Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 47 (Tamat)

NIC

Hanya kau tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kim-kong-jiu, bukan dengan ilmu silat lain, muridku, akan tetapi kau harus selalu menghadapinya dengan gerakan rendah.

Ketahuilah bahwa tenaga Kim-kong-jiu yang dimainkan oleh sepasang ujung lengan bajunya itu hanya berbahaya bagi tubuh bagian atas saja dan selalu dipergunakan untuk menyerang dari pinggang ke atas. Kalau kau main dengan gerakan rendah, akan kacaulah permainan Kim-kong-jiu.”

Girang sekali hati Sian Lun mendengar ini. Pada saat ia bicara dengan suhunya, ia melihat pamannya sedang asyik bicara dengan Li-goanswe, dan tiba-tiba terdengar suara Li-goanswe.

“Saudara Kwee Siong mempunyai keperluan penting sekali untuk menjemput anaknya, marilah kita beramai mengantarnya. Juga harap losuhu suka pula mengantarnya. Urusan lain boleh ditunda, karena urusan ini benar-benar amat pentingnya dan baru saja sekarang kudengar!”

Wajah Jenderal itu nampak berseri-seri dan gembira sekali, seakan-akan ia baru saja mendengar berita yang amat menggembirakan hatinya, Memang, sesungguhnya baru tadi Jenderal ini mendengar dari Kwee Siong bahwa sebetulnya Toat-beng Mo-li adalah puterinya sendiri.

Kuda yang kuat lalu disediakan, empat ekor jumlahnya. Tak lama kemudian, Kwee Siong, Jenderal Li, Sian Lun, dan Liang Gi Cinjin lalu beramai-ramai berangkat dengan cepatnya menuju ke hutan di mana baru saja Sian Lun meninggalkan Ling Ling dan Kwee Cun.

Matahari telah mulai condong ke barat ketika empat orang ini tiba di tempat yang dituju. Tidak seperti tadi ketika Sian Lun datang seorang diri, di depan kelenteng itu tidak sunyi, bahkan begitu mereka tiba semua menjadi terkejut melihat Ling Ling sedang bertempur hebat sekali melawan seorang kakek. Kwee Cun anak nakal itu berdiri menonton sambil memaki- maki keras,

“Kakek tua bangka kurang ajar ! Jangan serang enciku!” “Liang Hwat Cinjin!” berkata Sian Lun.

“Benar, dia adalah suhengku,” berkata pula Liang Gi Cinjin. “Benar-benar tak tahu diri, menyerang seorang gadis muda.”

Pertempuran itu hebat sekali. Pedang Oei-hong-kiam di tangan Ling Ling berkelebatan mengeluarkan cahaya kuning sehingga Jenderal Li Goan menjadi kagum sekali. Ia sudah mendengar dari Sian Lun akan penukaran pedang itu dan iapun tidak merasa keberatan, bahkan ia menyatakan bahwa kalau memang gadis itu keturunan atau ahli waris ilmu pedang dari Panglima Kam Kok Han, sudah sepatutnya pedang itu diberikan kepadanya.

Akan tetapi jelaslah bahwa Ling Ling terdesak hebat oleh ilmu silat Kim-kong-jiu yang dilancarkan oleh sepasang lengan baju Liang Hwat Cinjin dengan hebatnya.

Melihat rombongan orang yang datang, Liang Hwat Cinjin melompat keluar dari kalangan pertempuran. Ketika ia melihat Liang Gi Cinjin, ia tertawa menyindir dan membentak,

“Liang Gi, bagus sekali perbuatanmu! Muridmu itu telah berani melawan aku. Sudah demikian jauhkah kekurang-ajaranmu terhadap saudara tua?”

Liang Gi Cinjin memberi hormat dan menundukkan kepalanya.

“Suheng, kau sendirilah yang mencari penyakit, tidak dapat menjaga diri sehingga yang muda-muda berani menentangmu.”

“Bangsat kurang ajar!” bentak Liang Hwat Cinjin hendak menyerang adik seperguruannya, akan tetapi Ling Ling membentak marah dan kembali gadis ini telah menyerangnya.

“Gadis liar, aku harus bunuh dulu padamu!” seru kakek itu dan sebuah kebutan hebat sekali dengan ujung lengan baju kanannya membuat Ling Ling terhuyung-huyung mundur. Bukan main hebatnya tenaga kebutan ini sehingga gadis itu tidak kuat menahannya dan kedudukan kuda-kudanya tergempur hebat. Liang Hwat Cinjin hendak mendesak, akan tetapi tiba-tiba Sian Lun membentak, “Jangan kau mengganggu Ling Ling!” Pedang Pek-hong-kiam ditangan berkelebat merupakan gulungan sinar putih dan cepat menyambar dan menyerang ke arah paha Liang Hwat Cinjin.

Pemuda ini teringat akan nasehat suhunya, maka kini ia menyerang dengan merendah dan menujukan pedangnya ke bagian bawah dari kakek itu.

Bukan main marahnya Liang Hwat Cinjin, “Bagus, kaupun sudah bosan hidup?” Sebentar saja, seperti juga dulu, kakek ini telah dikeroyok oleh Ling Ling dan Sian Lun. Gerakan pedang sepasang orang muda itu benar-benar hebat sehingga semua orang yang menonoton pertempuran itu, termasuk Jenderal Li Goan, menjadi kagum sekali.

Gerakan Ling Ling ganas dan cepat karena gadis ini yang menganggap Liang Hwat Cinjin sebagai musuh besarnya, pembunuh Kam Kok Han, melakukan serangan-serangan maut, sedangkan Sian Lun melakukan taktik serangan bawah yang benar saja membuat kakek itu menjadi kacau balau gerakannya.

Sepasang lengan baju itu kalau dimainkan dengan tenaga Kim-kong-jiu dan diputar di bagian atas, merupakan sepasang senjata yang dahsyat sekali. Akan tetapi kalau kini terbagi harus mempertahankan bawah tubuh yang terbuka, maka daya serangnya menjadi banyak berkurang.

Betapapun juga, sampai seratus jurus belum juga kedua orang muda itu dapat merobohkannya. Ling Ling menjadi penasaran sekali dan cepat ia mengubah gerakan pedangnya. Kini ia bersilat dengan ilmu pedang bagian terakhir dari Kim-gan-liong Kiam-sut, bagian yang amat sukar dimainkan, akan tetapi amat berbahaya sehingga jarang sekali dikeluarkan oleh Ling Ling dalam pertempuran.

Benar saja, kali ini Liang Hwat Cinjin merasa terkejut sekali. Gulungan sinar pedang kekuningan itu seakan-akan berpencar menjadi dua yang mengurungnya dari atas dan bawah.

Liang Hwat Cinjin biarpun amat tangguh, namun ia sudah tua sekali dan pertempuran yang amat lama ini membuatnya lelah, dan tenaga serta kegesitannya banyak berkurang. Serangan yang hebat ini, ditambah pula oleh serangan-serangan Sian Lun yang tak kalah berbahayanya, membuat ia tak sanggup menangkis pula.

Ujung pedang Oey-hong-kiam menusuk pahanya dan berbareng dengan itu, ujung lengan bajunya sebelah kanan juga terbabat putus oleh Pek-hong-kiam. Ia menjerit dan roboh di atas tanah.

Ling Ling mengangkat pedangnya dan hendak memberi tusukan terakhir, akan tetapi tiba-tiba Liang Gi Cinjin berseru keras,

“Nona, jangan bunuh dia!”

Ling Ling menahan tusukannya, menghadapi Liang Gi Cinjin dan berkata,

“Totiang, dia ini adalah musuh besarku. Dialah yang telah membunuh sucouw Kam Kok Han!” Liang Gi Cinjin menggeleng-geleng kepalanya. “Dia bohong, nona. Bukan dia yang membunuh Panglima Kam Kok Han, akan tetapi seorang jenderal she Gui yang sudah lama meninggal dunia. Suheng, mengapa kau tidak mau memberi penjelasan?”

Akan tetapi Liang Hwat Cinjin yang kini sudah dapat duduk dengan paha berlumur darah, tersenyum dan berkata, “Hayo lekas bunuh aku! Aku sudah kalah oleh dua orang muda, sungguh memalukan. Tidak lekas menghabisi nyawaku mau tunggu apa lagi?”

“Liang Hwat Suheng, bukalah matamu baik-baik. Kau berhadapan dengan calon Kaisar, apakah kau masih bersikap jahat dan keras kepala? Inilah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa, yang telah membebaskan kesengsaraan rakyat dari tindasan pemerintahan Sui. Apakah kau tidak tunduk?”

Liang Gi Cinjin maklum akan watak suhengnya ini. Betapapun jahatnya, Liang Hwat Cinjin adalah seorang yang berjiwa patriot. Sudah berkali-kali tosu ini dahulu mencoba untuk membunuh kaisar, akan tetapi selalu gagal.

Bahkan, yang membunuh Jenderal she Gui, pembunuh dari Kam Kok Han, adalah Liang Hwat Cinjin sendiri. Hal ini baru diketahui oleh Ling Ling dan Sian Lun setelah mereka kelak mendengar penuturan Liang Gi Cinjin.

Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan sutenya itu, lalu memandang kepada Jenderal Li Goan yang sudah menghampirinya. Jenderal ini memandangnya dengan tersenyum dan berkata,

“Liang Hwat Totiang, lupakah kau kepadaku? Lupakah kau ketika kita bahu membahu menghadapi serbuan tentara dari Mongol dahulu?”

Terbelalak mata Liang Hwat Cinjin. Tentu saja ia teringat kepada jenderal ini, yang amat dikagumi dan dipujinya. Saking menyesalnya atas kesesatannya sendiri dan saking terharunya melihat jenderal itu berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar, tiba-tiba Liang Hwat Cinjin lalu menangis.

“Biarlah pinto pergi bersama suheng, karena kami berdua sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan dunia. Sian Lun, aku telah meninggalkan urusan Pek-sim-kauw kepada seorang murid, dan kau supaya suka membantu pergerakan perkumpulan itu. Dan sekali lagi aku usulkan perjodohanmu dengan Toat-beng Mo-li. Nona, biarlah aku mempergunakan kesempatan ini untuk menjadi comblang melamarmu untuk menjadi jodoh muridku. Bagaimana jawabanmu?”

Akan tetapi, Ling Ling tidak menjawab, hanya memandang kepada Kwee Siong yang semenjak tadi juga sedang memandangnya dengan mata basah.

“Ling Ling ” bisiknya.

“Ayah !” Ling Ling menubruk kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Kwee Cun juga

lari kepadanya dan memeluk encinya sambil menangis penuh bahagia.

Hanya Jenderal Li Goan saja yang tidak terkejut melihat pemandangan ini karena ia telah mendengar dari Kwee Siong. Yang paling merasa aneh sehingga berdiri melongo seperti patung adalah Sian Lun. Ia merasa seakan-akan sedang mimpi. Adapun Ling Ling yang merasa betapa ia tadi belum menjawab pinangan dan pertanyaan Liang Gi Cinjin, lalu berpaling kepada kakek itu dan berkata perlahan, “Totiang, aku menyerahkan segala hal kepada ayahku.”

Bukan main girangnya hati Kwee Siong, ia mengelus-elus kepala puterinya dan berkata, “Ling Ling ...... anak baik ” dan di dalam tangisnya ia berkata kepada ketua dari Pek-sim-

kauw itu,

“Totiang, sudah lama sekali aku telah tunangkan puteriku ini kepada keponakanku, Liem Sian Lun. Maka usulmu tadi hanya merupakan pengesahan belaka dari pertunangan mereka.”

“Bagaimana, Sian Lun?” Liang Gi Cinjin menggoda muridnya yang masih berdiri seperti patung. Merah wajah pemuda ini, merah karena malu dan girang. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Teecu hanya menerima titah dan .... dan berterima kasih.”

Sambil tertawa-tawa Liang Gi Cinjin lalu membawa suhengnya, yang digandeng dan setengah diangkatnya, pergi dari tempat itu. Adapun Kwee Siong lalu duduk di atas rumput dikelilingi oleh Jenderal Li, Sian Lun, Ling Ling, dan Kwee Cun.

Dia menceritakan tentang pengalamannya yang dulu, mengenai riwayat hidupnya betapa ia terpisah dari Sui Giok, isterinya. Mereka bergembira, pertemuan yang amat mengharukan. Pertemuan antara air mata dan tawa, karena disamping kegembiraan, Kwee Siong juga berduka mendengar tentang tewasnya isterinya, Sui Giok yang bernasib malang.

“Ia gugur sebagai seorang puteri tanah air yang gagah perkasa, mengapa terlalu disedihkan?” kata Jenderal Li Goan. “Mati sebagai seorang patriot yang gagah adalah kematian terhormat, yang patut dibanggakan oleh anak cucu, karena biarpun andaikata namanya akan terlupakan orang, namun darah yang mengalir dari tubuhnya telah menyuburkan tanah air, telah mencuci rakyat jelata bersih daripada penindasan dan penghisapan kejam.”

Demikianlah, ramai-ramai mereka lalu kembali ke Tiang-an dan tentu saja dapat diduga bahwa di antara mereka, yang merasa paling bahagia adalah Ling Ling dan Sian Lun.

Sungguhpun keduanya tidak berani membuka mulut saking jengah dan malu digoda terus- terusan oleh Kwee Cun, namun senyum dan kerling mereka telah bicara banyak.

******

Demikianlah cerita ini ditutup dengan catatan bahwa setelah semua sisa-sisa pengikut kaisar Yang-te dapat dihancurkan, dibunuh atau ditawan, sebagian besar menyerah, maka dalam tahun 619 atas pilihan semua pembesar yang berpengaruh, Jenderal Li Goan naik tahta kerajaan dengan megahnya. Semenjak saat dia menduduki tahta kaisar inilah maka di Tiongkok dimulai dinasti kerajaan Tang yang akan menjadi sebuah kerajaan yang jaya dan kuat.

Kwee Siong tetap menjabat pangkat tinggi dan selalu menjadi penasehatnya, adapun Liem Sian Lun diangkat menjadi panglima muda yang gagah dan banyak berjasa dalam penindasan kaum pemberontak yang dihasut oleh sisa-sisa orang yang masih bersetia kepada kerajaan Sui yang sudah musnah.

Hampir berbareng dengan pengangkatannya, yakni beberapa saat setelah penobatan Jenderal Li Goan sebagai Kaisar pemerintah Tang, dilangsungkan pernikahan antara Sian Lun dan Ling Ling, pesta pertama dalam kota raja yang baru sehingga amat menggembirakan penduduk di ibu kota.

T A M A T

Posting Komentar