Istana Pulau Es Chapter 76

NIC

Im-yang, Seng-cu tertawa lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang campuraduk, ia berhasil mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Imyang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat. Memang mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga, baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai.

Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu silat dan mengawin-ngawinkan semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu. Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring :

Betapa dunia takkan kacau-balau

oleh tingkah mahluk bernama manusia

pendeta tidak segan berbuat dosa

pejabat tidak segan berbuat khianat

Pendekar berubah menjadi penjahat

Si bengcu cerdik menggoyang kaki

membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang

tinggal dia menanti hasil terakhir!

Oh dunia....! Oh manusia....!

Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan

Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus. letak! Tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.

"Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!"

Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi! Im-yang Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya. Im-yang Seng-cu, manusia sombong! Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang.

"Syuuutt...., tranggg!"

Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggalkan Gin Sim Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas.

Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala, tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu. Adapun Im-yang Seng-cu, biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan, akan tetapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya. Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak? Im-yang Seng-cu masih mengejek.

"Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan, bertelanjang kaki!"

Im-yang Seng-cu tertawa dan diam-diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya. Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol.

Ketika tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan pada saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tuuh si gendut tu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.

"Ngekkk....broooottt!"

Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!

"Idiiih....! Bau....! Bau....!"

Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw. Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut!

Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam penyakit yang mungkin timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan sekarang, karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki,

"Im-yang Seng-cu calon bangkai! Makanlah golokku!"

Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid kepalanya. Gin Sim Hwesio mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru,

"Celaka....!"

Dan ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu berkelebat ke bawah melukai pahanya.

Ia terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar ke belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian (Dewa), bukannya Kwi (Setan)! Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya, diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.

"Siapa engkau....?"

Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan,

"Mau kenal sahabatku ini? Dialah Jai-hwa-sian!"

Si Gendut terkejut sekali. Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai? Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.

"Cringggg!"

Golok dan pedang bertemu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher Suma Hoat dari belakang.

"Pergilah....!"

Suma Hoat membentak, menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga pedang perwira gemuk menyambar atas kepalanya. Detik itu juga, pedang Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas dan ia terjengkang roboh, darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya. Akan tetapi, puluhan orang sudah menyerbu datang.

Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu. Terjadilah pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.

"Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!"

Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar ketinggalannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.

Posting Komentar