"Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati."
"Kau.. kau.. Manusia atau..?"
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu."
Kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya. Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun.
"Tak perlu segala kekosongan ini"
Katanya.
"Marilah kita bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku.. aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk."
"Taihiap tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan"
Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja Nan-cao di selatan? Hebat. Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao. Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata.
"Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kau tunjukan jalannya agar aku tidak sesat lagi."
Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.
"Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat."
Ia bangkit berdiri.
"Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan.."
Akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda daripada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi orang ke tiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang ke dua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
"Ha di sinilah tempatnya. Pangcu berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga"
Kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung, meletakkahnya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong karung peluhnya membasahi leher dan mukanya.
"Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan semangat, heh-heh"
Kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara mereka.
"Sam-te, jangan main-main kau"
Cela si kepala besar.
"Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?"
"Wah, Suheng, aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah.. berabe, baru tiga hari dia bunuh diri"
Kata lagi si bopeng.
"Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu"
Kata si juling.
"Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet.."
"Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap.."
"Sttt, sudahlah"
Tegur si kepala besar.
"Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biarpun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya."
"Takut apa, Loheng? Biarpun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,"
Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung.
"Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu"
Kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya, ketika mendengar ucapan terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu.
Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
"Coba lihat, alangkah manisnya"
Kata si juling.
"Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,"