Dendam Si Anak Haram Chapter 64

NIC

Matahari telah naik tinggi ketika kereta yang membalap dan melarikan diri itu telah jauh meninggalkan kota itu. Mereka tiba di jalanan yang sunyi di antara pegunungan, dan pada sebuah perempatan jalan, tiba-tiba Kwee Cin menghentikan kereta itu. Lalu meloncat turun dari atas kereta. Kwan Bu juga meloncat turun dari kudanya. sedangkan Giok Lan yang sudah lega hatinya karena ibu Kwan Bu sudah siuman dan kini duduk tertidur, juga meloncat keluar. Mereka bertiga berdiri berhadapan dan sesaat lamanya mereka hanya beradu pandang, Giok Lan memegangi jubah luar milik Kwee Cin yang tadi oleh pemuda itu dilemparkan kepada Giok Lan di atas kereta tanpa mengucapkan sepatah kata. Giok Lan juga tidak bicara apa-apa hanya cepat menyelimutkan jubah itu untuk menutupi pakaiannya yang robek. Kini karena meloncat turun, jubah terbuka maka cepat- cepat ia menutupkannya dan memeganginya dengan tangan kiri, matanya memandang kepada Kwee Cin. Malam tadi karena keadaan agak gelap, tidak dapat ia melihat jelas wajah pemuda itu, juga di dalam kereta ia tidak dapat melihat Kwee Cin yang duduk di depan. Setelah kini ia memandang wajah itu, ia harus mengakui bahwa Kwee Cin adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah bermuka putih dan sikapnya amat halus.

“Kwan Bu, maafkan aku yang tadinya gelap mata oleh kematian suhu dan kesengsaraan sumoi. aku sadar, apalagi setelah mendengar percakapanmu dengan para tokoh Bu-tong-pai, bahwa sesungguhnya engkau tidak bersalah dalam peristiwa di Hek-kwi-san itu.” Kwan Bu menjadi terharu, melangkah maju dan memegang pundak Kwee Cin. “Bukan engkau yang harus minta maaf, bahkan akulah, Kwee Cin! Akupun tadi salah sangka terhadapmu, mengira engkau memancingku dan sengaja membawa orang-orang Bu-tong-pai untuk mencelakakan kami. Sungguh sama benar peristiwa tadi dengan yang terjadi di Hek-kwi-san. Engkau muncul tadi bersamaan dengan orang-orang Bu-tong-pai sehingga seolah-olah engkaulah yang membawa mereka datang. Demikian pula di Hek-kwi-san dahulu. Aku datang dengan urusan pribadi, siapa tahu secara kebetulan dan dalam waktu yang sama pula muncul pasukan pengawal sehingga seolah-olah aku yang membawa pasukan pengawal itu! aku tidak menyalahkan engkau yang tentu menduga sama pula. Tidak, aku sudah mengenalmu, karena itu aku tidak suka bermusuh denganmu. tidak mau melawanmu. aku bahkan bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, Kwee Cin. Kalau tidak ada engkau, ihhh. ngeri aku membayangkan! Budimu sungguh besar sekali!” Kwan Bu

bergidik dan memandang kepada Giok Lan.

“Ah, kau hanya bertindak sesuai dengan kewajibanku seperti yang diajarkan suhu. Kalian tidak bersalah dan menghadapi penghinaan, bagaimana aku bisa mendiamkan saja? Tak perlu berterima kasih dan agaknya lebih baik di sini kita berpisah.”

“Engkau telah berlaku baik sekali terhadap kami Kwee engHiong. Mengapa? Mengapa kau mengorbankan dirimu menolong kami?” tiba-tiba Giok Lan bertanya sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik. Kwee Cin tersenyum.

“Ah, mengorbankan apa? Hanya biasa saja ”

“Engkau tidak bisa berpura-pura kepadaku, Kwee engHiong. aku tahu bahwa perbuatanmu menolong kami tadi merupakan sebuah perbuatan murtad dan khianat dari seorang murid Bu-tong- pai terhadap supeknya, terhadap perguruannyal”

“Benar sekali ucapan Lan-moi, Kwee Cin. Engkau telah melakukan hal yang berbahaya sekali karena kau tentu akan dimusuhi oleh perguruanmu sendiri, dimusuhi oleh Bu-tong-pai, dianggap murtad dan berkhianat. Ah, betapa besar pengorbanan yang kau lakukan untuk kami, Kwee Cin. ”

“Biarlah, akan kupertanggungjawabkan semua perbuatanku sendiri. Melihat engkau ditawan. masih tidak mengkhawatirkan, akan tetapi melihat betapa mereka menghina nona Phoa...... hemm, biar guruku sendiri akan kulawan! Sudahlah, selamat tinggal..!” Setelah berkata demikian, dengan muka merah Kwee Cin membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

“Kwee engHiong...., tunggu dulu!” Suara Giok Lan ini membuat Kwee Cin tiba-tiba berhenti dan menengok.

“Jubahmu ini...!” Giok Lan membuat gerakan hendak membuka jubah sehingga cepat-cepat Kwee Cin berkata,

“Biarlah! Engkau memerlukannya, Nona”

“Tapi bagaimana aku akan mengembalikannya?”

“Tak usah dikembalikan.”

“Mana mungkin? lni jubahmu, biar kupinjam. !” “Baiklah. Kau pinjam dan kelak kalau kita ada jodoh bertemu kembali, boleh kau kembalikan kepadaku.” Kwee Cin membalikkan tubuh lagi hendak pergi.

“Kwee engHiong !” Kembali suara ini membuat ia menengok.

“Maafkan aku telah memaki-makimu tadi, menyebutmu pengecut, laknat dan... dan. seperti

kecoa......!” Wajah gadis itu menjadi merah sekali. Kwee Cin tersenyum dan pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri.

“Sudah sepantasnya, nona. karena akupun memakimu seperti...... seperti kucing galak! Jadi......

sama-sama maaf!”

“Akan tetapi aku... aku telah meludahi mukamu...... ah, betapa besar kesalahanku kepadamu..?” Senyum di wajah pemuda itu melebar. Ia meraba pipi dan bibirnya yang tadi diludahi dan yang sekarang tentu saja sudah tidak ada bekasnya lagi.

“Tidak mengapa nona dan... dan ludahmu. tidak kotor. Selamat tinggal!” Pemuda itu lalu lari cepat

meninggalkan dua orang muda yang memandang sampai bayangannya lenyap di sebuah tikungan.

“Semenjak dia kecil, dia seorang jantan yang sangat baik...! Patut dia menjadi murid Bu Taihiap seorang pemuda pilihan!” kata Kwan Bu perlahan.

“Dia hebat !” Giok Lan menghela napas panjang.

“Dan dia jatuh cinta kepadamu, Lan-moi !” Kembali Giok Lan menghela napas lalu berkata lirih.

“Dia hebat, akan tetapi engkau lebih hebat, koko dan tentang cinta..?”

“Sudahlah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan agar cepat sampai di rumahmu. Sebelum sampai di sana aku akan selalu merasa tidak tenteram. Siapa tahu mereka itu masih tidak terima dan melakukan pengejaran.” Kwan Bu cepat memotong ucapan gadis itu karena tidak ingin ia bicara tentang cinta di saat itu.

Giok Lan kini mengusiri kereta dan Kwan Bu mengawal di atas kudanya. Hatinya penuh rasa syukur, tidak saja bahwa mereka telah terbebas daripada bencana hebat, akan tetapi terutama sekali bahwa kepercayaannya terhadap Kwee Cin ternyata tidak meleset, membuat ia makin suka dan kagum kepada murid bekas majikannya itu. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di kota Kam-sin-hu. Dengan wajah gembira Giok Lan langsung mengemudikan kereta sampai ke depan sebuah gedung besar yang berpekarangan lebar sekali Kwan Bu memandang dengan kagum dan juga menjadi sungkan. Tak disangkanya bahwa rumah Giok Lan demikian besar dan mewah, keluarga gadis ini demikian kaya raya! Begitu kereta memasuki halaman, lima orang pelayan menyambut dengan penuh kegembiraan.

“Siocia pulang...... Siocia pulang !” kata mereka sambil memberi hormat dan cepat membantu nona

itu, ada yang memegang kendali kuda, ada yang membantu Nyonya Bhe turun dari kereta. Pada saat itu, dari dalam muncul seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang tertawa-tawa gembira.

“Koko, engkau sudah pulang?” Giok Lan berseru girang. “Suheng dan suci...!” Kwan Bu juga berseru dan memberi hormat, namun ada tidak enak dalam hatinya ketika ia melihat suhengnya. Teringat ia akan ucapan Kwee Cin tentang suhengnya itu yang mengatakan bahwa Siok Lun telah menangkap lagi Siang Hwi dan hampir memperkosanya sehingga Liu Kong menolong gadis itu dan Liu Kong akhirnya tewas di tangan suhengnya ini. Tewasnya Liu Kong di tangan suhengnya tidak dia perdulikan karena ia tahu bahwa Liu Kong bukan seorang manusia baik-baik, akan tetapi mendengar bahwa suhengnya akan memperkosa Siang Hwi, benar- benar menyakitkan hatinya. Ia akan mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu kepada suheng nya.

Posting Komentar