“Siokhu “ katanya sambil bertindak perlahan menghampiri kedua orang tua itu.
“Sian Lun, kau sudah datang?” kata Kwee Siong sambil tersenyum. Ada sesuatu tersembunyi dibalik senyum ini, pikir Sian Lun. Pasti ada apa-apa terjadi malam tadi.
“Syukur siokhu selamat,” katanya tanpa berani menyebut-nyebut tentang datang tidaknya Ling Ling.
“Ia datang,” kata pamannya.
“Dan ia membawa Cun-ji,” sambung bibinya dengan bibir gemetar menahan tangis.
Terkejutlah Sian Lun mendengar ini. “Ling Ling datang dan menculik adik Cun?” tanyanya tak sadar menyebut nama gadis itu.
Pamannya mengangguk sunyi.
Marahlah Sian Lun. Kelegaan hatinya terganti kekhawatiran dan penyesalan. Ling Ling terlalu sekali, pikirnya.
“Aku akan menyusul dan membawa pulang adik Cun!’ katanya dan sebelum dua orang tua itu dapat menjawab, tubuhnya sudah melesat keluar dari gedung itu. Ia maklum ke mana harus mencari Ling Ling Kemana lagi kalau tidak di kelenteng dalam hutan, di luar kota Tiang-an itu?
Matahari telah naik tinggi ketika Sian Lun tiba di kelenteng itu. Peluh membasahi jidat dan lehernya karena ia telah berlari cepat tiada hentinya dari kota. Di depan kelenteng itu sunyi saja. Apakah gadis itu tidak membawa Kwee Cun ke sini? Ia mulai gelisah dan cepat melompat masuk ke dalam kelenteng.
Kosong! Ia terus keluar dari pintu belakang dan tiba-tiba ia berdiri bagaikan patung. Kerongkongannya terasa kering, penuh oleh hawa yang naik dari dalam dadanya. Hampir ia tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Ling Ling sedang duduk di atas rumput bersama Kwee Cun. Mereka tertawa-tawa. Terdengar anak laki-laki itu bicara gembira, seakan-akan sedang menceritakan sesuatu, kadang-kadang diseling oleh suara ketawanya yang bersih.
Adapun Ling Ling mendengarkan sambil memegang pundak anak itu, juga gadis ini terdengar tertawa-tawa dengan geli dan gembira. Terdengar oleh Sian Lun bagaimana anak itu menyebut Ling Ling dengan sebutan “enci Ling” yang mesra sekali, dan terlihat olehnya betapa seringkali tangan Ling Ling mengelus-elus kepala anak itu dengan penuh kasih sayang. Sian Lun tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Ia demikian terpesona oleh pemandangan ini sehingga tidak tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Pada saat itu, kebetulan sekali Kwee Cun menengok dan begitu melihat pemuda ini, anak itu lalu melonjak girang.
“Sian Lun-ko !! ia berlari-lari menyambut pemuda itu, memegang tangannya dan
menariknya ke tempat Ling Ling yang sudah berdiri dan memandang kepada Sian Lun dengan wajah kemerah-merahan, nampaknya malu sekali.
“Engko Sian Lun, baik sekali kau datang. Kuperkenalkan kepada enciku Ling Ling !” kata Kwee Cun dengan girang sekali, kemudian ia berkata kepada Ling Ling setelah kedua orang muda itu berhadapan.
“Enci Ling, inilah engko Sian Lun yang seringkali kautanyakan tadi! Lun-ko, ini adalah enciku yang cantik dan gagah, namanya Ling Ling!”
Akan tetapi kedua orang muda itu seakan-akan tidak mendengar ucapan anak itu. Keduanya berdiri saling pandang dan sinar mata mereka bicara dengan seribu satu bahasa yang tidak terdengar atau dimengerti orang lain kecuali mereka berdua sendiri.
Ucapan Kwee Cun itu sebenarnya sudah patut kalau menjadikan pemuda itu terheran, karena bagaimanakah tiba-tiba Kwee Cun mengaku gadis ini sebagai encinya ? Akan tetapi hanya satu saja arti yang tertangkap oleh Sian Lun, yakni bahwa gadis itu banyak bertanya kepada anak itu tentang dia.
“Cun-te, benarkah encimu ini banyak bertanya tentang aku?”
“Benar, engko Sian Lun, dia bertanya tentang kepandaianmu, tentang pekerjaanmu, dan apakah engkau sudah menikah atau belum ”
“Hush, tutup mulutmu, Kwee Cun!” Ling Ling membentak dengan muka merah, akan tetapi agaknya Kwee Cun sudah biasa bermain-main dengan gadis itu, buktinya ia tahu bahwa encinya itu tidak marah maka ia hanya tertawa-tawa gembira.
Keduanya merasa malu-malu dan jengah sehingga tidak berani saling memandang. Bahkan Sian Lun yang merasa terharu, girang, dan terheran tak dapat mengeluarkan kata-kata terhadap gadis itu.
“Cun-te,” akhirnya ia berkata kepada anak itu, “hayo pulang dengan aku. Ayah bundamu menanti-nanti di rumah.”
“Tidak, aku tidak mau pulang. Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama enci Ling!” jawab anak itu sambil memandang Ling Ling, seakan-akan ia sudah berjanji dengan itu, yang segera memeluknya, tanda girang hati.
Sian Lun benar-benar merasa heran sekali. “Nona, kalau begitu, mengapa kau tidak membawa adik Cun pulang ?”
“Liem-ciangkun, kau pulanglah sendiri. Aku dan adik Cun belum ingin pulang.” Sian Lun hendak membantah, akan tetapi Kwee Cun yang nakal itu berkata, “Pulanglah Lun- ko. Kalau kau membantah, enciku akan marah dan kalau dia marah kepadamu, aku takkan berani tanggung jawab. Kalau ayah yang datang, barulah enci mau pulang ”
“Hus, Kwee Cun ” kembali Ling Ling membentak adiknya.
Akan tetapi kata-kata itu sudah cukup bagi Sian Lun. Ia hampir berjingkrak dan menari-nari saking girangnya. Sungguhpun sampai pada saat itu ia masih belum mimpi bahwa gadis ini adalah puteri Kwee Siong sendiri, namun jelas baginya bahwa Ling Ling tidak marah lagi kepada pamannya.
Tanpa banyak cakap lagi, ia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Kembali ia berlari tiada hentinya ke Tiang-an, akan tetapi kali ini ia berlari cepat dengan hati girang, tidak seperti tadi ketika meninggalkan Tiang-an, ia berlari cepat dengan hati gelisah.
Kwee Siong mendengarkan penuturan Sian Lun dengan mata basah dan kemudian dua titik air mata mengalir turun di sepanjang pipinya. Muka yang tadinya pucat itu perlahan-lahan menjadi merah kembali dan akhirnya ia memeluk isterinya yang sementara itu menangis di dekatnya, lalu berkata perlahan,
“Apa kataku? Tepat seperti yang kuduga!” Dan isterinya hanya dapat menangis di antara senyumnya.
Sian Lun benar-benar tidak mengerti dan memandang dengan melongo. Lebih-lebih ia merasa heran ketika pamannya berkata,
“Sian Lun, kuulangi lagi kata-kataku bahwa kau patut menjadi mantuku.”
Ia menoleh kepada isterinya yang sudah duduk di atas kursi dengan wajah berseri, lalu berkata, “Bukankah sudah cocok sekali Sian Lun menjadi jodoh anak kita?”
“Cocok sekali, dan aku akan senang sekali, melihat Sian Lun sebagai mantuku!”
Sian Lun memandang dengan bengong. Apakah kedua orang tua ini sudah gila? Mereka hanya mempunyai seorang putera, bagaimana bisa mengambil mantu padanya?
Tiba-tiba ia teringat kepada Ling Ling. Apakah gadis itu puteri pamannya? Tak mungkin, akan tetapi ia teringat bahwa suhunya, Liang Gi Cinjin juga menyatakan bahwa ia cocok
sekali menjadi jodoh Toat-beng Mo-li. Usul suhunya ini lebih cocok baginya, karena yang dimaksudkan oleh suhunya sudah jelas, tentu Ling Ling yang juga ternyata adalah gadis yang membawa pedang suhunya, Pek-hong-kiam.
Akan tetapi puteri pamannya? Bagaimana kalau bukan Ling Ling? Agaknya tidak mungkin kalau Ling Ling, karena bukankah gadis itu tadinya hendak membunuh pamannya ini?
“Maaf, siokhu. Akan tetapi .... aku aku sudah dijodohkan oleh suhu kepada seorang gadis
lain ” Kwee Siong nampak terkejut. “Apa ? Mana bisa jadi? Kau tidak boleh menikah dengan
gadis lain, kecuali dengan puteriku sendiri! Kebetulan suhumu berada di sini, aku bicarakan hal ini dengan dia.”
“Suhu berada di sini, siokhu? Di mana dia ?”
“Ya, suhumu, Liang Gi Cinjin baru saja datang dan sekarang masih berada di rumah Li- goanswe.”
Baru saja sampai di sini percakapan mereka datanglah penjaga yang melaporkan bahwa Jenderal Li Goan dan Liang Gi Cinjin sudah datang. Tergesa-gesa Kwee Siong dan Sian Lun menyambut. Pemuda ini segera memberi hormat kepada suhunya yang tertawa bergelak melihat Sian Lun.
“Aku mendengar dari Li-goanswe bahwa kau telah bertempur melawan Liang Hwat Cinjin suhengku? Ah, Sian Lun, masih untung kau dapat terlepas dari tangannya yang ganas.”
Kemudian kakek berilmu ini lalu menuturkan sambil menarik napas panjang betapa suhengnya itu semenjak dulu telah menyeleweng dan berkali-kali melakukan pelanggaran. “Aku sendiri tentu sudah lama ia celakakan, kalau saja aku tidak mempunyai semacam ilmu yang dapat mengimbangi dan melawan ilmu yang ia andalkan, yakni Kim-kong-kiu yang lihai itu. Ia seringkali mengganggu dan mengejek tentang Pek-sim-kauw.”
“Ah, kalau saja teecu sudah mempelajari ilmu yang suhu maksudkan itu, tentu teecu takkan terdesak hebat.” Ia lalu menuturkan lagi dengan jelas, betapa tadinya ia tidak berani melawan supeknya itu, akan tetapi betapa ia didesak sehingga akhirnya ia melawan juga. Tentu saja ia merasa malu menuturkan bahwa sesungguhnya karena ingin melindungi Ling Ling saja maka ia memberanikan diri menghadapi supeknya.
“Itulah kalau orang masih belum banyak pengalaman,” mencela suhunya. “Padahal kalau melihat kepandaianmu, kau takkan kalah olehnya.