Iblis dan Bidadari Chapter 03

NIC

Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar bentakan ini dan semua mata memandang ke arah gadis yang baru datang ini. Dia adalah seorang gadis yang berusia kurang lebih dua puluh tahun, cantik jelita dan luar biasa sekali. Pakaiannya sederhana berwarna biru se luruhnya, rambutnya diikat dengan saputangan merah dan di pinggangnya tergantung sarung pedang yang buruk dan sudah luntur catnya.

Memang aneh melihat gadis ini, karena sesungguhnya kalau dipandang dengan teliti, kecantikannya sempurna sekali. Dari rambutnya yang hitam mengkilap dan panjang, sampai kepada wajahnya yang bentuknya indah dan sempurna sehingga turun kepada tubuhnya yang padat dan ramping, sukarlah untuk mencari cacat celanya. Akan tetapi, begitu berhadapan dengan dia, orang mau tak mau harus merasa keder dan jerih, karena di balik kecantikan ini tersembunyi tenaga dan keganasan yang menakutkan. Mungkin sinar matanya yang bagaikan sepasang mata harimau marah itulah, atau tekukan bibirnya yang manis, entahlah. Pendeknya, melihat ia berdiri dengan tubuh tegak dan dadanya membusung ke depan seperti orang yang menantang, kedua kakinya dipentang sedikit ke kanan kiri, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri meraba gagang pedang, orang yang kurang tabah hatinya merasa bulu tengkuknya berdiri.

Liok Kong cepat menengok dan terheranlah ia karena selama hidupnya ia merasa belum pernah bertemu dengan nona cantik ini. Sambil memutar tubuh di atas tempat duduknya, ia menghadapi gadis itu dan membentak garang,

“Siapakah kau dan mengapa datang-datang berkata kasar?

Apakah kau seorang gila?”

Mulut gadis itu tersenyum, akan tetapi alangkah jauh bedanya dengan senyuman gadis penari tadi. Senyuman gadis ini biarpun amat manis akan tetapi merupakan penghinaan bagi orang dihadapannya.

“Liok Kong, manusia rendah! Aku tidak mau berbuat seperti orang lain, merendahkan diri memperkenalkan nama kepada binatang macam kau. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Hwe-thian Mo-li (Iblis Wanita Terbang)!”

Tidak hanya Liok Kong yang terkejut dan pucat mendengar nama ini, bahkan semua tokoh kang-ouw yang berada di situ menjadi tercengang. Nama Hwe-thian Mo-li ini di dalam dua tahun akhir-akhir ini telah terkenal sekali, terutama di kalangan hek-to (jalan hitam), yakni kalangan penjahat.

Jarang ada orang dapat melihat Hwe-thian Mo-li, karena iblis wanita itu bekerja dengan cepat, ganas, dan tidak pernah memperlihatkan diri. O leh karena ini, jarang ada orang kang- ouw yang pernah melihat wajahnya, sungguhpun namanya telah didengar oleh semua orang. Kini mendengar nama ini disebut, semua orang menjadi bengong dan terheran-heran. Memang pernah mereka dengar dari orang-orang yang telah bertemu muka dengan iblis wanita itu, bahwa Hwe-thian Mo-li adalah seorang dara yang cantik sekali, akan tetapi tidak pernah mereka sangka bahwa iblis wanita itu semuda dan secantik ini. Bagaimanakah seorang dara yang usianya kurang dua puluh tahun, yang demikian cantik jelita, disebut seorang iblis?

Adapun Toat-beng Sin-to Liok Kong, ketika mendengar nama ini, berdebarlah hatinya. Ia pernah mendengar bahwa iblis wanita ini memang berusaha mencarinya, dan bahkan seorang kawan baiknya telah tewas pula di dalam tangan Hwe-thian Mo-li. Ia masih belum mengerti mengapa wanita muda ini mencarinya dan hendak membunuhnya, dan mengapa pula iblis wanita ini telah membunuh kawan baiknya di Santung itu.

Dengan mengangkat dada, Liok Kong lalu turun dari tempat duduknya, berdiri dihadapan Hwe-thian Mo-li dan berkata,

“Hwe-thian Mo-li! Kau adalah seorang kang-ouw yang baru saja muncul dan boleh dibilang masih seorang kanak-kanak. Akan tetapi ternyata mulutmu besar sekali. Kau berani menghina Toat-beng Sin-to Liok Kong, apakah kau telah bosan hidup? Sayang kemudaan dan kecantikanmu! Dan sebagai seorang kang-ouw, kaupun telah bertindak secara serampangan dan membabi buta. Kau datang memaki dan memusuhi aku tanpa alasan sama sekali. Bilakah kita pernah bertemu? Pernahkah aku, Toat-beng Sin-to mengganggumu atau memusuhimu? Ingat, gadis kecil, di sini berkumpul puluhan tokoh kang-ouw, dan kau tidak boleh berlaku sombong dan sewenang-wenang!”

Pada saat itu terdengar suara ketawa nyaring dan tahu- tahu Thio Kun Si Pedang Maut telah melompat dan berdiri di dekat Liok Kong menghadapi Hwe-thian Mo-li. Jago pedang dari Kansu yang baru berusia tiga puluh tahun dan masih membujang ini, ketika tadi melihat Hwe-thian Mo-li, ia menjadi demikian kagum sehingga sampai beberapa lama tak dapat mengeluarkan sepata katapun. Dalam pandangan matanya, bahkan Hwe-thian Mo-li ini lebih cantik dan menarik dari pada gadis penari itu. Mungkin karena sikap Hwe-thian Mo-li yang gagah itulah yang menarik hatinya.

“Liok-lo-enghiong, serahkanlah yang galak ini kepadaku. Kau telah mempunyai kawan minum arak, sekarang datang giliranku. Ha, ha, ha!”

Biarpun hatinya agak merasa gelisah, mendengar ucapan Thio Kun ini, Liok Kong tersenyum senang. Ia maklum bahwa orang she Thio ini boleh diandalkan.

“Nanti dulu, Thio-taihiap, biar aku bertanya dulu kepada nona ini mengapa dia demikian rindu untuk memiliki kepalaku yang tidak muda lagi!”

Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Thio Kun, bahkan ia lalu berkata kepada Liok Kong,

“Toat-beng-sin-to, mungkin kau belum pernah mendengar namaku, akan tetapi tentu kau takkan lupa akan Pat-jiu K iam- ong (Raja Pedang Bertangan Delapan), bukan?”

Tiba-tiba wajah orang she Liok itu menjadi pucat sekali. Teringatlah ia akan pengalamannya belasan tahun yang lalu dan ketika ia teringat akan sahabat baiknya di Santung yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li, diam-diam ia bergidik. Liok Kong adalah seorang yang cerdik dan ia maklum bahwa gadis ini lihai sekali. Kebetulan sekali Thio Kun yang sombong datang mencampuri urusan ini, maka ia pikir lebih baik mengoperkan gadis ganas ini kepada Si Pedang Maut.

“Thio-taihiap, kau minta aku menyerahkan nona ini kepadamu? Akan tetapi tidak dengarkah kau akan nama besarnya Hwe-thian Mo-li?” Thio Kun tertawa bergelak, “Ha, ha, ha, biarpun ia disebut Iblis Wanita, kalau cantiknya seperti ini, siapakah yang akan takut menghadapinya?”

Liok Kong melompat mundur dan semua orang memandang ke arah Thio Kun dan Hwe-thian Mo-li dengan hati tegang dan tertarik. Pasti akan ada pertunjukan yang amat menarik, pikir mereka. Apalagi orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar nama Hwe-thian Mo-li, mereka ingin sekali menyaksikan nona itu bersilat. Nama Thio Kun tidak asing lagi dan sebagian besar orang kang-ouw yang hadir di ruangan itu maklumlah sudah akan kelihaian ilm u pedang dari Thio Kun.

“Nona,” kata Thio Kun dengan lagak sombong, “sudah lama aku mendengar nama Hwe-thian Mo-li dan oleh karena kita berdua adlah orang segolongan, mengapakah kau tidak ikut ke mejaku dan menikmati hidangan sambil minum arak wangi?”

Hwe-thian Mo-li tersenyum manis, akan tetapi dibalik senyumnya mengintai kemarahan besar. “Cih, orang she Thio! Siapakah yang tidak tahu bahwa kau adalah seorang perampok keji? Bagaimana orang macam kau berani menganggap aku orang segolongan? Aku datang untuk merenggut nyawa orang she Liok karena urusan dendam pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan kau atau dengan orang lain yang berada di sini! Akan tetapi ”

Ia berhenti sebentar lalu melemparkan pandang mata menantang ke empat penjuru, “jangan anggap bahwa kata- kataku ini menunjukkan bahwa aku takut! Siapa pun juga yang menghalangi aku mengambil kepala orang she Liok, boleh maju dan berkenalan dengan pedangku!”

“Aduh lagaknya! Pedang tumpul macam apakah yang kau bawa-bawa ke sini?” Thio Kun mentertawakan, akan tetapi segera ia berseru kaget dan cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak dari sambaran sinar kuning yang menyerang ulu hatinya. Entah bagaimana, tanpa kelihatan pandangan mata, tahu-tahu Hwe-thian Mo-li telah mencabut pedangnya dan telah mengirim serangan kilat menusuk ulu hatinya.

Pucatlah wajah Thio Kun, bukan hanya karena kaget, akan tetapi juga karena marah. Ia melihat betapa buruknya sarung pedang yang tergantung di pinggang gadis itu, akan tetapi setelah pedangnya dicabut, ternyata pedang itu berkilau mengeluarkan cahaya kekuningan.

“Masih adakah pikiranmu untuk membela jahanam she Liok dan menghadapi pedangku Thio Kun?” Hwe-thian Mo-li mengejek.

“Iblis wanita, kau kira kau akan dapat menyombongkan sedikit kepandaianmu di sini dan berani mengacau? Jangan kau membikin aku sampai menjadi marah. Kalau sekali pedang maut telah kucabut, sebelum ia mencium bau darah, ia takkan masuk kembali ke sarangnya!”

“Perampok hina dina, siapa takuti pedangmu ?” kata pula Hwe-thian Mo-li dan ia memandang dengan cara menghina sekali.

Thio Kun tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Ia berseru keras dan mencabut pedangnya yang berkilau dan mengeluarkan sinar putih kehijauan.

“Kau perlu dihajar!” bentaknya dan cepat sekali pedang di tangannya bergerak menyerang dengan hebat sekali. Hwe- thian Mo-li menangkis dan terdengar suara keras dibarengi bunga api yang berpijar. Thio Kun menjadi gentar sekali ketika pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan karena benturan ini. Baiknya ia memiliki pedang mustika, kalau tidak, tentu pedangnya telah terbabat putus oleh pedang di tangan Hwe-thian Mo-li.

Nama besar Thio Kun sebagai si Pedang Maut bukan timbul karena ilmu pedangnya terlalu lihai, melainkan sebagian besar ditimbulkan oleh kekejaman pedangnya. Memang benar seperti yang dikatakannya tadi, tiap kali pedangnya meninggalkan sarung pedang, pedang itu belum dikembalikan ke dalam sarung sebelum berlepotan darah. Oleh karena kekejamannya inilah maka perampok tunggal yang masih muda ini mendapat julukan Si Pedang Maut, walaupun maut yang tersebar dari pedangnya itu selalu mengambil kurban nyawa orang baik-baik.

Kini menghadapi pedang pusaka di tangan Hwe-thian Mo-li, mana dia dapat berdaya banyak? Hwe-thian Mo-li adalah murid terkas ih dari seorang gagah perkasa di bukit Liong-cu san yang bernama Ong Han Cu dan berjuluk Pat-jiu K iam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya. Dengan serangan-serangan dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat, baru beberapa belas jurus saja,

Thio Kun menjadi sibuk sekali. Ia masih berusaha mempertahankan dengan ilmu pedang dari Bu-tong-pai, namun karena tingkat ilmu pedangnya memang kalah jauh, dalam jurus kedua puluh terdengar ia menjerit keras dan robohlah ia dengan pundak terbabat pedang.

Posting Komentar