Dendam Si Anak Haram Chapter 57

NIC

“Ha-ha-ha! hayo lawan terus, nona manis. Dan kaupun boleh berteriak kalau berani. Berteriaklah agar banyak pengawal datang dan melihat engkau menjadi permainanku!” Cheng I Lihiap menggigit bibirnya. Ia merendah dan malu sekali, juga penasaraan. Ia tahu bahwa kalau ia menjerit ia hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan, maka ia menjadi nekat dan menerjang lagi. Namun mudah saja pukulannya ditangkis oleh Siok Lun yang kembali mencengkeram sehingga terdengar kain robek dan baju luarnya menjadi compang-camping tidak karuan. Ia makin nekat, terus menubruk lagi, sekali ini ia melakukan tendangan kilat ke arah bawah pusar lawan.

“Wah-wah, galaknya!” Siok Lun mengejek, menangkap kaki yang menendang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menjambret ke depan.

“Brettt......!!”“ Sekali ini sebelah sepatu dan celananya terobek sehingga Cheng l Lihiap menjadi setengah telanjang. Melihat betis kiri yang padat dan berbentuk indah berkulit putih bersih, Siok Lun menjadi makin beringas. Ia terkekeh-kekeh dan menangkap gadis itu, dilemparkannya ke atas pembaringan di mana Cheng l Lihiap terbanting terlentang, Sebelum gadis ini cepat meloncat turun, Siok Lun sudah menerkamnya. Ia memapaki dengan pukulan keras ke arah kepala pemuda itu namun lagi-lagi tangannya dapat ditangkap. Tedengar suara kain robek berkali-kali dan kini baju dalam berwarna merah muda itupun sudah compang-camping.

“Aihhhh......!” Cheng I Lihiap mengeluh dan berusaha menutupi dadanya yang telanjang dengan kedua tangan, Siok Lun makin beringas dan buas, ketika tangannya menyengkeram, kini bagian atas celana Cheng I Lihiap hancur dan robek-robek! Cheng I Lihiap merintih dan matanya terbelalak penuh kengerian. Ia terisak saking marah dan takutnya, kemudian karena ia maklum bahwa tak mungkin ia melawan laki-laki yang sudah seperti binatang buas ini, ia berlaku nekat da melakukan gerakan meloncat, membenturkan kepalanya sendiri ke dinding kamar untuk membunuh diri!

“Eh-eh...... jangan begitu, manis!” Siok Lun cepat menyambar tubuh itu, mencegah si gadis membunuh diri, merangkul dan menciuminya. Cheng I Lihiap kembali meronta dan menyerang, akan tetapi kini Siok Lun sudah menangkap kedua tangannya dengan satu tangan saja. Betapapun gadis itu meronta dia tidak mampu melepaskan kedua tangan yang pergelangannya sudah dicengkeram tangan kiri Siok Lun. Sambil tertawa-tawa dan menciumi seluruh tubuh gadis itu, Siok Lun menggunakan tangan kanannya untuk membelai-belai secara kurang ajar, kemudian mulai menggerayangi pakaiannya sendiri untuk ditanggalkan. Cheng I Lihiap meronta-ronta, menggeliat- geliat sambil mengeluarkan suara merintih-rintih dan terisak-isak, namun hal ini agaknya menambah gembira hati Siok Lun yang tiada hentinya menciumi penuh nafsu yang buas.

“Aahhhh, jangan...... jangan...... bunuh saja aku......” Gadis itu merintih-rintih dan meminta-minta dengan suara mengandung isak tertahan.

“Membunuhmu? Aha, sayang sekali..... kau begini manis, begini montok, begini menggairahkan. !”

Pada saat itu, daun pintu pondok itu di dorong orang dari luar dan terdengar seruan.

“Suheng !!” Siok Lun terkejut sekali, seperti disambar petir rasanya. Ia cepat melepaskan Cheng

l Lihiap dan membalikkan tubuh. Dengan kancing bajunya sudah terlepas semua ia berdiri memandang Bi Hwa yang telah berada di ambang pintu dengan muka marah dan mata menyinarkan api. “Prokkkt!” Siok Lun tekejul bukan main dan cepat membalikkan tubuh. Ia tertegun memandang tubuh setengah telanjang yang menggairahkan itu di atas pembaringan, mukanya mandi darah yang muncrat keluar dari kepalanya yang retak-retak. Ternyata Cheng l Lihiap mempergunakan kesempatan itu untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding sampai pecah. Gadis pendekar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw itu tewas dalam keadaan mengenaskan, akan tetapi ia terbebas daripada perkosaan yang pasti akan terjadi menimpa dirinya kalau saja tidak muncul Bi Hwa. Ketika seorang gadis perkasa muncul dan menyebut suheng kepada Siok Lun, Cheng l Lihiap habis harapannya dan membunuh diri. Siok Lun menghela napas panjang, hatinya kecewa sekali.

“Dia sudah membunuh diri, tak perlu aku membunuhnya,” katanya.

“Suheng! Apa yang kau lakukan? Siapa dia?” Bi Hwa bertanya dengan suara marah. Siok Lun membalikkan tubuh dan tersenyum.

“Sumoi. jangan salah faham. Dia ini mata-mata musuh, tadi mengintai dan memasuki kamar bermaksud membunuhku. Akan tetapi untung aku belum tidur dan berhasil mengalahkannya. Dia cukup lihai dan galak..?

“Hemm, kalau bertanding biasa, masa pakaiannya sampai robek-robek semua seperti itu? Suheng. kau...... kau masih juga belum berubah! Kau mengecewakan hatiku..?” Bi Hwa lalu menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Siok Lun cepat maju mendekati, lalu memegang kedua pundak sumoinya. juga kekasihnya itu.

“Sumoi, jangan salah mengerti. Dia...... dia itu selain lihai juga galak dan sombong. aku... aku hanya ingin merobek-robek pakaiannya sebelum membunuhnya untuk membalas kesombongannya !”

“Siapa tidak tahu watakmu? Cih, muak aku melihatmu! Suheng, kau benar-benar menyakiti hatiku..?” Siok Lun lalu berlutut di depan kaki sumoinya. memeluk kedua kaki itu.

“Sumoi, kalau begitu maafkanlah aku. sumoi... aku takkan melakukan hal itu Iagi...... maafkan aku..?” Bi Hwa memang sudah menyerahkan hati dan tubuhnya kepada suhengnya ini. Melihat suhengnya berlutut dan minta maaf, kemarahannya mereda dan ia lalu berkata perlahan.

“Sudahlah, lebih baik kita cepat membereskan pakaian mayat itu agar tidak menjadikan bahan percakapan dan tertawaan para pengawal.” Lega hati Siok Lun dan ia membiarkan Bi Hwa membereskan, bahkan mengganti pakaian Cheng I Lihiap sehingga gadis itu tewas dalam keadaan pakaian masih utuh. Kemudian para panglima diberitahu bahwa wanita yang tewas itu adalah mata- mata musuh yang berhasil menyelinap masuk akan tetapi tewas oleh pukulan Siok Lun!

Semenjak peristiwa itu, Siok Lun selalu membujuk-bujuk sumoinya untuk sudi melayaninya. Namun Bi Hwa selalu menolak dengan halus dan biarpun di luarnya Bi Hwa tidak kelihatan marah lagi, namun di dalam hatinya, gadis ini merasa tersiksa dan menyesal mengapa dia telah menyerahkan cinta kasihnya, menyerahkan tubuhnya kepada pemuda yang biarpun tampan dan gagah, namun amatlah mata keranjang dan cabul itu. Bibit kebencian bersemi di dalam hatinya, namun ditahan- tahannya dengan hiburan kalau kelak sudah menjadi suaminya, tentu akan berubah watak yang kurang baik dari Siok Lun. Namun, benarkah dugaanya ini? Sukar untuk membenarkan karena watak Siok Lun ini sudah menjadi hamba nafsunya sendiri.

Sekarang yang sudah menghambakan diri kepada nafsu, dalam keadaan apapun juga, dan di manapun ia berada, nafsunya selalu mengajarnya, selalu mengusik dan mengganggunya, menuntut pemuasan. Setelah gagal mendaptakan diri Cheng I Lihiap dan sumoinya bahkan selalu menolak ajakannya bermain cinta, Siok Lun menjadi gelisah selalu. Apalagi di waktu malam. Ia segan untuk mencari perempuan dusun, karena mana mungkin perempuan-perempuan dusun disamakan dengan Cheng l Lihiap dan sumoinya? karena dorongan nafsunya tak dapat tertahankan lagi, mulailah ia mengincar Siang Hwi! Kalau saja ia dapat membujuk Siang Hwi. Dengan janji membebaskan gadis tawanan yang cantik itu! Harus ia akui bahwa biarpun dalam ilmu silat, Siang Hwi tidak selihai Cheng l Lihiap apalagi sumoinya,

Namun Siang Hwi memiliki kecantikan yang khas, memiliki semangat yang menyala-nyala. Di dalam tubuh gadis tawanan terdapat api panas yang membuat nafsu berahinya makin berkobar jika ia memikirkannya. Biarlah kutebus tubuhnya dengan pembebasan, pikirnya. atau kalau menolak lalu kupaksa siapa yang tahu? Kalau ia sudah berhasil memiliki gadis itu, tentu Siang Hwi pun tidak ada muka untuk menceritakan kepada orang lain. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam mereka tiba di kata Kam-suk-bun yang berada di sebelah kota raja. Malam itu merupakan malam terakhir yang merupakan kesempatan terakhir pula bagi Siok Lun untuk memusnahkan nafsunya yang sudah berkobar-kobar, rasa rindunya untuk memiliki tubuh gadis tawanan yang makin dikenang makin merindukan hatinya itu.

Selama dalam perjalanan, sungguhpun berkat pengawasan Liu Kong yang penuh perhatian keadaan Siang Hwi cukup baik dan terjamin, namun gadis itu selalu dibujuk-bujuk dan diancam untuk menceritakan keadaan teman-teman pemberontak yang lain. Namun semua pertanyaan tidak diperdulikan oleh Siang Hwi dan tidak dijawabnya kaena bagaimana dia harus menjawabnya? Dia dan ayahnya terseret ke dalam pasukan pemberontak setelah mereka berdua dibebaskan dari tawanan oleh kaum pejuang. orang dia kenal hanyalah mereka yang berkumpul di Hek-kwi-san dan kini tokoh-tokoh pejuang itu telah terbasmi habis. Dia tidak tahu lagi dimana adanya pejuang- pejuang yang lain, yang tentu saja masih banyak sekali. Siang Hwi hanya mempunyai satu harapan, yaitu kalau dia berhasil meloloskan diri, ia akan menghubungi kaum pejuang itu,

Dan terutama sekali dia akan melakukan balas dendam atas kematian ayahnya. Dia tahu bahwa pembunuh ayahnya adalah Siok Lun dan Bi Hwa, dua orang musuh yang tak mudah dikalahkan akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dia akan berusaha. mencari bantuan diantara para pejuang yang ia tahu banyak terdapat orang-orang pandai. Kalau toh tidak ada yang akan membantunya, dia akan mencari dua orang musuh besar itu dan mengadu nyawa, membunuh atau dibunuh. Kalau saja Kwan Bu... ah, dia tidak mau mengenang lagi pemuda itu. Dia akan menghubungi suhengnya, Kwee Cin, yang tentu akan dapat membantunya. apalagi Kwan Bu adalah sute dari musuh-musuhnya, jadi termasuk musuhnya juga. Entah mengapa, kalau mengingat tentang hal itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran.

Malam itu gelap sekali. Tidak ada bulan di langit hanya bintang-bintang yang suram karena terhalang mendung. Kebetulan sekali, penjagaan ketat siang dan malam dilakukan atas diri gadis tawanan itu, jatuh pada giliran Siok Lun dan beberapa orang pengawal. Kesempatan ini tidak akan disia-siakan oleh Siok Lun. Nafsunya telah menggerogoti hatinya, membuat ia gelap mata. Bukan keadaan luar yang melahirkan perbuatan maksiat melainkan tergantung daripada keadaan batin seseorang. Kalau batin orang itu kuat, biarpun ia menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga, ia tetap akan teguh dan tidak tergoda. Sebaliknya. biarpun berada di tempat sunyi tidak ada kesempatan melakukan maksiat, kalau memang batinnya sudah kotor dia akan selalu membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu-nafsunya.

Inilah sebabnya mengapa sebelum orang berbuat benar dan berbicara benar, harus lebih dahulu berpikir benar. Dengan pikiran kotor, maka ucapan dan perbuatan-perbuatan yang bersih sekalipun hanya merupakan kedok belaka. Dengan pikiran yang benar dan bersih, tidak akan mungkin terlahir ucapan dan perbuatan yang jahat dan kotor. Di sinilah letak kebenaran pengajaran yang mengharuskan setiap orang manusia setiap hari membaharui dan membersihkan pikirannya dari pada hal-hal yang kotor dan jahat. Harus dapat memerangi dan menundukkan nafsu-nafsu yang mengotori pikiran sendiri. Karena kalau tidak, pikiran akan dikotori nafsu kemauan akan diperbudak oleh nafsu sehingga setiap ucapan dan perbuatan selalu didorong oleh pemuasan nafsu-nafsunya sendiri belaka.

“Perkuat penjagaan diluar.” Kata Siok Lun kepada sepuluh orang pengawal yang malam itu bertugas menjaga tawanan. Kita sudah berada dekat kota raja, tentu para peberontak akan bergerak malam ini kalau mereka hendak menolong tawanan. Juga di bawah dan di atas. Keamanan di dalam tak usah khawatir aku sendiri yang akan menjaganya dan kalian tak perlu masuk karena dalam kesempatan ini aku akan membujuk si tawanan untuk mengaku.” Tentu saja para pengawal mentaati perintah ini karena mereka sudah perpaya penuh akan kelihaian pemuda itu. Mereka tahu pula bahwa jasa pemuda ini bersama sumoinya amat besar ketika dilakukan penyerbuan yang sukses di Hek-kwi-san. Maka sepuluh orang pengawal itu lalu menjaga di luar pondok yang seperti biasa diambilkan pondok penduduk kota itu dan dijadikan tempat tahanan Siang Hwi.

Delapan orang menjaga di empat penjuru, masing-masing dua-dua orang, dan di genteng menjaga pula dua orang. Adapun Siok Lun sendiri menjaga di dalam. Dapat dibayangkan betapa girang hati pemuda ini karena kesempatan yang dinanti-nantikan telah tiba. Dia berada berdua saja di dalam pondok itu bersama Siang Hwi yang ia rindukan. Lewat tengah malam, ketika Siang Hwi tidur pulas di atas pembaringan di dalam kamar tahanan di pondok itu, gadis ini terkejut dan tiba-tiba terjaga dari tidurnya, sambil menjerit dan melompat. akan tetapi.btidak ada suara yang keluar dari mulutya karena tangan Siok Lun sudah mendekap mulutnya dan menjajakan sehelai saputangan sehingga Siang Hwi merasa seperti tercekik.

Pinggangnya dipeluk sehingga ia tidak mampu melompat. Melihat bahwa yang melakukan hal ini adalah Siok Lun. Siang Hwi marah bukan main. Kedua tangannya lalu ia gunakan untuk memukul, akan tetapi cepat Siok Lun menotoknya, membuat Siang Hwi rebah kembali di atas pembaringan dengan lemas. Ia hanya dapat membelalakan mata ketika pemuda itu mengikat keempat kaki tangannya dengan robekan kain dalam pembaringan, kemudian baru membebaskan totokan sambil menyeringai. Siang Hwi rebah terlentang di atas pembaringan. Kaki tangannya meronta-ronta, tubuhnya menggeliat-geliat namun ia tidak dapat melepaskan ikatan kedua tangan dan kedua kakinya. Betapapun ia mengguncang-guncang kepalanya, ia tidak dapat membuka sapu tangan yang menyumpal mulutnya sehingga ia tidak dapat berteriak.

Gadis ini makin lama makin terbelalak matanya, memandang penuh kengerian ketika melihat betapa Siok Lun melepaskan pakaian luarnya. Siang Hwi meronta-ronta lagi sekuatnya ketika jari-jari tangan Siok Lun meraba-raba dengan kasar menanggalkan pakaiannya sambil terkekeh-kekeh penuh kegembiraan. hidungnya mendengus-dengus karena nafsu menyesak di dada. air mata bercucuran dari kedua mata gadis itu. Malapetaka hebat membayang di depan matanya dan ia takkan mungkin dapat tertolong lagi. Ia akan mengalami perkosaan, penghinaan yang paling berat, lebih hebat daripada kematian. Wajahnya pucat sekali dan saking ngerinya ia hampir pingsan. Dendam kematian ayahnya belum dapat ia balas dan kini dia mengalami penghinaan yang tiada taranya. akan tetapi tak mungkin ia mohon untuk dibunuh, tidak mungkin pula membunuh diri, apa lagi melawan.

“Phoa Siok Lun, apa yang hendak kau lakukan itu?” Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Siok Lun terkejut dan meloncat turun dari pembaringan. Liu Kong, yang datang membentak itu, membawa pedang di tangan kanan, dan melihat keadaan Siang Hwi telanjang bulat dan teriak-teriak di atas pembaringan, dia cepat melompat dekat. Pedangnya berkelebat dan gadis itu terbebas daripada ikatan kaki tangannya. Siang Hwi cepat membuang saputangan yang menyumbat mulutnya, kemudian menyambar pakaiannya yang tadi ditanggalkan oleh tangan Siok Lun, dipakainya cepat- cepat.

“Sumoi, kau larilah!” bisik Liu Kong dengan suara menggetar. Siang Hwi yang baru saja terbebas dari malapetaka mengerikan, tidak menjawab, hanya melompat ke jendela. Siok Lun bergerak dan berkata,

Posting Komentar