Dendam Si Anak Haram Chapter 77

NIC

“Pukulan keji....!” Mendengar ucapan itu, tiga orang muda yang memandang dan mendengar, menjadi makin gelisah, bahkan Siang Hwi mengeluarkan isak tertahan sehingga kakek itu menoleh kepadanya. Baru sekali ini kakek itu memandang kepada Siang Hwi, dan sepasang mata kakek aneh itu memandang penuh perhatian.

“Nona siapakah dan ada hubungan apa dengan Kwan Bu?” Siang Hwi cepat berlutut dan menundukkan mukanya, agaknya ia merasa malu harus menceritakan keadaan dirinya, karena ia teringat betapa dahulu ia seringkali melakukan hal-hal yang menyakitkan hati Kwan Bu,

“Teecu..... Bu Siang Hwi..... dan dahulu,... Kwan Bu bekerja di rumah mendiang ayah. ”

“Hemm. puteri Bu Keng Liong kah? Dan tadi engkau membela Kwan Bu mati-matian, mengapa?” Ditanya begitu, Siang Hwi tak dapat menjawab hanya sesenggukan,

“Jangan khawatir, biarpun berat lukanya. Kwan Bu takkan mati,” Setelah berkata demikian, hwesio tua itu menotok beberapa jalan darah di leher dan punggung Kwan Bu, mengurut dadanya dan terdengar Kwan Bu mengeluh, membuka mata dan hendak bangkit duduk, Akan tetapi tangan Pat-jiu Lo-koai mendorongnya rebah kembali dan hwesio berilmu tinggi ini berkata.

“Jangan banyak bergerak. Engkau terluka karena kebodohanmu sendiri, kurang waspada menghadapi sepasang roda Pek-mo! Pinceng akan menyembuhkan Iukamu, akan tetapi sedikitnya engkau akan harus beristirahat selama sebulan, baru akan sembuh betul, kau diam saja, kumpulkan tenaga di pusar dan jangan menggerakkan tenagamu agar racun di tubuh tidak menjalar makin luas, Pinceng akan berusaha mengusir hawa beracun akan pukulan roda hitam Pek-mo, Untung roda kitam yang memukul dadamu, roda hitam yang mengandung hawa beracun panas, Kalau roda putih yang mengandng hawa beracun dingin, agaknya sekarang engkau sudah tidak bernyawa lagi, Nah, rebah saja dan jangan bergerak!”

Kwan Bu merasa terharu sekali, nyawanya tertolong oleh suhunya sendiri, dan dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memberi hormat dan menghaturkan terima kasih, Namun ia tidak berani membantah, maka ia lalu rebah terlentang dan tidak bergerak, juga menarik tenaga dalamnya di pusar agar tidak melakukan perlawanan terhadap usaha gurunya. Pat-jiu Lo-koai duduk bersila di dekat muridnya yang terluka. tangan kanan di atas dada Kwan Bu. kemudian meramkan kedua matanya dan mulailah mengerahkan sinkangnya untuk mengobati muridnya, diam-diam Kwan Bu terkejut sekali ketika merasa betapa suhunya menggunakan sinkang untuk menyedot hawa beracun dengan kekuatan sinkang melalui telapak tangannya! Hal itu amatlah berbahaya karena dengan demikian, hawa beracun itu akan berpindah ke dalam tubuh suhunya!

Akan tetapi ia maklum akan watak suhunya yang tak boleh dibantah, maka ia diam saja. Teringat ia di waktu dahulu masih kanak-kanak, ia hanya berhasil menjadi murid suhunya karena kekerasan hatinya, Kini, melihat suhunya yang keras hati itu mengobatinya dengan resiko yang berbahaya. ia menjadi terharu dan tak terasa lagi dua titik air mata turun ke bawah matanya. Kwee Cin, Giok Lan, dan Siang Hwi memandang dengan mata terbelalak dan penuh kekaguman. Cara mengobati seperti ini hanya pernah mereka dengar saja dalam cerita di dunia kang-ouw, dan baru sekali ini mereka menyaksikannya sendiri, Makin lama, tenaga menyedot yang keluar dari telapak tangan hwesio tua itu makin kuat sehingga Kwan Bu merasa seolah-olah seluruh hawa di tubuhnya terhisap! sinkangnya sendiri otomatis hendak bergerak melawan.

Akan tetapi cepat-cepat ia mengerahkan perhatiannya dan tetap menahan semua tenaga dalamnya di pusar dengan penuh kepasrahan dan kepercayaan kepada suhunya, kini tubuh hwesio gendut itu gemetar dan uap menghitam mengepul keluar dari kepalanya yang gundul, Perlahan-lahan, warna hitam di wajah Kwan Bu bergerak turun, berkumpul di dagu, terus turun ke leher dan ke dada sehingga wajahnya kembali kelihatan pucat, Akan tetapi sebaliknya, warna hitam menjalar ke lengan Pat-jiu Lo-koai, makin lama makin hitam dan wajah serta kepala kakek itu kini penuh dengan peluh napasnya agak berat tanda bahwa kakek ini mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya. Selama tiga jam hwesio sakti itu mengobati muridnya dan akhirnya semua hawa beracun di dada Kwan Bu telah tersedot habis dan bersih, Ketika hwesio itu melepaskan tangannya dari dada Kwan Bu, pemuda ini mengeluh dan bangkit duduk dengan lemah.

“Suhu, suhu terkena racun…” bisiknya perlahan penuh keharuan memandang suhunya yang masih duduk bersila dan kini mulai mengerahkan sinkang lagi utuk mendesak keluar hawa beracun dari lengan kanannya. Pat-jiu Lo-koai membuka matanya dan tersenyum.

“Pinceng dapat membersihkannya..!” Kwan Bu maklum bahwa untuk mendesak keluar hawa beracun dari lengan gurunya itu membutuhkan pengerahan sinkang yang kuat. sedangkan gurunya tadi telah menghabiskan tenaganya untuk menolongnya,

“Suhu, biarlah teecu membantu suhu. ”

“Ah, susah payah pinceng menolongmu, apakah sekarang hendak kau rusak dengan bunuh diri? Engkau terluka sebelah dalam, lemah sekali dan tidak boleh mengerahkan sinkang, harus beristirahat selama satu bulan. Sudahlah, pinceng masih kuat membersihkan lengan dari hawa beracun ini,” Pat- jiu Lo-koai kembali duduk diam, meramkan mata dan mengerahkan sinkangnya untuk mengusir hawa beracun dari lengannya, Jelas tampak bahwa kakek tua itu hampir kehabisan tenaga. peluh makin banyak membasahi muka dan kepala, wajahnya makin pucat dan napasnya makin berat. Kwan Bu memandang dengan hati terharu dan tidak tega akan tetapi dia tidak berani membantah perintah suhunya, ia merasa betapa ada orang memandangnya, ketika ia menoleh ke kiri, ternyata sepasang mata Siang Hwi yang memandangnya dengan penuh keharuan dan kebahagiaan, sepasang mata yang berembun air mata,

“Sukurlah..... engkau telah sembuh ” bisik gadis itu,

“Berkat pertolongan suhu.... jawab Kwan Bu, juga berbisik. Mereka berdua tidak kuasa mengeluarkan banyak kata-kata setelah apa yang mereka alami bersama semenjak peristiwa di dalam rumah gedung keluarga Phoa sampai peristiwa dengan murid-murid Bu-tong-pai tadi.

“Bagaimana dengan pundakmu, nona Bu ?” kembali Kwan Bu berbisik, Siang Hwi mengerutkan

alisnya dan menundukkan mukanya yang masih agak pucat, Hatinya seperti ditusuk mendengar sebutan “nona Bu” itu, sebutan yang amat dibencinya semenjak dahulu karena sebutan ini mengingatkan dia akan perbedaan kedudukan mereka, mengingatkan dia bahwa Kwan Bu adalah bekas kacungnya! Ingin ia menjerit bahwa ia tidak mau disebut nona lagi, tidak mau melihat Kwan Bu bersikap merendahkan diri terhadapnya, ingin dia diperlakukan seperti orang sederajat, Akan tetapi hatinya yang menjerit, sedangkan mulutnya tidak mungkin dapat menyampaika suara hatinya, la hanya menundukkan muka dan menjawab lirih,

“Tidak apa-apa, sudah sembuh..!” Sementara itu semenjak tadi Kwee Cin dan Giok Lan juga memandang ketika Kwan Bu diobati, memandang penuh kecemasan dan mereka menjadi gembira ketika mendapat kenyataan bahwa Kwan Bu dapat disembuhkan, sungguh pun ia masih membutuhkan istarahat yang lama, Melihat betapa Kwan Bu berbisik-bisik dengan Siang Hwi, Giok Lan tersenyum, menbalikan tubuh membelakangi kakaknya itu dan menghadapi Kwee Cin, langsung bertanya,

“Saudara Kwee Cin, apakah engkau ini seorang pria yang tidak suka berbohong?” Kwee Cin memandang kaget dan heran, Sejak tadi ia memandang gadis itu makin menarik hatinya, Kini secara tba-tiba gadis itu mengajukan pertanyaan seperti itu! Siapa orangnya yang tidak akan menjadi bingung? Pertanyaan yang datangnya lebih membingungkan daripada jurus penyerangan yang lihai itu membuat Kwee Cin gagap gugup menjawab,

Posting Komentar