Memang kami datang ini sebenarnya ingin sekali merasakan kelihaianmu!" "Lo-Enghiong.
Kita belum pernah bertemu muka, juga belum pernah bentrok dalam hal apa saja.
Tapi mengapa Lo-Enghiong jauh-jauh datang mencari siauwte yang muda ini?" Tanya Bu Beng.
"Jangan berlagak bodoh! Bukanlah kau telah menghina anakku?" "Sama sekali tidak, Lo-Enghiong.
Sudah lazim jika di dalam pertandingan di panggung luitai kalau tidak menang tentu kalah." Sim Boan Lip salah sangka.
Ia kira anak muda itu takut padanya, maka ia menjadi besar hati.
"Orang muda, jangan kwawatir.
Aku hanya ingin lihat dari siapakah kau memperoleh ilmu silat dengan melihat gerakanmu sejurus dua jurus saja," katanya.
"Kalau begitu selakan Lo-Enghiong menyaksikannya," kata Bu Beng yang lalu memasang bhesi dengan berdiri di tumitnya lalu menggeser tubuhnya maju, tapi anhnya kedua lengannya tertempel di pinggang rapat-rapat, sama sekali tidak memukul seperti lakunya orang bersilat.
Kemudian ia menggeser ke kiri dan kedua lengannya dibuka seakan-akan terbang.
Beberapa kali ia bergerak lalu kembali berdiri lempeng ditempat semula sambil tersenyum.
"Nah, Lo-Enghiong.
Siauwte telah bergerak empat jurus.
Tentu sekarang Lo-Enghiong telah tahu ilmu silat apakah yang pernah siauwte pelajari," katanya.
Wajah Sim Boan Lip menjadi merah.
Ia merasa dipermainkan orang, karena seumur hidupnya belum pernah ia lihat gerakan tipu selat seperti itu.
Bahkan empat orang kawannya sama sekali tidak tahu ilmu silat apakah yang tadi diperlihatkan oleh anak muda itu.
Dengan marah ditahan Sim Boan Lip berkata, "Bagus! Tapi dapatkah ilmu silat macam ini dapat bertempur?" "Tentu dapat, Lo-Enghiong." "Nah, coba tangkis seranganku dengan ilmu silatmu itu," kata orang tua itu sambil maju menyerang dengan ilmu gerakan Ular Gunung Menyambar, semacam ilmu dari San coa ciang yang lihai.
Tangan kanannya mengarah ulu hati lawan tapi sampai di tengah jalan tangan kanan itu ditarik kembali lalu disusul oleh tangan kiri memukul iga! Bu Beng berseru "Aya" sambil dengan gerakan lincah tapi lucu berkelit menghindari pukulan itu.
"Hebat sekali pukulanmu, Sim Lo-Enghiong!" katanya masih tersenyum.
Sim Pangcu menjadi marah sekali.
Kembali ia menyerang dengan sengit sampai empat jurus, tapi semuanya dapat dikelit oleh Bu Beng.
"Balaslah menyerang!" teriaknya gemas.
"Sabarlah, Lo-Enghiong.
Siauwte terdesak oleh seranganmu.
Baiklah sekarang siauwte menyerang!" kata-kata ini ditutup oleh serangan tangan kiri kearah leher, bukan memukul tapi membabat dengan tangan miring.
Belum juga ditangkis lawan, tangan itu mengubah gerakan, kini menyodok kearah perut, dan sebelum ditangkis lalu berubah pula terkepal memukul dada! Aneh dan cepat gerakan ini, tapi biarpun kalah dulu, Sim Pangcu ingin mencoba tenaga orang, maka ia kerahkan tenaga di lengan kanan dan menangkis pukulan itu "Plak" dan Sim Pangcu merasa tangan kanannya tergetar keras.
Sedangkan lengan pemuda itu tidak apa-apa dan terus menghantam dadanya perlahan.
Untung pemuda itu hanya menepuk saja, tapi cukup membuat ia merasa dadanya pedas sekali.
Sim Pangcu terkejut dan meloncat mundur dua tindak.
"Ilmu silatmu baik sekali, anak muda.
Marilah kita coba-coba main senjata," tantangnya sambil menghunus pedang.
Sebetulnya Bu Beng merasa kuat untuk menghadapi lawan ini dengan bertangan kosong, tapi ia tidak mau menghina lawannya yang tua dan ternama itu, maka iapun ulurkan tangan di belakang leher, dan tahu-tahu sebilah pedang tipis sekali berada dalam tangannya! Pedang itu pendek dan tipis hingga ketika disembunyikan di punggung tidak kelihatan dari luar.
"Silakan Lo-Enghiong," katanya dengan masih tersenyum.
Melihat pedang lawan yang pendek itu, hati Sim Pangcu menjadi besar.
Masakan ilmu pedangnya yang terkenal itu akan kalah oleh seorang pemuda berpedang pendek.
Ia segera menyerang dengan hebat sekali, mengeluarkan tipu-tipu paling berbahaya dari ilmu pedang San coa kiam.
Pedangnya berputar cepat menutupi seluruh tubuhnya sampai menimbulkan angin dingin bersiutan dan mata pedang merupakan bundaran putih berkeredepan.
Tapi Bu Beng berdiri saja tidak bergerak, seakan-akan menonton pertunjukan pedang yang hebat itu.
Hanya kalau sewaktu-waktu sinar pedang lawan menyambar ke arahnya, ia gerakkan pedangnya sekali untuk menangkis.! Tapi, biarpun Bu Beng hanya menangkis dengan gerakan sembarangan saja, Sim Pangcu kaget sekali, karena tiap kali pedangnya terbentur pedang pendek lawan, pedang itu terpental dan mengeluarkan bunyi nyaring serta titik-titik bunga api! Melihat gerakan Bu Beng yang seakan-akan hanya main-main saja dan sedikitpun tidak pandang mata terhadap ilmu pedangnya, Sim Boan Lip marah sekali.
Gerakan-gerakannya dirobah menjadi rangsekan hebat, tiap gerakan merupakan serangan-serangan maut.
Kala tadi ia berlaku hati-hati dan tiap kali menyerang selalu disertai gerakan menjaga diri karena tahu akan kelihaian lawan, kini aia nekad dan pusatkan gerakannya kepada serangan belaka.
Bu Beng juga tak dapat tinggal diam menghadapi serangan-serangan hebat dan berbahaya itu.
Ia mulai menggerakkan kaki dan tubuhnya berkelebat kesana kemari untuk menangkis dan menghindarkan pedang lawan.
Pada suatu saat, setelah menyerang lebih dari tiga puluh jurus, Sim Pangcu gerakan tipu Ular Luka Mengamuk.
Ia menusukkan pedangnya kea rah tenggorokan Bu Beng dan ketika Bu Beng berkelit, ujung pedangnya mengikuti gerakan pemuda itu dan terus mengejar dengan sabetan-sabetan panjang dari kiri ke kanan bolak balik dan dari atas menggeser makin ke bawah.
Pendeknya, serangan nekad yang dilakukan beruntun dengan sabetan-sabetan mebabi buta! Bagi orang lain jika menghadapi serangan ini tentu akan menjadi repot dan gugup, karena pedang itu seakan-akan menjadi berpuluh-puluh yang menyerang dengan keluarkan suara bersiutan.
Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi dapat berlaku tenang.
Untuk menghadapi serangan ini, jalan satu-satunya baginya ialah gunakan kecepatan yang melebihi kecepatan lawan.
Maka tiba-tiba pedang pendeknya berputar cepat sekali hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang.
Sim Pangcukehilangan tubuh lawannya karena yang diserangnya seakan-akan sembunyi di balik ratusan pedang hingga tiap tusukan pedangnya seakan-akan ada tiga pedang pendek lawan yang menangkisnya.
Ia menjadi pening dan tiba-tiba saja lengannya yang memegang pedang kena tertendang oleh Bu Beng dan pedangnya terlempar keatas, kemudian ketika turun disampok oleh pedang pendek Bu Beng.
Senjata itu kena tersampok gagangnya lalu berputar dan mencelat ke atas lagi.
Demikian keras sampokan itu hingga pedang Sim Pangcu melayang cepat dan menancap di kayu usuk yang melinang dibawah genteng.
Sim Pangcu menjadi kaget sekali.
Sedikitpun ia tak mengerti betapa cara Bu Beng menggunakan kakinya untuk menendang.
Pedangnya tadi berputar cepat sekali, namun kaki pemuda itu dapat mendahului putaran pedang untuk menendang pergelangan lengannya.
Ia loncat mundur dengan wajah pucat.
Bu Beng tahan gerakannya dan berdiri mengangkat kedua tangan dengan sikap merendah.
"Lo-Enghiong telah mengalah terhadapku," katanya.
Sebelum Sim Pangcu dapat membuka mulut, tiba tiba Song Leng Ho si Huncwe Maut telah loncat dengan gerakan ringan sekali kehadapan Bu Beng.
Ia isap Huncwenya dan mengepulkan asap yang hitam kebiru-biruan kearah muka Bu Beng.
Pemuda itu mencium bau yang harum dan amis, maka segera ia tutup jalan pernapasannya karena ia maklum bahwa asap itu bukan lah asap sembarangan, tapi asap yang emngandung racun melemahkan.! "Ha ha, ha!" si Huncwe Maut bergelak tertawa, "Bu Beng Kiam Hiap yang gagah perkasa ternyata takut asap Huncweku." Bu Beng tersenyum manis, tapi sinar matanya tajam menatap orang jumawa itu.
"Pernah kudengar tentang Huncwe maut itu.
Sungguh beruntung hari ini aku yang muda dapat berjumpa dan merasai kelihaiannya Huncwe itu." Kata-kata ini biarpun halus tapi mengandung tantangan.
Song Leng Ho tiba-tiba menghentikan tawanya dan bekata kasar.
"Anak muda, pantas saja kau berani kurang ajar.
Ternyata kau mempunyai kepandaian berarti juga.
Tapi, jangan kau kira bahwa kau sudah berdiri di puncak tertinggi hingga tiada orang yang lebih tinggi darimu.
Sekarang, berhadapan dengan aku si orang tua pemadatan kau harus berani berlaku sembarangan.
Hayo katakana siapa gurumu agar aku dapat memandang muka gurumu dan tidak menurunkan tangan jahat kepadamu." "Song Lo-Enghiong.
Bukanlah aku yang muda berlaku kurang ajar kepada kau orang tua.
Tapi sebaliknya, kaulah orang tua yang tidak mengalah terhadap yang muda.
Telah berkali-kali kukatakan bahwa aku adalah seorang muda biasa, bahkan nama saja aku tak punya.
Kini kau tanyakan guruku, siapakah guruku itu? Kalau toh ada guruku, nama beliau itu takkan kuobral dan kugunakan untuk mencari nama." "Hm, hm!" Song Leng Ho mengeluarkan suara dari hidung sambil keluarkan asap Huncwe dari hidungnya merupakan dua gulungan bagaikan ular melingkar-lingkar ke atas.
"Aku selamanya pandang muka orang-orang kang ouw.
Tapi karena disini terdapat banyak hohan menjadi saksi, biarlah aku yang tua memberi ajar adat padamu.
Hendaknya para Lo-Enghiong menjadi saksi agar kelak guru anak muda ini tidak menyalahkan padaku, karena dia sendirilah yang tidak mau memberitahukan nama gurunya.
Nah, Bu Beng siauwcut bersiaplah, lohan ingin sekali coba kepandaianmu." "Silakan, aku ingin sekali merasai panasnya Huncwemu." Jawab Bu Beng dengan berani.
Song Leng Ho si Huncwe Maut ini sebenarnya adalah seorang ahli cabang Bu Tong San.