Dendam Si Anak Haram Chapter 55

NIC

“Kamipun sudah bersiap-siap untuk kembali ke kota raja,” kata pula Gin-san-kwi , “Liu-sicu dan Phoa- sicu sedang sibuk mengatur pasukan, hanya minta disampaikan salam nya kepada Bhe-sicu.” Siang Hwi menyapu mereka semua dengan pedang matanya, berhenti sejenak pada wajah Giok Lan dengan pandang mata penuh kebencian, kemudian memandang wajah Kwan Bu dengan penuh duka. Naik sedu-sedan dari dadanya, kemudian ia memutar tubuh dan tanpa mengeluarkan kata- kata apapun ia lalu lari pergi dari tempat itu, menuju ke selatan. Kwan Bu menghela napas setelah mengikuti bayangan gadis itu sampai lenyap dari pandang matanya. Ia merasa ada tangan menyentuh lengannya dan menoleh ke arah Giok Lan. Wajah gadis ini tidak kelihatan tampan seperti biasa, melainkan tampak cantik jelita, tersenyum manis kepadanya.

“Mari kita pergi..?” katanya, hatinya diliputi kedukaan setelah menjura kepada para panglima, ia berkata kepada Bi Hwa.

“Suci, sampaikan salamku kepada suheng. Sampai jumpa pula.”

“Baik, sute. Kami akan segera menyusulmu ke Kam-sin-hiu setelah selesai urusan kami di kota raja.” Berangkatlah Kwan Bu bersama Giok Lan, menuggang dua ekor kuda yang disediakan oleh para panglima, menuju ke barat untuk menjemput ibunya yang masih ia titipkan di kuil Kwan-im-bio di luar kota Kwi-cun.

Siang Hwi masih menangis sesenggukan ketika ia lari meninggalkan Hek-kwi-san. Malam telah berganti pagi dan sebetulnya pemandangan di sepanjang jalan amatlah indahnya. Sinar matahari pagi mengusir kegelapan malam dan kicau burung-burung di pepohonan menimbulkan suasana yang cerah. Namun hati Siang Hwi amat gelap, perasaan yang mengaduk-ngaduk batinnya hanyalah perasaan yang amat tidak enak. Ia berduka kehilangan ayahnya, penasaran karena tidak dapat membalas kematian ayahnya. Ia marah kepada Liu Kong saudara misannya juga saudara seperguruan yang telah mengkhianati ayahnya. Ia benci kepada gadis berpakaian pria yang menjadi sahabat Kwan Bu, dan ia lebih benci lagi kepada Kwan Bu! Hatinya duka, penasaran, marah, dan iri! Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang disusul suara teguran halus penuh ejekan,

“Nona manis hendak lari ke mana?” Siang Hwi mengangkat muka dan melihat bahwa yang menghadang di depannya yaitu Liu Kong dan Siok Lun, pemuda tampan yang lihai sekali yang ia tahu telah membunuh ayahnya!

“keparat jahanam! Mau apa kau?” bentaknya penuh kebencian. Ia maklum bahwa terhadap musuhnya ini ia tidak akan dapat menang, akan tetapi ia sudah bertekad untuk membalas dendam.

“Hwi-moi, kau ikutlah bersama kami. Karena kau berada di antara pemberontak, terpaksa sekali kami harus mengajakmu ke kota raja. Jangan kau khawatir, moi-moi aku akan melindungimu dan akan membelamu sehingga kau hanya akan dijadikan saksi, aku yang akan mengusahakan agar kau diampuni dan kelak kau dibebaskan, atau setidaknya hanya diberi hukuman ringan.”

“Manusia tak kenal budi, manusia berhati busuk, pengkhianat! Siapa sudi mendengarkan omongan busukmu? Kau sudah berjanji membebaskan aku. sekarang kembali hendak melanggar janji! Setelah mempunyai semua kebusukan itu, kini ditambah lagi dengan manusia yang tak kenal janji? Alangkah busuk dan rendahnya kamu ini, Liu Kong!” Wajah Liu Kong menjadi merah sekali dan jantungnya seperti ditusuk rasanya. Ia mencinta sumoinya ini, akan tetapi keadaan memaksanya menjadi musuh.

“Aku bermaksud baik terhadapmu, moi-moi. Percayalah, kalau tidak ada aku yang melindungimu, tentu engkaupun sudah tewas semalam. !”

“Cerewet! Siapa butuh perlindunganmu? Lebih baik mati bersama ayah daripada tertolong oleh seorang hina macam kamu!”

“Ha-ha-ha, nona manis yang galak! Makin galak makin manis menarik hati. Lociangkun, perlu apa banyak berbantahan? Lociangkun tidak akan menang berbantahan dengan seorang gadis manis yang galak! Biarlah kutangkap dia!”

“Sratttt! Siang Hwi sudah mencabut pedangnya dan menghadapi Siok Lun dengan pandang mata berapi. “Binatang! Engkau dan sumoimu telah membunuh ayahku. Memang aku hendak mengadu nyawa denganmu!” setelah berkata demikian, Siang Hwi menerjang dengan dahsyat.

Kemarahannya memuncak, membuat gerakan pedangnya menjadi ganas sekali dan nekat. Dia seolah-olah tidak memperdulikan gerak bertahan lagi, melainkan mencurahkan seluruh kepedihan, tenaga dan kecepatannya untuk menyerang dan membunuh musuh besarnya ini. Andaikata yang melawannya adalah orang yang setingkat kepandaiannya, misalnya Liu Kong, tentu akan kewalahan menghadapi kenekatan gadis ini. Akan tetapi yang ia hadapi adalah Siok Lun. murid Pat-jiu Lo-koai. Jangankan dia, biar ayahnya yang menjadi gurunya sendiri, mendiang Bu Keng Liong, masih kalah jauh terhadap pemuda ini. Dengan senyum mengejek dan pandang mata ceriwis Siok Lun melayani Siang Hwi dengan tangan kosong. “Singgg!” pedang itu ditusukan oleh Siang Hwi penuh kekejaman ke arah dada Siok Lun setelah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang tanpa hasil, selalu dapat dielakkan oleh Siok Lun sambil tertawa- tawa.

Kini menghadapi tusukan ini, Siok Lun hanya miringkan tubuhnya sehingga pedang itu menyambar lewat di dekat dadanya, kemudian tiba-tiba lengannya yang dikembangkan mengempit pedangnya, namun tidak berhasil dan tiba-tiba ia menjerit marah ketika tangan Siok Lun sudah mencengkeram dadanya! Siang Hwi mengangkat tangan kirinya menghantam muka Siok Lun, namun sebelah tangan Siok Lun sudah menangkap pergelangan tangan itu sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi! Tangan kiri Siok Lun masih mencengkeram dada sambil ketiaknya mengempit pedang, tangan kanan menangkap pergelangan tangan kiri Siang Hwi, kemudian pemuda ceriwis ini mendekatkan muka dengan mulut diruncingkan hendak mencium! Siang Hwi marah dan bingung, membuang muka dan pada saat itu Liu Kong membentak.

“Phoa-taihiap, ingat dia itu piauw-moiku, harap lepaskan dia!” Bentakan ini membebaskan Siang Hwi. Tidak jadi tercium, akan tetapi sambil tertawa Siok Lun menggerakkan tangannya dan sebuah totokan mengenai jalan darah thian-hu-hiat membuat Siang Hwi roboh dengan tubuh lemas. Liu Kong segera menangkap tubuh piauw-moinya itu lalu dipanggulnya.

“Ha-ha, maafkan aku Liu-ciangkun. Aku hampir lupa melihat gadis manis yang galak ini,” Siok Lun tertawa-tawa dan secara kurang ajar sekali ia membawa tangan yang mencengkeram dada tadi ke depan hidungnya dan memuji.

“Hemm harum l”

“Sudahlah, harap taihiap jangan main-main. Mari kita membawanya kembali ke pasukan.” Kata Liu Kong yang tak berdaya karena dia tak berani marah kepada laki-laki yang kurang ajar namun amat lihai itu.

Mereka berdua segera lari kembali ke pasukan yang menanti mereka. Memang semua ini telah diatur oleh Siok Lun, yaitu di depan Kwan Bu sengaja memberi janji agar sutenya itu tidak menimbulkan banyak keributan. Bukannya dia jerih terhadap Kwan Bu, hanya tidak ingin memusuhi sutenya itu. apalagi karena para panglima termasuk Liu Kong juga setuju kalau dapat menarik Kwan Bu menjadi sekutu mereka, yang berarti bertambahnya tenaga yang lihai. Para panglima memuji- muji Liu Kong dan Siok Lun dan para pasukan itu segera diberangkatkan meninggalkan Hek-kwi-san untuk kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan mereka masih melakukan “pembersihan- pembersihan” di dusun pegunungan yang mereka lalui dan tentu saja,

Seperti lazimnya dalam “operasi pembersihan” seperti itu, para anggauta pasukan mempergunakan kesempatan untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri, misalnya menyambar benda-benda berharga yang kecil dan yang mudah mereka pindahkan ke kantung baju sendiri, mengganggu wanita-wanita cantik yang mereka dapatkan di rumah-rumah yang dijadikan sasaran “penggeledahan.” Pada suatu malam, pasukan ini berhenti di sebuah dusun setelah sehari penuh mengadakan pembersihan sampai ke dusun itu. Dalam operasi pembersihan ini, Siok Lun terpaksa memenuhi permintaan sumoinya. juga kekasihnya, untuk membasmi habis para perampok yang memang dijadikan musuh besar Bi Hwa, yang mendendam kepada semua perampok karena keluarganya habis dibasmi perampok.

Siang Hwi menjadi tawanan, selalu dijaga keras, bahkan tak pernah terlepas dari pengawasan para panglima secara bergiliran. Namun karena di situ ada Liu Kong, gadis ini diperlakukan dengan cukup baik dan terjamin. Malam hari itu, seperti biasa, Siang Hwi dikeram ke dalam kamar sebuah rumah untuk sementara diduduki oleh para pasukan. Malam yang sunyi. Para penduduk yang ketakutan karena di manapun pasukan itu tiba selalu terjadi hal-hal mengerikan, siang-siang dalam rumah setelah mereka memenuhi sebuah perintah lurah setempat untuk menyediakan segala keperluan pasukan. Hanya rumah lurah saja yang nampak sibuk karena tentu saja pembesar tempat ini seperti biasa menyambut para panglima dengan segala kehormatan.

Phoa Siok Lun menjadi kesal hatinya. Sumoinya memang benar membalas cinta kasihnya, akan tetapi pemuda yang selalu dikejar nafsunya sendiri ini menjadi gelisah karena sumoinya bukanlah seorang wanita yang selalu suka melayaninya bermain cinta. Sebagai seorang pemuda hidung belang, penyakit lamanya kambuh kembali dan ia menjadi kesal. Sebetulnya ia amat tertarik kepada Siang Hwi, dan kalau saja di sana tidak ada Liu Kong, tentu gadis itu sudah menjadi korban nafsunya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Liu Kong karena hal itu akan menghambat cita-citanya mendapatkan kedudukan di istana, maka ia menahan dirinya seringkali mengutuk pemuda itu. Setelah semua orang tidur dan keadaan sunyi, Siok Lun yang tidak betah tinggal di dalam kamarnya, lalu keluar dan bermaksud untuk mencari korban nafsunya di dalam dusun itu.

Dengan kepandaiannya yang amat tinggi, ia dapat keluar dari kamarnya tanpa menimbulkan suara dan sebagai seekor kucing, ia menyelinap di dalam gelap, lalu meloncat ke atas genting-genting rumah penduduk dusun. Akan tetapi tiba-tiba Siok Lun mendekam di wuwungan dan matanya memandang tajam ke depan. Ia melihat sesosok bayangan yang ringan dan lincah gerakannya berkelebat di atas wuwungan depan, hatinya berdebar. Ah, untung dia keluar dari kamarnya karena kalau tidak, tentu bayangan itu berhasil datang di tempat itu tanpa diketahui para pengawal yang menjaga. Orang yang memiliki gerakan selincah itu ternyata terlalu pandai bagi para pengawal yang menjaga, sedangkan yang berilmu sedang tidur dan beristirahat melepas lelah. Bayangan itu kini datang dekat. Malam itu bulan sepotong menyinari bumi dan kebetulan sekali bayangan itu berdiri dengan muka menghadap bulan. .Jantung Siok Lun berdebar makin tegang.

Dari tubuh orang itu ia tadi sudah menduga bahwa bayangan ini tentu seorang wanita, karena terlalu ramping untuk seorang pria, Ketika ia dapat melihat wajahnya, ia girang bukan main, Wajah seorang wanita yang masih muda, seorang gadis yang cantik manis sekali, dengan pakaian serba hijau yang ketat, mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan, tubuh seorang wanita muda yang sedang dirindukannya! Seorang gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian lumayan! Bagus sekali, pikirnya, dan Siok Lun hampir saja bergelak tertawa. Selagi ia merindukan Siang Hwi, kini Thian mengirimkan pengganti Siang Hwi kepadanya! Siok Lun amat cerdik. Dia dapat menduga ketika melihat wanita itu mulai mengintai ke bawah bahwa wanita ini tentulah seorang anggauta pemberontak atau setidaknya mata-mata pemberontak yang mungkin datang untuk menolong Siang Hwi.

Kalau ia membiarkan wanita itu turun tentu akan diketahui para panglima dan sekali wanita terjatuh ke tangan para panglima dan dijadikan tawanan kalau tidak mati, sukurlah baginya untuk mendapatkan gadis ini. Kalau dia serang kemudian wanita itu melawannya, tentu menimbulkan keributan dan semua orang akan terbangun, dengan demikian ia akan terganggu dan gagal pula gadis idam-idaman hatinya. Berpikir demikian, Siok Lun lalu merenggut lepas sebuah kancing bajunya dan menyambitnya ke arah bayangan wanita yang sedang mengintai. Wanita itu mendengar bersiutnya angin, cepat mengulur tangan menyambar benda yang menyerangnya. Ia mengeluarkan suara kaget, agaknya ia menjadi kaget karena tangannya yang menerima benda itu terasa panas dan nyeri, tanda bahwa sipenyambit bertenaga besar, apalagi setelah ia mendapat kenyataan bahwa benda itu hanya sebuah kancing.

Posting Komentar