.
Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini? pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun? Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut." Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya.
"Bagus, bagus! Beginilah seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru kita yang bijaksana.
Dan dengan kata-katamu ini terbayanglah betapa besarnya cintamu terhadap calon istrimu.
Sayang aku sudah tua dan lemah, sute.
Kalau tidak tentu aku akan turut dan membantumu." "Terima kasih suheng.
Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini.
Pula ini adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri.
Disamping itu, akupun ingin meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah pengetahuanku." "Bilakah kau akan berangkat, anakku?" Tanya Hun toanio dengan suara halus dan ramah.
"Sekarang juga," jawab Bu Beng dengan suara tetap.
Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng.
Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu.
Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-merahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan.
Hun toanio berkata, "Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan selamat jalan!" Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu.
"Apakah ini, adik Eng?" Tanya Bu Beng dengan terharu.
"Pakaian dan selimut penahan dingin," jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu.
Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan, "Hati-hatilah koko...
" Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-diam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-akan sudah tak asing lagi.
Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh.
Karena daerah yang dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara.
Maka ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan.
Ketika ia melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih.
Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor kurung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa.
Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau runah perkampungan.
Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon besar.
Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang.
Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip.
Segera ia meloncat turun dan menuju ke tempat itu.
Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana.
Pintu pondok itu tertutup rapat.
Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban.
Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil.
Tetap tiada jawaban.
Ia menjadi curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela.
Ia melihat rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tpi diatas meja tampak makanan didalam beberapa buah mangkuk.
Dan timbullah seleranya.
Tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu.
Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu.
Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar itu.
Bu Beng segera berlaku waspada.
Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu.
Alangkah kagetnya ketika melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya.
Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa orang laki-laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu.
Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan seorang pendekar ulung.
Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im.
Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri.
Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika menganalnya.
Segera ia menjuru.
"Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap.
Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak-gerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang.
Ternyata yang masuk rumah ini tadi adalah kau sendiri.
Sukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan diriku." Bu Beng balas menghormat, "Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan Lo-Enghiong disini.
Bagaimanakah erjadinya maka Lo-Enghiong sampai dalam keadaan begini dan ini rumah siapa?" Lui Im menghela napas.
"Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu.
Kali ini hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama perkumpulanku," kemudian ia bercerita.
Lui Im yang terkenal dengan sebutan Golok Setan karena memang permainan goloknya sangat ditakuti kaum persilatan, meminpin sebuah perkumpulan yang berpengaruh yaitu perkumpulan Cung lim pang.