Cinta Bernoda Darah Chapter 73

NIC

Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya.

"Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN"

Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?"

Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu. Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,

"Jawaban itu bohong"

Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.

"Jawaban Suma Boan itu bohong semua. Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda. Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini"

Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira,

"Betul.., Ucapan Nona betul"

Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak benar. Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam,

"Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti"

Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.

"Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat. Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran. Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa. Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?"

"Hoah, Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya. Aku bisa menjawab. Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri"

Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.

"Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu"

Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar. Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.

"Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan. Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini.."

Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.

"HARIMAU MAKAN KUDA"

Akhirnya Empek Gan berkata lantang,

"Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha"

Ia berpaling kepada Suma Boan.

"Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda"

"Tidak betul, belum lengkap itu. Huruf TAHI belum dimasukkan"

"Sudah betul,"

Kata Empek Gan.

"HARIMAU MAKAN KUDA. Nah, tidak betulkah itu?"

"TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan"

Orang-orang berteriak-teriak,

"Ya, TAHI-nya bagaimana?"

Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek,

"Empek Gan orang tua tolol. HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?"

"Ha..ha..ha.. Cu-wi sekalian dengarlah. Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.. kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu"

Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.

Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya.

Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan. Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal.

"Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?"

Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya. Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.

"Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang"

Posting Komentar