Sementara itu, Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok rapat-rapat oleh para tamu yang membela tuan rumah. Tadi ketika Ngo- lian Hengte maju mengurungnya, ia telah menjadi amat marah. Pedangnya bergerak ganas sekali dan baru beberapa jurus saja, Kui Ti dan Kui Sin terpaksa telah mengundurkan diri karena terluka oleh ujung pedang pada lengan dan paha. Tiga orang kakak mereka yang masih mengurung juga agaknya tidak akan dapat menang, melihat betapa sinar pedang Hwe-thian Mo-li bergulung-gulung makin membesar dan mengganas.
Melihat keganasan Hwe-thian Mo-li, belasan orang yang sudah menerima permintaan Liok Kong untuk membantu, segera mengepung maju dan sebentar saja kepungan orang terhadap Hwe-thian Mo-li makin rapat saja. Namun nona ini benar-benar luar biasa sekali.
Biarpun senjata para pengeroyoknya datang bagaikan air hujan menimpa ke arah tubuhnya, ia dapat mainkan pedangnya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, bahkan ia masih dapat merobohkan beberapa orang lagi. Akan tetapi, lambat laun ia mulai merasa lelah juga dan hatinya amat mendongkol. Ia sengaja datang hendak membalas dendamnya kepada Liok Kong, kini orang yang dicari dapat melarikan diri sedangkan ia terpaksa harus menghadapi beberapa orang kang-ouw yang mengeroyoknya.
Selagi ia mencari jalan untuk meninggalkan semua lawannya dan mengejar Liok Kong, tiba-tiba terdengar seruan halus, “Hwe-thian Mo-li, inilah hadiah untukmu!” dan sebuah benda besar bulat menyambar ke arah nona yang sedang mengamuk ini. Tidak hanya Hwe-thian Mo-li yang merasa kaget dan heran, akan tetapi juga para pengeroyoknya memandang benda yang menyambar itu dan ketika melihat benda itu jatuh di atas lantai, mereka berseru terkejut dengan muka pucat karena benda itu adalah kepala dari Liok Kong.
Sebaliknya, ketika Hwe-thian Mo-li memandang dan melihat kepala musuh besarnya ini, ia menjadi heran sekali. Pedangnya berkelebat ke arah kepala itu dan “Crack!” kepala itu terbelah menjadi dua.
Keadaan menjadi kacau balau. Melihat tuan rumah telah tewas dalam keadaan amat mengerikan ini, semua tamu yang tadinya mengurung Hwe-thian Mo-li, menjadi kehilangan semangat dan mulai mengundurkan diri.
Dan di dalam kekacauan ini, Hwe-thian Mo-li yang masih mainkan pedangnya, melihat bayangan penari cantik itu bergerak lincah sekali, me lompat dari ruang dalam dan dengan sebuah tendangan ia merobohkan Thio Kun yang berdiri menonton pertempuran sambil memegangi pundaknya yang tadi terluka oleh ujung pedang Hwe-thian Mo-li. Tanpa dapat berteriak lagi, Thio Kun roboh terguling dan cepat sekali tangan penari yang cantik itu menyambar ke bawah, terdengar pakaian robek dan patung Kilin tadi kini telah berada ditangan penari itu yang cepat melompat pergi dari ruangan itu.
Hwe-thian Mo-li merasa tak perlu lagi melanjutkan pertempuran karena kini musuhnya telah tewas. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok bergerak mundur, lalu tiba-tiba tubuhnya dienjotkan ke atas dan melompatlah ia ke ruang depan sambil berseru.
“Sahabat lancang, tunggu dulu!” Ia masih dapat melihat bayangan nona penari itu berlari di sebelah kanan rumah gedung maka iapun lalu mempercepat gerakan kakinya mengejar. Nona penari itu menengok dan mulutnya tersenyum geli ketika ia melihat Hwe-thian Mo-li mengejar. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat dengan ilmu lari Teng-peng-touw-sui. Melihat betapa bayangan yang ramping di depan itu kini berlari makin cepat keluar dari kota, Hwe- thian Mo-li menggigit bibir dan mempercepat pengejarannya dengan ilmu lari Hwe-hong-sut.
Kejar mengejar terjadi dan Hwe-thian Mo-li menjadi makin mendongkol, gemas, marah dan penasaran oleh karena betapapun ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat, ia tidak dapat mengejar gadis penari itu. Sebaliknya, yang dikejar juga tak dapat memperjauh jarak di antara mereka ternyata bahwa ilmu kepandaian mereka dalam hal ilmu berlari cepat ternyata setingkat. Setelah kejar mengejar sejauh tiga puluh li dan mereka telah tiba di tepi sungai Yang- ce, nona penari itu sambil tertawa-tawa lalu berhenti menanti kedatangan Hwe-thian Mo-li.
Dengan muka merah, Hwe-thian Mo-li menudingkan telunjuknya ke arah hidung nona penari itu sambil berkata ketus, “Siapakah kau yang sombong dan lancang ini? Mengapa kau berani mati sekali mendahului aku yang hendak memenggal leher binatang Liok Kong? Lekas katakan apa alasanmu. Kalau tidak jangan harap aku Hwe-thian Mo-li dapat mengampuni kelancanganmu?”
Dara penari yang lihai itu tersenyum manis sekali dan menahan gelinya. “Kau mau mengetahui namaku?”
“Ya, sebutkan namamu. Cepat!”
“Aku bernama Hwe-thian Sian-li (Bidadari Terbang)!”
Makin merahlah muka Hwe-thian Mo-li mendengar ini. Terang bahwa gadis penari ini main-main terhadapnya. Secepat kilat ia mencabut pedangnya dari pinggang dan memandang dengan mata melotot. “Kau hendak mengembari julukanku? Mengapa tidak memakai julukan Hwe-thian Mo-li sekali agar sama?” bentaknya.
Ong Lian Hong, dara penari itu tersenyum. “Untuk apa memakai nama seperti itu? Siapa suka menyebut diri sebagai Mo-li atau Iblis Wanita? Sungguh nama yang buruk dan menakutkan. Bagiku, lebih baik aku memakai nama Hwe-thian Sian-li!”
Hwe-thian Mo-li merasa terpukul oleh alasan ini. “Hm, tidak saja kau cantik, akan tetapi juga lidahmu amat lihai bicara. Lekas kau katakan mengapa kau berlancang tangan mendahului aku membunuh Liok Kong!”
“Cici, bukankah aku telah membantumu? Mengapa kau marah-marah?” gadis penari itu bertanya sambil memandang heran. Ia belum kenal adat yang keras dari Hwe-thian Mo-li dan karena adatnya inilah maka gadis ini disebut Hwe-thian Mo-li atau Iblis Wanita.
“Membantu? Siapa sudi kau bantu? Kau boca sombong, dengan sedikit kepandaianmu itu, kau sudah berani membantu tanpa kuminta? Kau benar-benar lancang sekali!”
“Enci Siang Lang, kau benar-benar galak sekali!” tiba-tiba penari ini berkata sambil tersenyum manis. “Kau hendak membalas dendam kepada jahanam Liok Kong, apakah orang lain juga tidak hendak membalas dendam? Apakah dendam hanya boleh kau miliki sendiri?”
Hwe-thian Mo-li tidak memperhatikan ucapan ini karena ia masih berdiri bengong mendengar betapa gadis cantik ini menyebut namanya yang jarang sekali diketahui orang lain.
“Bagaimana kau bisa mengetahui namaku? Siapakah kau?” tanyanya. “Tentu saja aku mengenal namamu. Kau bernama Nyo Siang Lan, murid dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu di Liong- cu san! Bukankah ini cocok sekali?”
“Bocah! Kau makin memperolok-olokku. Hayo katakan kau siapa dan bagaimana sampai dapat mengetahui keadaanku!”
“Kalau aku tidak mau memberi tahu padamu?” “Terpaksa ku paksa dengan pedangku!”
“Hm, Hwe-thian Mo-li, memang aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Marilah kita ma in-ma in sebentar! Sambil berkata demikian, Lian Hong me loloskan pedangnya yang tipis dan bersiap memasang kuda-kuda yang disebut Bunga Teratai Mengambang di Air. Sikapnya menarik sekali, matanya yang indah berseri, mulutnya tersenyum manis dan lagaknya nakal sekali.
Hwe-thian Mo-li diam-diam merasa kagum melihat kecantikan lawannya ini, akan tetapi ia juga merasa amat penasaran. Belum pernah ada orang, apalagi seorang gadis muda seperti ini, berani mengganggunya sampai sedemikian rupa.
“Bagus, kau memang perlu diberi sedikit hajaran!” bentaknya dan secepat kilat ia menyerang gadis itu. Serangannya, seperti biasa, cepat dan ganas sekali sehingga Lian Hong menjadi terkejut dan tidak berani ma in-main lagi. Gadis ini lalu memutar pedangnya yang tipis dan bersilat sama cepatnya mengimbangi permainan silat Hwe-thian Mo-li.
Kalau saja Lian Hong bersilat mempergunakan ilmu pedang lain dan sanggup menghadapinya, Hwe-thian Mo-li tidak akan demikian terheran, karena memang di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Akan tetapi yang membuatnya merasa terheran-heran adalah bahwa ilmu pedang gadis cantik ini m irip sekali dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Liong-cu-kiam-hwat. Pada dasarnya sama, hanya terdapat kembangan-kembangan lain yang agaknya terjadi dari percampuran dua ilmu pedang.
“Bocah sombong, dari mana kau mencuri ilm u pedang Liong-cu-kiam-hwat?” Hwe-thian Mo-li mmbentak sambil mengirim tusukan dengan gerak tipu Kim-so-tui-tee (Kunci Emas Jatuh di Tanah) yang dilakukan cepat sekali.
Lian Hong dengan tenang sekali karena sudah mengenal gerakan ini dengan baik, lalu mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya menangkis dengan gerakan Sayap Walet Mengipas Air.
“Siapa mencuri ilmu pedang? Hayo keluarkanlah se luruh kepandaianmu kalau kau bisa !” Lian Hong menantang sambil tersenyum-senyum.
Senyum yang manis sekali dan dapat melumpuhkan kalbu setiap laki-laki, ternyata bagi Hwe-thian Mo-li merupakan api yang panas membakar hatinya. Ia menggertak giginya dan berseru keras.
“Kau tidak tahu diberi hati! Kau minta dirobohkan dengan kekerasan? Baik, kau lihatlah!” Sambil berkata demikian, Hwe- thian Mo-li lalu mendesak maju dan mainkan pedangnya dengan luar biasa cepatnya. Ia benar-benar telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencari kemenangan. Tadipun ketika menghadapi banyak orang di rumah gedung Liok Kong, ia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya seperti sekarang ini.
“Hebat!” Lian Hong tak tertahan lagi berseru kagum dan iapun harus mengerahkan ginkang dan ilmu pedangnya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Pertempuran antara kedua nona jelita ini benar-benar hebat dan ramai sekali. Kian lama kian terheran-heranlah hati Hwe-thian Mo-li, karena jarang sekali ada orang yang dapat mempertahankan diri lebih dari tiga puluh jurus apabila ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya seperti ini.
Akan tetapi gadis muda ini dapat melayaninya sampai lima puluh jurus, bahkan dapat membalas dengan serangan- serangan dahsyat, mempergunakan pedang tipis dan selendang merah. Memang, melihat kehebatan sepak terjang Hwe-thian Mo-li, terpaksa Lian Hong mengeluarkan selendang merahnya untuk membantu gerakan pedang di tangan kanan.
(Oo-dwkz-oO)
Setelah memegang dua macam senjata yang lihai ini, barulah ia dapat mengimbangi permainan Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi, Lian Hong makin lama makin kagum saja karena ia maklum bahwa biarpun kepandaian mereka seimbang, namun ia kalah tenaga dan kalah ulet. Juga gerakan-gerakan Hwe-thian Mo-li amat ganas dan benar-benar merupakan penyebar maut sehingga sekali saja terkena serangannya, sukarlah untuk menyelamatkan diri.