Tak berayah tak beribu, dan tidak tahu siapa ayah ibunya dan bagaimana riwayat keluarganya itu.
Jangankan orang tua, bahkan namanya iapun tidak punya! Jika teringat akan semua itu, ditambah kenangan kepada gurunya yang ercinta yang kini telah wafat itu, tak terasa pula air matanya mengalir turun.
Begitu hebat ia terbenam dalam gelombang kesedihan sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang melihatnya dari belakang gerombolan pohon kecil.
Orang yang mengintainya itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang akhirnya keluar juga dari tempat sembunyinya.
Suara daun kering terinjak cukup mmbuat Bu Beng tersadar kembali dari lamunannya.
Secepat kilat ia meloncat bangun dan memutar tubuhnya.
Orang itu menjuru dalam di hadapannya.
"Maafkan aku, Bu Beng Taihiap!" katanya cepat-cepat karena takut kalau-kalau pendekar muda itu turun tangan.
"Aku hanya seorang pesuruh.
Lim San Lo-Enghiong menyuruh aku menjumpai Taihiap dan menyampaikan undangannya untuk merundingkan sesuatu yang penting." Bu Beng memandang dengan curiga.
"Bagaimana kau bisa dapatkan tempat ini?" Orang itu kembali menjuru.
"Biarlah aku bicara terus terang, Taihiap.
Di kota Sauwciu aku dikenal dengan sebutan Kim Kie si Kaki Tangan Seribu.
Keadaan di seluruh kota aku tahu dan paham karena semua orang boleh dikata menjadi sahabatku.
Maka Lim San Lo-Enghiong minta bantuanku untuk mencarimu, Taihiap.
Semenjak kau meninggalkan panggung, aku dan kawan-kawanku telah tersebar dan mengikuti jejakmu.
Baiknya kau tidak lari cepat.
Hanya setelah sampai di kaki bukit ini kau lenyap dari pandangan, karena begitu berkelebat aku tidak tampak lagi.
Dugaanku tak lain kau pasti berada di atas bukit ini.
maka aku pergi mencarimu dan betul kau berada disini, Taihiap." Diam-diam Bu Beng kagum juga akan kecerdikan orang itu.
"Ada keperluan apakah Lim San Lo-Enghiong mengundangdaku?" tanyanya.
Kim Kie mengangkat pundak lalu mengerak-gerakkan alisnya.
"sebetulnya Lim Lo-Enghiong tidak menerangkan sesuatu padaku, tapi sukar bagi orang untuk menutup rahasia terhadap aku.
Kalau tidak salah pendenganran dan penglihatan kawan-kawanku, Lim Lo-Enghiong kini sedang menghadapi urusan besar.
Sim Tek Hin si Ular Gunung Muda yang kau kalahkan itu, setelah pulang lalu mengirim berita kepada Lim Lo-Enghiong, menantangadu silat dengan mantunya atau lebih tepat dengan Thio Bun kongcu bakal mantunya itu, karena ia masih penasaran, katanya.
Nah, hal ini tentu saja sangat menyusahkan hati orang tua itu karena perkumpulan Ular Gunung itu telah terkenal keganasannya.
Maka ia Teringat kepadamu Taihiap, dan mengharapkan petunjuk dan bantuanmu."
"Hm, sungguh orang she Sim itu tak tahu diri.
Baik, baik.
Pulanglah dulu.
tapi tunggu, bilakah orang she Sim itu akan datang membikin rebut?" "Si Ular Gunung memberi tempo tiga hari, jika dalam waktu itu Thio Bun kongcu tidak datang ke San coa pang, maka ia dan pengikut-pengikutnya akan datang meluruk ke Sauwciu.
Jadi dua hari lagi waktunya." "Hm, kalau begitu, beritahu Lim San Lo-Enghiong agar Thio Bun kongcu jangan pergi ke sarang musuh.
Biarkan musuh datang, aku pasti akan membantu sedapatku." Kim Kie menjuru berulang-ulang.
"Terima kasih Bu Beng Taihiap." Kemudian ia pergi meninggalkan pemuda itu berdiri melamun seorang diri.
Sepeninggal Kim Kie, Bu Beng kembali duduk melamun.
Telah setahun lebih ia pergi merantau.
Selama ini, banyak sudah ia membasmi orang-orang jahat.
Hidupnya selalu dihadapi kenyataan-kenyataan bahwa di dunia ini lebih banyak orang jahat darpada orang baik.
Yang baik-baik kebanyakan orang miskin dan lemah.
Yang kuat dan kaya sebagian besar jahat-jahat.
Heran ia memikirkan hal ini.
teringatlah ia akan kata-kata mendiang gurunya.
"Hati-hatilah kau, muridku.
Musuh yang bagaimana lihai dan jahatpun masih tak berarti jika dibandingkan dengan musuh tersembunyi yang berada dalam hatimu sendiri.
Dan musuh itu paling berbahaya jika orang berada dalam puncak kekuasaan atau kekayaannya.
Kekuasaan dan kekayaan membuat musuh dalam dirimu itu bangun dan menjatuhkan.
Biasanya kalau orang dalam keadaan sengsara dan tertindas, ia akan ingat kepada Tuhan dan berlaku baik sebagaimana layaknya seorang manusia karena musuh dalam dirinya itu tak berdaya dan tinggal sembunyi.
Tapi kalau orang itu sudah mempunyai kekuasaan dan menjadi kaya, maka bangunlah musuh tak terlihat itu dan membuat ia lupa asegala, lalu menjadi jahat." Mengingat nasehat dan pesan gurunya itu, agak terbukalah pikiran Bu Beng dan terhiburlah kesediahannya.
Ia merasa lebih beruntung daripada orang-orang yang telah disesatkan oleh musuh jahat yang bersembunyi di dalam hati itu.
Kemudian ia memasuki gubuknya dan pergi tidur.
Dua hari kemudian, di rumah Lim San orang sibuk membuat persiapan-persiapan menghadapi datangnya Sim Tek Hind an kawan-kawannya.
Biarpun Kim Kie sudah membawa warta menggembirakan bahwa Bu Beng Kiam Hiap akan datang membantu, namun hati Lim San masih berdebar-debar cemas.
Tapi sikap bakal mantunya, Thio Bun yang tampak tenang-tenang saja itu membuat ia girang.
Sungguh benar kata-kata Bu Beng Kiam Hiap bahwa pemuda itu cukup berharga untuk menjadi mantu suami puteri tunggalnya.
Kira-kira jam delapan pagi Sim Tek Hin datang sambil pantang dada.
Ia diikuti oleh lima orang, ayahnya sendiri dan empat orang jagoan kawan ayahnya.
Lim San menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan diam-diam hatinya tercekat melihat empat orang tua yang ikut datang itu.
Tiga diantara mereka ia kenal karena mereka itu bukan lain ialah Hut Bong Hwesio, ketua kelenteng Lin hoan si, kedua adalah Pok Thian Beng jagoan dari timur yang dijuluki orang si Tangan Besi, dan yang ketiga adalah Lui Im ketua dari Cung lim pang.
Orang keempat yang belum dikenalnya adalah seorang kurus seperti cecak kering dan pakaiannya mewah sekali.
Tangan kirinya memegang sebatang Huncwe dan sebentar-sebentar ia sedot pipa tembakaunya itu sambil kebul-kebulkan asap dengan sikap angkuh sekali.
Setelah diperkenalkan, ternyata orang keempat itu adalah Song Leng Ho yang dijuluki orang di Huncwe maut.
Setelah mempersilakan para tamunya duduk, Lim San menjuru dengan hormat dan berkata.
"Sungguh satu kehormatan yang besar sekali bahwa hari ini siauwte menerima kunjungan para LoCianpwe yang mulia.
Tidak tahu akan memberi petunjuk apakah?" Tiba-tiba Sim Tek Hin berdiri.
"Janganlah lopek berpura-pura lagi.
Kurasa lopek sudah tahu akan maksud kedatanganku." Sim Boan Lip Pangcu berdiri dan balas menjuru sambil tersenyum, "Lim twako diantara kita tak perlu menggunakan banyak peradatan lagi.
Kami berlima orang-orang tua tak berguna ini tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengantar puteraku ini dan sekalian mengajukan lamaran kepada puterimu.
Dengan memandang mukaku dan mngingat persahabatan kita, maka kukira sudah sepatutnya kalau kita menjadi besan, bukan?" Lim San tersenyum pahit.
"Saudar Sim, aturan ini tak mungkin dilaksanakan.
Bukannya aku yang endah tidak menghargai penghormatan yang kauberikan ini, bahkan aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian Sim hiante kepada anakku yang bodoh.
Tapi pa hendak dikata, anakku sekarang telah bertunangan dengan orang lain." "Tidak menurut aturan!" cela Sim Tek Hin.
"Bukankah lopek telah menerapkan sendiri bahwa calon mantu harus pemenang sayembara? Nah biarkan aku melawan dan mencoba kepandaian Thio Bun itu, lihat siapa yang lebih unggul." "Hal ini menyesal sekali tak mungkin diadakan," bantah Lim San.
"Lim twako, kau sejak dulu ingin mempunyai mantu seorang yang lumayan ilmu silatnya.
Masakan kini ingin mengambil mantu seorang yang terhadap anakku saja tidak berani melawan?" "Biarlah siauwte melawannya!" tiba-tiba Thio Bun yang sejak tadi diam saja di sudut membuka suara dan berdiri.
"Tidak!" bantah Lim San yang tahu bahwa orang she Thio calon mantunya itu bukan tandingan Sim Tek Hin.
"Kuakui bahwa calon mantuku itu biarpun semangatnya besar, namun kepandaiannya belum cukup untuk melawan Sim hiante.
Biarlah kucarikan wakilnya." "Siapa wakilnya? si Bu Beng siauwcut?" tiba-tiba si Huncwe Maut Song Leng Ho berdiri dan mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya.
Lim San menengok kesana kemari, tapi ternyata penolong yang ditunggu-tunggu itu belum tampak mata hidungnya.
Terpaksa ia berkata, "Aku sendirilah wakilnya, untuk menolong anak dan calon mantu." "Ho ho! Bagus kalau begitu.
Akupun akan meniru contohmu, orang she Lim biarlah aku mewakili anakku." Kata Sim Boan Lip sambil berdiri menantang.
Lim San merasa tidak ada jalan keluar lagi, maka ia segera berkata.
"Terserah padamu, marilah kita pergi ke ruang silat." Beramai-ramai mereka menuju ke ruang main silat yang berada di samping rumah.
Tiba-tiba tampak Lim Giok Lan muncul dengan pakaian ringkas membawa pedang.
"Ayah, biarkan anakmu bertempur mati-matian melawan pengacau-pengacau ini!" katanya penuh semangat.
Ayahnya kagum melihat keberanian puterinya, tapi ia memberi tanda supaya anaknya mendur.
Juga Lim Seng yang kelihatan membawa-bawa pedang ia perintahkan berdiri di pinggiran saja.
Lim San meloncat ke tengah-tegah ruangan itu dan berkata, "Silakan memberi petunjuk kepadaku.
Sim Enghiong." Sim Boan Lip segera melepas baju luarnya dan meloncat menghadapi lawannya.
"Mari, marilah, kita coba-coba tua sama tua." Dan ia membuka bhesinya dari ilmu silat San coa ciang yang lihai.
Pada saat itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang dan Bu Beng Kiam Hiap tahu-tahu berdiri di antara kedua jago tua itu sambil tersenyum tenang.
"Lim San Lo-Enghiong, siauwte masih belum tinggalkan kota ini dan sampai sekarangpun siauwte masih menjadi wakilmu dalam permainan yang menggembirakan ini.
biarlah siauwte menambah pengertian dari para Lo-Enghiong ini.
Diam-diam hati Lim San yang tadinya tegangdan cemas menjadi gembira kembali karena ia percaya akan kepandaian anak muda itu yang sesungguhnya masih jauh diatas kepandaiannya sendiri.
Maka sambil menjuru berterima kasih ia mundur ke pinggiran.
"Inilah bangsat itu, ayah!" teriak Sim Tek Hin dari pinggir.
"Oo, kau kah biang keladinya?" Bu Beng menyindir sambil memandang pemuda she Sim itu dengan tajam.
"Dan kau kah Bu Beng Kiam Hiap? Bagus, bagus! Aku sudah mendengar kehebatanmu dari puteraku.