Iblis dan Bidadari Chapter 10

NIC

Demikianlah hampir dua tahun lamanya Pat-jiu Kiam-ong melatih ilmu silat dan ilmu pedang kepada puterinya sendiri tanpa diketahui oleh seorangpun kecuali guru silat she Liong yang takut membocorkan rahasianya. Bahkan Lian Hong sendiri sama sekali tak pernah m impi bahwa orang yang menjadi suhunya ini adalah ayahnya sendiri.

Pada senja hari itu, tidak seperti biasanya, Liong-kauwsu tidak datang di kebun bunga itu. “Mana Liong-kauwsu?” tanya Ong Han Cu kepada Lian Hong ketika ia melompat masuk ke dalam kebun itu.

“Entahlah, suhu. Liong-suhu sejak tadi tidak ada, mungkin ada halangan.”

Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu mengerutkan alis dan merasa tidak enak hati.

“Lian Hong, aku suka sekali memberi pelajaran silat kepadamu karena kau adalah seorang anak yang cerdik dan pandai. Aku merasa seakan-akan kau anakku sendiri dan karenannya, aku hendak menurunkan seluruh kepandaianku kepadamu. Akan tetapi, hal ini baru bisa terlaksana kalau kau ikut dengan aku pergi ke Liong-cu-san dan berlatih bersama- sama dengan sucimu yakni Siang Lan.”

Memang sudah seringkali Ong Han Cu menceritakan Lian Hong tentang muridnya itu, dan se lama dua tahun ini, ia selalu mondar-mandir dari Liong-cu-san ke kota raja. Sebentar melatih Siang Lan, sebentar melatih Lian Hong.”

“Apakah teecu (murid) harus tinggalkan ibu, suhu?” Ong Han Cu menghela napas. “Kalau terpaksa, apa boleh buat. Belajar silat dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini, kemajuannya akan lambat sekali. Disini aku membawa kitab pelajaran ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat untuk kau pelajari sendiri dengan baik, karena aku tidak mungkin harus datang setiap sore di tempat ini. Setelah lewat satu dua bulan, barulah aku akan datang dan melihat kemajuanmu.”

“Lebih baik demikianlah diaturnya, suhu. Karena sesungguhnya, untuk meninggalkan ibu seorang diri di sini, teecu merasa tidak tega.”

“Seorang diri ?? Bukankah .... bukankah ... ada ayahmu?”

Lian Hong menarik napas panjang. Ia tidak suka membicarakan hal ayahnya karena entah mengapa ia tidak suka kepada ayahnya yang mempunyai banyak bini muda dan yang sama sekali tidak memperdulikan ibunya itu. Akan tetapi, tentu saja hal ini tak dapat ia katakan kepada orang lain.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita yang muncul dari pintu belakang.

“Lian Hong! Kau bercakap-cakap dengan siapakah?” Dan dari balik pintu muncullah Ciok Bwe Kim, Ibu Lian Hong.

Ong Han Cu hendak melarikan diri, namun sudah terlambat dan tidak dapat berbuat lain berdiri memandang bekas isterinya itu dengan hati berdebar. Bwe Kim ketika mengenal bekas suaminya ini, tiba-tiba menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak.

“Kau ....kau...?” katanya gagap. “Setelah meninggalkan kami ... kau ... kau kini datang untuk melumuri muka kami dengan kecemaran ... ? Pergi! Pergilah kau orang yang hanya ingat akan kesenangan diri sendiri saja. Pergi!”

“Bwe Kim ... aku ... aku hanya datang untuk melatih ilm u silat kepada ... Lian Hong ...” Ong Han Cu mencoba untuk membela diri. “Aku tahu! Bagus benar, kau melatih ilmu silat dengan diam-diam seperti seorang maling. Apakah kau sedikit juga tidak mempunyai pikiran betapa akan ributnya kalau sampai kehadiranmu di sini diketahui orang lain? Apakah namaku tidak akan rusak dan tercemar apabila orang lain mengetahui siapa adanya kau dan bahwa kau hampir setiap hari datang ke tempat ini? Ah, Han Cu .... kau sungguh tidak memperdulikan keadaan orang lain ...” Nyonya muda ini lalu menangis.

Lian Hong yang semenjak tadi berdiri melengong, terheran- heran karena tidak mengerti apakah artinya percakapan antara ibunya dan suhunya ini, lalu memeluk ibunya dan bertanya.

“Ibu, apakah artinya semua ini?” Ibunya tidak menjawab dan ketika Lian Hong memandang ke arah suhunya dengan mata bertanya, Ong Han Cu berkata.

“Lian Hong, bawalah ibumu masuk ke dalam. Aku hendak pergi dari sini. Ibumu memang benar, aku seorang yang hanya mengingat akan diri sendiri saja. Jagalah baik-baik kitab itu, kemudian belajarlah dengan giat. Selamat tinggal!” Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, Ong Han Cu melompat keluar dari pagar tembok itu.

“Ibu, kau sudah kenal kepada suhu?” tanya Lian Hong yang masih memeluk ibunya.

Makin keraslah tangis ibunya ketika mendengar pertanyaan ini, dan sambil merangkul leher anaknya ia berkata. “Anakku

... dia ...dia adalah ayahmu sendiri!”

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di waktu itu, belum tentu Lian Hong sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak ibunya, menatap wajah ibunya yang basah dengan air mata itu dan berkata gagap.

“Apa ....? Apakah artinya ucapan ini, ibu?” Di antara isak tangisnya, Bwe Kim berkata, “Dia adalah ayahmu .... yang telah meninggalkan kita ketika kau baru berusia enam bulan!” Kemudian ia menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada waktu dulu, semenjak Ong Han Cu menolong keluarga Ciok-taijin sampai ia dikawinkan dengan pendekar itu dan bagaimana pendekar yang menjadi suaminya itu akhirnya meninggalkan mereka.

Pucatlah wajah Lian Hong mendengar cerita ini dan berulang kali ia menghela napas, menyesali nasib ibunya.

“Ah, ibu ... kau ... kau dulu telah berlaku keliru ...”

Ibunya mengangguk sedih. “Aku melakukan pengorbanan perasaan demi kebahagiaanmu, anakku. Aku tidak ingin melihat kau terbawa dalam pengembaraan yang penuh kesengsaraan ”

“Salah ibu,” gadis yang baru berusia dua belas tahun itu berkata sambil mengerutkan kening, “kalau dulu ibu ikut dengan ayah, keadaan ibu takkan menjadi begini. Pantas saja aku selalu tidak suka kepada ayah yang sekarang, tidak tahunya ia bukan ayahku sendiri.”

“Sudahlah, Lian Hong nasi telah menjadi bubur, hal ini tak dapat disesalkan lagi. Jangan kau menceritakan hal kita ini kepada siapapun juga. Kau harus menjaga nama baik kong- kongmu. Kau tahu bagaimana baiknya ayah ibuku terhadap kau.”

“Akan tetapi mereka berlaku kejam karena memaksa ibu menikah lagi!” kata Lian Hong cemberut.

“Hush, jangan berkata demikian, nak. Kau masih terlampau kecil untuk mengetahui urusan orang dewasa. Kau tidak mengerti nasib seorang janda muda.”

Semenjak terbukanya rahasia itu sikap Lian Hong terhadap ayah tirinya makin dingin. Diam-diam ia merasa girang sekali dengan kenyataan, bahwa dia bukanlah puteri hartawan bandot tua yang mata keranjang dan tiada guna itu, melainkan puteri dari Pat-jiu K iam-ong Ong Han Cu, pendekar besar yang juga menjadi suhunya yang dikagumi itu. Sebagai puteri seorang pendekar besar, iapun bercita-cita untuk menjadi seorang pendekar, maka makin giatlah ia melatih diri, mempelajari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat dari kitab pelajaran yang ditinggalkan oleh guru atau ayahnya itu.

Sementara itu, Ciok-taijin suami isteri juga amat sayang terhadap Lian Hong. Pembesar ini hanya mempunyai seorang anak saja, yakni Ciok Bwe Kim dan kini ternyata bahwa Bwe Kim juga hanya mempunyai seorang puteri. Maka tentu saja bangsawan ini amat sayang kepada cucu tunggal mereka. Karena mereka tinggal se kota, yakni di kota raja, maka seringkali bangsawan Ciok menitah pelayan-pelayan untuk menjemput Lian Hong dan gadis cilik itu dengan gembira bermain-main di rumah kakeknya.

Setelah Lian Hong berusia empat belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis remaja puteri yang cantik jelita dan makin mengilerlah bandot tua yang menjadi ayah tirinya itu. Setiap hari mata yang sipit dan keriputan itu menatap wajah dan tubuh gadis ini dengan penuh gairah.

Pada suatu hari, ketika Lian Hong sedang berlatih ilm u silat di kebun belakang, tiba-tiba ayah tirinya datang sambil tersenyum-senyum. Seperti biasa, apabila ia sedang berlatih silat, Lian Hong mengenakan pakaian yang ringkas sehingga tubuhnya yang mulai berkembang itu tercetak oleh pakaiannya yang ringkas. Pemandangan ini cukup merangsang hati bandot tua itu, maka sambil tersenyum ia menghampiri Lian Hong dan hendak menaruh kedua tangannya pada pinggang itu sambil berkata.

“Lian Hong, anakku. Kau cantik sekali dalam pakaian seperti ini. Bagaimana dengan latihanmu, anakku yang manis?” Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Lian Hong telah dapat mengelak dari pelukan “ayahnya” dan menjauhkan diri sambil memandang dengan mulut merengut.

“Jangan ayah pegang-pegang aku! Aku bukan gundik ayah!” katanya.

“Eh, eh ... ibumu sendiri tidak cemburu melihat aku mempunyai banyak bini muda, akan tetapi kau agaknya cemburu ha, ha, ha!”

“Siapa yang cemburu? Biarpun ayah akan memelihara seribu orang gundik, aku tidak perduli! Akan tetapi jangan ayah hendak menyamakan aku dengan gundik-gundik itu!” Lian Hong membentak.

(Oo-dwkz-oO)

“Eh, Lian Hong, kau kenapakah? Aku ayahmu, tidak bolehkah seorang ayah mendekati anaknya?”

“Siapa bilang tidak boleh, akan tetapi ayah jangan menyentuhku, jangan memelukku, aku bukan gundikmu!” kata Lian Hong makin marah. Ia masih menahan keinginannya dan tidak hendak membuka rahasia bahwa ia sudah tahu akan kedudukan orang tua ini terhadap dia.

(Oo-dwkz-oO)

Posting Komentar