Dendam Si Anak Haram Chapter 58

NIC

“Jangan lari......!” Namun terlambat, karena tadi terlalu kaget dan malu, Siok Lun tertegun dan setelah kini sadar kembali hendak menghalangi larinya Siang Hwi gadis itu telah menerobos keluar jendela. Ia hendak mengejar, akan tetapi pedang Liu Kang menghadangnya dan pemuda ini berkata marah.

“Phoa Siok Lun, engkau benar-benar seorang yang berwatak cabul dan kotor..!” Siok Lun kini sepenuhnya memperhatikan Liu Kong. Dia pun marah sekali. Marah dan kecewa, juga penasaran. Dua kali ia gagal memuaskan nafsunya pada gadis-gadis pilihannya. Yang pertama, si gadis baju hijau luput dari jangkauannya dan mati membunuh diri. Kalau pada waktu itu yang mencegahnya orang lain tentu turun tangan, akan tetapi pada waktu itu yang mengganggunya adalah Bi Hwa, maka ia hanya menyimpan rasa kecewa di hati, akan tetapi sekarang setelah hasil di depan mata kemudian muncul gangguan Liu Kong, kemarahannya meluap-luap dan ia memandang Liu Kang penuh kebencian.

“Kau sudah bosan hidup!” serunya dan cepat Siok Lun menyambar jubah luarnya yang tadi ia tanggalkan. Dengan hanya memakai pakaian dalam, Siok Lun menerjang Liu Kong dengan senjata istimewa ini. Liu King sudah menjadi nekat. Biarpun ia merupakan seorang pemuda yang memiliki cita-cita mengejar kedudukan tinggi, namun karena sejak kecil ia digembleng Bu Taihiap, dia sedkit banyak memiliki sikap gagah. Semenjak ia ikut para pengawal ia mendapatkan banyak kekecewaan. Guru atau pamannya terbunuh, para pengawal melakukan hal yang amat memuakkan perutnya, seperti merampok dan memperkosa wanita.

Kini, gadis yang amat dicintainya menjadi tawanan, dan hampir diperkosa oleh Siok Lun. Timbullah kegagahan dan kepekaannya, sehingga tanpa ragu-ragu lagi ia membebaskan Siang Hwi dan kini dengan pedang di tangan ia melawan mati-matian kepada Siok Lun. Namun, biar Siok Lun hanya bersenjatakan jubah, pemuda murid Pat-jiu Lo-koai ini benar-benar bukan tandingan Liu Kong yang jauh lebih lemah. Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu telah terbelit jubah dan sekali renggut, pedang telah dapat dirampas oleh Siok Lun. Kemudian, Siok Lun mengebutkan jubah dan pedang rampasannya menyambar dahsyat ke arah tuannya. Liu Kong terkejut, cepat ia mengelak sehingga pedangnya lewat di atas pundak dan menancap di dinding, akan tetapi dia tidak mengelak dari sambaran jubah yang di tangan Siok Lun berubah menjadi senjata yang ampuh.

“Pakkkl” Liu Kang tak dapat bergerak lagi karena ia sudah rebah terguling dengan kepala pecah! Siok Lun tidak memperdulikan Liu Kong yang sudah menjadi mayat, cepat tubuhnya mencelat melalui jendela hendak mengejar Siang Hwi.

Keadaan di situ menjadi geger karena orang-orang sudah mendengar suara ribut-ribut itu. Para pengawal memasuki pondok juga muncul para panglima, mereka terkejut melihat tawanan lolos dan Liu Kong tewas, beramai-ramai mereka inipun melakukan pengejaran secara ngawur. Di samping pondok, ketika sudah berhasil keluar melalui jendela, Siok Lun melihat dua orang pengawal yang menjaga di situ menggeletak, agaknya dirobohkan Siang Hwi yang tentu saja terlalu lihai bagi dua orang pengawal itu. Seorang pengawal sambil merintih-rintih menuding ke arah depan dan Siok Lun terus melakukan pengejaran dan ilmu larinya yang luar biasa. akan tetapi tiba-tiba munpul Bi Hwa di depannya, dengan pedang di tangan dan dengan sikap angker. “Suheng, mau apa kau lari-lari dengan pakaian setengah telanjang seperti ini?” pucat wajah Siok Lun, kemudian merah.

“Aku... aku mengejar... tawanan lolos... si keparat Liu Kang yang...”

“Cukup aku telah mengetahui segalanya, suheng. Tak perlu kau membohong kepadaku. Dasar engkau laki-laki yang mata keranjang!” Siok Lun tertegun. Memang tidak perlu menyangkal lagi kalau Bi Hwa sudah tahu semua.

“Sumoi... biarlah nanti kuminta ampun darimu. Sekarang lebih baik kita lekas mengejar tawanan.” “Untuk kau tangkap dan kau perkosa?” Bi Hwa mengejek.

“Tidak. Demi Tuhan... tidak! Hanya, dia tawanan penting tidak boleh lolos..?” Bi Hwa menggeleng kepala dan sementara itu, dari belakang sudah terdengar jejak kaki para panglima yang melakukan pengejaran.

“Biarkan dia lolos, suheng. Kalau dia tertawan, tentu dia akan membuka semua peristiwa yang terjadi. Kalau sudah begitu, bagaimana dengan cita-cita kita. Engkau telah membunuh Liu Kong, seorang perwira yang dipercaya..?” Siak Lun sadar dan menjadi bingung.

“Habis, bagaimana baiknya? Mereka sudah datang..?”

“Bodoh! Bilang saja kalau Liu Kong yang membebaskan Siang Hwi, dan kau terpaksa membunuhnya, kemudian kami melakukan pengejaran tanpa hasil.” Ingin Siok Lun memeluk dan mencium kekasihnya yang cerdik ini. akan tetapi Bi Hwa menggerakkan tangan dan “plakk!” pipi kanan Siak Lun telah ditamparnya. Pada saat itu, muncul Gin-san-kwi dan Kim I Lahan, sedangkan dari belakang mereka tampak bukan pengawal dengan obor di tangan.

“Apa yang terjadi? Liu-sicu tewas di kamar tahanan..?” Gin-san-kwi berkata, memandang penuh kecurigaan kepada Siok Lun yang telah memakai jubahnya kembali.

“Dia pengkhianat benar lociangkun!” kata Siok Lun, suaranya bernada marah, karena ia marah dan benci sekali kepada Liu Kong yang sudah menggagalkannya.

“Dia telah membebaskan tawanan, agaknya karena gadis itu memang piauw-moinya. Tentu dia sudah bersama-sama lari pula kalau kau tidak muncul setelah agak terlambat, aku terpaksa menghadapinya dan tawanan lolos, akan tetapi pengkhianat itu telah berhasil kubunuh.” Dengan suara yang sedikitpun tidak ragu-ragu Siok Lun menceritakan peristiwa yang dikarangnya sesuai dengan petunjuk Bi Hwa. Para panglima dan pengawal memaki-maki Liu Kong sebagai seorang pengkhianat.

“Tidak heran,” kata Kim I Lohan. “Sejak kecil ia menjadi murid Bu Keng Liong, tentu saja ia merasa berat melihat Bu Keng Liong tewas dan puterinya ditawan. Untung Phoa-sicu berhasil membunuhnya, memang dia sudah selayaknya mati, sungguhpun lebih baik lagi kalau ditangkap hidup-hidup untuk membuat pengakuannya.”

Demikianlah, dalam peristiwa kematian Liu Kong itu, Siok Lun malah dipuji-puji oleh para panglima dan rombongan itu dilanjutkan pada keesokan harinya menuju kata raja tanpa tawanannya yang sudah melarikan diri dan biarpun sampai pagi para pengawal melakukan pengejaran, namun hasilnya sia-sia. Siang Hwi telah lenyap seperti ditelan bumi dan hal ini memang tidak aneh karena daerah itu merupakan daerah yang luas penuh dengan hutan dan pegunungan, sedangkan gadis itu melarikan diri di waktu malam yang amat gelap. Bi Hwa sekali ini benar-benar marah kepada Siok Lun. Di dalam perjalanan ke kota raja, gadis ini menjadi pendiam sekali dan ketika Siok Lun berusaha membujuk dan mengambil hatinya. Bi Hwa hanya menjawab singkat.

“Kita ke kota raja membereskan tentang kedudukan kita. Kemudian kita harus pergi ke orang tuamu dan kita langsungkan pernikahan, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu. Kau memnuhi permintaanku ini atau kita pisah sekarang dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai musuhku!” Siok Lun mati kutunya. Dia sebetulnya mencinta sumoinya ini. Bukan hanya cinta nafsu, melainkan betul-betul ingin menjadi suami sumoinya ini. Maka ia hanya mengangguk-angguk dan tidak berani membantah.

Mereka duduk beristirahat di bawah pohon di pinggir sebuah hutan. Matahari bersinar terik sekali sehingga mereka berteduh di bawah pohon dan menghapus peluh yang mengucur deras.

“Twako, kenapa engkau murung dan termenung saja sejak kita pergi dari Hek-kwi-san beberapa hari yang lalu?” Mendengar pertanyaan ini, Kwan Bu hanya menghela napas dan menggeleng kepala.

“Twako, apakah kau marah kepadaku?” Kwan Bu menoleh memandang wajah gadis itu, lalu menggeleng kepala dan menjawab lesu,

“Tidak, mengapa harus marah kepadamu?”

“Aku telah mempermainkanmu! Namaku sebenarnya adalah Phoa Giok Lan, dan aku mengaku pria kepadamu, akan tetapi aku tidak tahu bahwa engkau adalah sute dari kakakku, aku seperti mempermainkanmu selama ini, twako. Maukah kau memaafkan aku?” suara Giok Lan terdengar manja. Kwan Bu tersenyum, senyum yang duka.

“Aku tidak marah kepadamu, Lan-moi dan tidak perlu memaafkan, aku sudah tahu bahwa engkau adalah seorang wanita..?

“Heee…? Bagaimana bisa tahu dan sejak kapan?” Giok Lan bertanya heran dan tak disadarinya ia memegang lengan Kwan Bu. Hal seperti ini memang sering dia lakukan ketika dia masih menjadi “pemuda” akan tetapi kini bagi Kwan Bu terasa janggal dan membuatnya kikuk dan malu.

“Sejak di kuil Ban-Iok-tang ketika kita menyerbu tempat Tong Kak Hosiang, Cheng l Lihiap menyebutmu cici.”

“Ah, kau nakal, twako, Kenapa tidak bilang terus terang bahwa kau telah mengetahui penyamaranku?” Kwan Bu tersenyum lagi. Kedukaannya berkurang kalau ia bercakap-cakap dengan gadis lincah ini, yang sekarang telah mencubit lengannya.

“Aku tidak ingin menyinggungmu, Lan-moi.”

“Ah, engkau memang seorang gagah yang amat baik hati. twako.” “Engkaulah yang baik budi, sudi membantuku mencari musuhku “Kalau kau tidak marah kepadaku, kenapa murung?” “Banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hati, Lan-moi.” “Yang terjadi di Hek-kwi-san?” Kwan Bu mengangguk.

“Kematian majikanmu Bu Keng Liong itu?” Kwan Bu menarik napas panjang.

“Sungguh sayang sekali seorang pendekar yang berjiwa besar, aku mengenal betul wataknya, seorang taihiap yang patut dikagumi. Sayang, dia tewas sebagai seorang pemberontak, dan bersekutu dengan perampok...” Ia kembali menghela napas. “Kematiannya merupakan salah satu diantara hal-hal yang tidak menyenangkan hatiku.”

“Hemm...... kalau begitu tentu karena gadis galak itu? Puteri Bu Keng Liong yang bernama... ah, siapa lagi namanya?”

“Siang Hwi, Bu Siang Hwi.”

“Ya, betul. Tentu karena dia bukan? Dia amat mencintaimu twako.” Kwan Bu memandang wajah gadis itu dengan mata terbelalak.

“Apa? ah, jangan main-main, Lan-moi. Dia... dia membenciku, seringkali memaki-makiku, memandang rendah kepadaku!” Biarpun mulutnya berkata demikian namun di dalam hatinya Kwan Bu membayangkan kembali betapa mesra ketika ia mencium gadis yang pernah menjadi nona majikannya itu, dan jantungnya berdebar keras Siang Hwi mencintainya? Tak mungkin! Ketika dicium gadis itu seolah-olah tidak hanya menyerah, bahkan terasa di hatinya gadis itu membalasnya, akan tetapi gadis itu menyangkal bahkan menjatuhkan fitnah atas dirinya. Mengingat itu semua, kemarahannya timbul dan wajahnya muram kembali.

“Memang begitu pada lahirnya, akan tetapi pandang matanya kepadamu, dan...... dan. dia

Posting Komentar