Dendam Si Anak Haram Chapter 62

NIC

“Aahhhh !” Kwan Bu benar-benar kaget sekali mendengar berita ini. “Aku sama sekali tidak tahu

akan hal itu!”

“Engkau tahu atau tidak bukanlah hal yang penting sekarang. Yang terpenting adalah penyelesaian di antara kita. Tidak ada pilihan lain bagiku, membunuhmu untuk membalas sakit hati sumoi dan kematian suhu, atau terbunuh oleh mu. Bersiaplah engkau, Be Kwan Bu!” Kwan Bu menjadi berduka sekali.

“Kwee Cin engkau mencinta Bu Siang Hwi, bukan?” Merah muka Kwee Cin.

“Tidak! Kini dia adalah seperti saudara bagiku, seperti adikku. Semenjak kenyataannya bahwa dia mencinta engkau seorang. Aku sudah mengubur rasa cinta kasih masa kanak-kanak itu.”

“Apa!! Dia mencintaiku? Hemm, berkali-kali dia menghinaku, menamparku. l”

“Hanya laki-laki yang buta saja yang tidak tahu akan cinta kasih seorang wanita. Kwan Bu. Dan engkau buta! Karena itu menyiksa dia, adikku, sumoiku yang malang. Sudah lekas cabut pedangmu!”

“Tidak, aku tidak akan bermusuh denganmu Kwee Cin.”

“Mau atau tidak. aku akan menyerangmu, tidak ada pilihan lain, membunuhmu atau terbunuh olehmu. Aku seorang laki-laki sejati, Kwan Bu!”

“Aku tahu dan aku mengenalmu, Kwee Cin. Akan tetapi aku tidak akan berusaha mengalahkanmu, engkau bukan musuhku.” Jawab Kwan Bu dengan sikap tenang.

“Kwan Bu, aku bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tidak melawan, akan tetapi demi bakti terhadap suhu, aku terpaksa menyerangmu, dan kalau kau tetap tidak melawan, membunuhmu. Lihat pedang!” dengan gerakan cepat dan kuat Kwee Cin sudah menuBukan pedangnya ke arah dada Kwan Bu. Melihat penyerangan yang bukan main-main ini, Kwan Bu cepat mengelak ke kiri.

“Wuuutttm singggg. !!”“ Kwee Cin maklum bahwa kepandaian Kwan Bu amat lihai dan dia tidak

mungkin dapat menangkan murid Pat-jiu Lo-kai itu, akan tetapi ia tidak putus asa, bahkan menerjang dengan nekat sehingga begitu tuBukan pertama dielakkan, telah ia susul dengan menyambarkan pedangnya dari samping, membacok ke arah leher Kwan Bu. Kwan Bu mengelak lagi dan ia membiarkan Kwee Cin terus menghujankan serangannya yang selalu ia hindarkan dengan elakkan tanpa membalas sedikitpun juga. Kwee Cin menjadi amat kagum setelah lewat tiga puluh jurus ia menyerang sama sekali tidak ada hasilnya. Ia amat kagum akan gerakan Kwan Bu yang sigap dan gesit melebihi gerakan seekor burung walet sehingga amat sukar pedangnya mengikuti gerakan lawan ini. Selain kagum, ia juga penasaran dan karena sudah bulat tekadnya untuk membunuh atau dibunuh demi kebaktiannya kepada mendiang suhunya, Kwee Cin menerjang terus, makin lama makin cepat.

“Kwee Cin, cukuplah main-main ini. Tak tahukah engkau bahwa caramu membalas dendam ini selain tidak tepat, juga tidak ada gunanya? Bu Taihiap tewas dalam sebuah peperangan, dan sesungguhnya adalah salahnya sendiri mengapa ia tidak dapat mempertahankan pendiriannya yang bebas seperti dahulu. Dia telah berfihak kepada pemberontak dan tewas dalam perang melawan pihak pengawal. Perlu apa disesalkan?”

“Tak usah banyak wawasan, Kwan Bu. Demi suhu dan sumoi, engkau yang tewas atau aku!” Kwee Cin menerjang lagi. Kwan Bu mengenal watak Kwee Cin dan tahu bahwa Kwee Cin melakukan penyerangan dan desakan ini karena kebaktiannya, maka ia menjadi mendongkol berbareng terharu.

“Berhentilah” teriaknya lagi dan pada saat itu, Kwee Cin sudah menyerangnya dengan jurus In-ko bu-tong (Awan Naik Gunung Bu-tong-san). Jurus ini merupakan jurus simpanan yang amat lihai dari ilmu pedang Bu-tong-pai. Sebagaimana diketahui, Bu Taihiap atau Bu Keng Liong adalah anak murid Bu-tong-pai maka tentu saja ilmu pedang yang ia turunkan kepada murid-muridnya adalah ilmu dari Bu-tong-pai. Jurus ini dilakukan dengan lambat, akan tetapi hanya tampaknya saja pedang itu menyerang amat lambat ke arah pusar lawan, akan tetapi dibalik kelambatan ini bersembunyi kecepatan yang terletak dalam perubahan ujung pedang karena ujung pedang yang menyerang pusar itu dapat dilanjutkan dengan serangan yang bertubi-tubi dari bawah terus ke atas!

Kwan Bu seorang yang sudah tinggi ilmunya dan dia bukan seorang sombong. Sejak tadi dia berlaku hati-hati dan tidak berani memandang rendah ilmu pedang lawan, maka sekali inipun ia akan berlaku hati-hati. Ia maklum bahwa Bu Taihiap adalah seorang ahli pedang yang amat lihai dan Kwee Cin seorang murid yang tekun, maka tidak mungkin serangan Kwee Cin yang lambat ini memang menjadi dasar atau sifat jurus serangannya. Ia mengelak dan tetap waspada menanti perkembangannya dan benar saja seperti yang diduganya, ujung pedang di tangan Kwee Cin menggetar dan dari gerakan lambat itu tiba-tiba muncul serangan bertubi-tubi yang amat cepatnya, membabat pinggang dilanjutkan dengan tuBukan ke ulu hati, lalu membabat leher dilanjutkan dengan tuBukan ke arah mata!

Serangan menusuk dan membabat secara bertubi-tubi dan bertingkat makin lama makin ke atas ini sukar sekali dihindarkan dan datangnya memang tak tersangka-sangka. Namun Kwan Bu yang sudah waspada itu membiarkan sampai gerakan terakhir jurus itu lewat dan dia hanya mengelak ke kanan kiri dengan menggunakan ginkang yang lebih tinggi sehingga gerakannya lebih cepat daripada gerakan lawan, kemudian tangannya bergerak mendorong dan dibarengi tendangan. Dorongan yang mengandung tenaga ginkang yang amat kuat itu membuat tubuh Kwee Cin terhuyung dan tendangan dari samping itu tepat mengenai pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedangnya terlempar ke atas dan tahu-tahu sudah berada di tangan Kwan Bu!

“Bagus, kepandaianmu memang hebat, Kwan Bu. Nah, kau bunuhlah aku!” Kwee Cin terhuyung menghampiri dan mengangkat dada, siap menerima tuBukan Kwan Bu dengan pedangnya sendiri.

“Bu-koko.... toloonnggg......!” Jerit suara Giok Lan ini mengagetkan Kwan Bu. Sekali tangannya bergerak, pedang rampasan itu menancap di atas tanah di depan Kwee Cin, kemudian Kwan Bu berkelebat lenyap karena tubuhnya sudah melesat amat cepatnya memasuki rumah penginapan. Jantungnya berdebar tegang karena kalau Giok Lan menjerit minta tolong seperti itu, pasti terjadi hal yang amat hebat. Ia berloncatan ke atas genteng kemudian turun ke sebelah belakang rumah penginapan. Dilihatnya banyak tamu yang ketakutan dan bersembunyi di kamar masing-masing, ada pula yang keluar akan tetapi berdiri dengan muka pucat di depan kamar. Kwan Bu melihat serombongan orang di ruangan belakang yang luas, yang dijadikan ruangan makan dan ruangan para tamu beristirahat.

Cepat ia melayang ke tempat itu dan tiba-tiba ia berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak marah karena ia melihat betapa ibunya dan Giok Lan telah menjadi tawanan belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah, dikepalai seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memakai pakaian Kitam dan yang memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanan. Dengan pedang itu kakek hu menodong ke lambung ibu Kwan Bu, sedangkan dua orang laki-laki lain yang usianya antara empat puluh tahun, menodongkan ujung pedang mereka di kanan kini punggung Giok Lan. Gadis ini yang agaknya tadi melakukan perlawanan, terluka sedikit lengannya dan kedua tangannya kini dibelenggu ke belakang! Namun gadis berpakaian pria ini sedikitpun tidak memperlihatkan muka takut, bahkan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan ditujukan kepada orang-orang yang menawan dirinya dan ibunya Kwan Bu.

“Bhe Kwan Bu manusia rendah budi! Menyerahlah, kalau melawan, ibumu dan nona ini kami bunuh lebih dulu” Bentak kakek pakaian hitam yang menodong lambung ibunya. Lemas kembali seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang penuh kesiapan di tubuh Kwan Bu. Betapapun akan cepatnya ia bergerak menyerang orang-orang yang menodong ibunya dan Giok Lan. Tentu lebih cepat lagi pedang-pedang itu memasuki tubuh kedua orang tawanan itu. Ia menekan gelora hatinya dan bertanya, suaranya tetap tenang.

“Kalian siapakah dan apa kehendak kalian?” Kakek itu rnemandangnya dengan rona muka penuh kebencian.

“Kami adalah pejuang dari Bu-tong-pai, dan karena Bu Keng Liong adalah tokoh dari Bu-tong-pai, maka dia masih terhitung suteku. Engkau yang sudah menerima banyak budi dari Bu-sute, telah mengkhianati dia dan menyebabkan banyak tokoh pejuang gugur. Untuk mempertanggungjawabkan dosamu, kau harus menjadi tawanan kami dan menghadapi hukuman dari suhu dan para pimpinan pejuang. Menyerahlah dan ibumu serta nona ini tidak akan mati di ujung pedang kami!” Dada Kwan Bu terasa panas. Mengertilah ia kini bahwa ia telah kena dipancing keluar oleh Kwee Cin yang ternyata datang bersama banyak pejuang dan ia mengerti pula mengapa Giok Lan mudah tertawan. Kiranya kakek ini adalah suheng dari ayah Siang Hwi yang tentu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi daripada Giok Lan. Ia menjadi marah sekali dan teringat ini, ia merasa menyesal mengapa tadi ia tidak bunuh saja Kwee Cin yang curang!

“Apakah seperti inilah kegagahan orang-orang Bu-tong-pai menghadapi lawan? Kalian datang begini banyak menghadapi aku seorang diri mengapa harus menggunakan siasat rendah dan curang mengganggu wanita yang tidak berdaya? Lepaskan mereka dan mari hadapi aku secara laki-laki!” Kakek itu menjadi merah mukanya, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab.

“Kami para pejuang Bu-tong-pai bukanlah seorang yang haus darah seperti engkau, Bhe Kwan Bu. Gara-gara perbuatanmu mengakibatkan penyembelihan para pejuang di Hek-kwi-san. Kami tahu bahwa sebagai murid Pat-jiu Lo-kai yang gagah perkasa, engkau merupakan lawan berat dan kalau kami menggunakan kekerasan, tentu terjadi pertandingan yang akan membawa akibat kematian banyak. Pula, kami tidak ingin menimbulkan kekacauan disini. Tidak ingin merugikan para tamu penginapan dan pemiliknya. Sudahlah, cepat kau menyerah atau terpaksa kami bunuh dua wanita ini sebelum menggunakan kekerasan terhadap dirimu.”

“Bu-koko, sikat saja mereka ini! Jangan perdulikan aku, aku tidak takut mati! Perlihatkan kepada tikus-tikus ini bahwa kita orang-orang gagah yang tidak takut mati. Kita bukan pemberontak, bukan pula penjilat kaisar, akan tetapi kalau mereka ini tetap menuduh yang bukan-bukan, lawan saja, aku yakin engkau pasti akan mampu membunuh tikus-tikus ini!” bentak Giok Lan sambil meronta-ronta, akan tetapi belenggu tangannya amat kuat sehingga ia tidak mampu membebaskan diri. Mendengar ucapan Giok Lan ini, timbul lagi semangat Kwan Bu dan sinar matanya sudah menjadi beringas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ibunya.

“Kwan Bu. engkau menyerah sajalah. Aku sendiri tidak takut mati, aku sudah tua dan hidup lebih banyak menderita bagiku. Akan tetapi tidak boleh kau mengorbankan nyawa nona Phoa. Biarlah, kalau memang engkau tidak berdosa, mengapa takut menghadapi pengadilan?” Mendengar ini, lemas lagi tubuh Kwan Bu. Kalau ia ingat betapa pedang-pedang itu akan membunuh ibunya dan Giok Lan, memang tidak boleh ia mempergunakan kekerasan. Ia mendengar bahwa Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar yang dipimpin oleh orang-orang berilmu yang tentu saja menjunjung tinggi keadilan. Ia tidak merasa bersalah, karena selama ini ia tidak mencampuri urusan perang antara mereka yang pro dan mereka yang anti kaisar. Biarlah pengadilan yang memutuskan bahwa dia memang tidak bersalah dalam peristiwa di Hek-kwi-san.

“Baiklah, aku menyerah, akan tetapi lebih dahulu aku hendak mengenal siapa engkau yang memimpin rombongan ini dan janjimu sebagai seorang gagah Bu-tong-pai bahwa setelah aku menyerah kalian tidak akan membunuh ibuku dan nona Phoa Giok Lan!” Kakek itu kelihatan lega. Dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda ini, maka kalau pemuda itu suka menyerah, akan lebih mudah pelaksanaan tugasnya.

“Aku adalah Lauw Tik Hiong yang berjuluk Hek I Him Hiap (Pendekar Pedang Baju Hitam) murid Bu- tong-pai. Sebagai seorang kang-ouw yang menjunjung nama besar perguruan kami, aku bersumpah bahwa kalau engkau menyerah, ibumu dan nona ini tidak akan kami bunuh!” Kwan Bu menarik napas lega. Nama dan julukan tokoh Bu-tong-pai itu kiranya merupakan jaminan yang cukup kuat, maka ia lalu mengulurkan kedua tangannya sambil berkata tenang.

“Nah, belenggulah aku dan bebaskan mereka!” Empat orang diantara mereka segera maju membawa sebuah belenggu besi yang amat kuat. Mereka menelikung lengan Kwan Bu ke belakang dan membalenggunya di bawah punggung.

Posting Komentar