Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 45

NIC

“Sian Lun,” katanya dengan lemah, “jangan kau menghalanginya. Biarkan ia datang dan aku sendiri yang akan menghadapinya!”

“Siokhu ! Dia dia hendak membunuhmu!”

“Biarlah! Jangan kau ikut campur, Sian Lun. Dengarkah kau? Ini satu perintah dariku, mengerti? Jangan kau menghalangi dia dan biarkan dia turun menjumpaiku. Aku tidak mau dibantah oleh siapapun juga dalam hal ini. Tak seorangpun boleh mencampuri urusan ini, juga kau sendiri tidak!”

“Siokhu! Akan tetapi aku bukankah kau kuanggap ayah sendiri? Bukankah aku sama

dengan puteramu sendiri? Bagaimana aku dapat membiarkan orang mengancam keselamatanmu?”

Kwee Siong tersenyum sedih, “Kau tahu bahwa kau lebih dari putera sendiri bagiku. Bahkan aku ingin sekali mengambilmu sebagai mantuku!”

Bukan main herannya hati Sian Lun mendengar ini dan ia hendak bertanya, akan tetapi Kwee Siong mendahuluinya dengan kata-kata tegas,

“Sian Lun, kau malam ini keluarlah dari rumah ini. Ajak ibumu bermalam di rumah Jenderal Li. Biarkan aku sekeluargaku seorang diri di dalam gedung ini.” Ketika pemuda itu memandangnya dengan wajah pucat, ia menyambung cepat, “Anakku yang baik, percayalah kau kepadaku. Aku hanya minta kau mentaati kata-kataku sekali ini. Jangan membantah, anakku ”

Dua titik air mata terlompat keluar dari mata pemuda ini. Sebutan “anakku” membuatnya merasa terharu sekali. Pamannya yang amat baik hati ini menghadapi bahaya maut, akan tetapi ia bahkan diminta keluar dari situ bersama ibunya. Ia tahu bahwa Ling Ling bukanlah seorang gadis yang boleh dibuat main-main.

Ancaman yang keluar dari mulut gadis seperti Ling Ling adalah ancaman yang timbul dari dasar hatinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya yang tegas-tegas menyatakan bahwa ini adalah sebuah perintah, maka ia lalu mengajak ibunya keluar dari rumah gedung itu dan bermalam di rumah Jenderal Li Goan.

******

Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali melompat ke atas genteng rumah gedung Kwee Siong. Bayangan ini bukan lain adalah Ling Ling yang datang dengan maksud membunuh ayahnya sendiri. Ia merasa heran karena melihat keadaan di luar gedung dan di atas genteng sunyi saja. Benar-benar di luar dugaannya semula.

Di manakah Sian Lun? Apakah pemuda yang mendahuluinya itu tidak melakukan penjagaan untuk mencegahnya? Dan di mana pula para penjaga? Apakah Sian Lun telah memperingatkan ayahnya dan keluarga itu telah pergi bersembunyi di lain tempat? Ah, kalau rumah itu telah dikosongkan, tentu rumah itu merupakan perangkap baginya. Akan tetapi Ling Ling tidak merasa takut sedikitpun juga. Ia menganggap bahwa niatnya ini merupakan tugas terakhir. Biarlah ia tewas dalam melakukan tugas ini, karena apakah artinya hidup baginya? Ibunya tidak ada, ayahnya hendak ia bunuh, dan Sian Lun ah, dia tidak

mau memikirkan pemuda itu dalam saat seperti itu.

Dengan amat ringannya ia melompat turun sambil mencabut pedang Oei-hong-kiam dari pinggangnya. Ia masuk ke dalam ruangan yang terang dan sunyi. Masuk terus dengan tindakan kaki ringan, makin ke dalam. Sebuah pintu yang menuju ke ruang belakang tertutup, maka dibukanya perlahan. Matanya silau karena di ruang itu amat terang, banyak lilin dipasang di atas meja.

Untuk beberapa lama Ling Ling menggosok matanya agar tidak begitu silau. Ketika ia membuka matanya, ia memandang ke depan dan berdiri bengong seperti patung.

Kwee Siong dengan tenangnya duduk di atas sebuah kursi sambil memandangnya dengan mata tajam, akan tetapi wajahnya muram dan berduka sekali. Seorang nyonya yang cantik duduk di sebelahnya, menundukkan muka dan wajahnya nampak amat pucat. Seorang anak laki-laki yang tadinya menangis sambil menyembunyikan mukanya di pangkuan ibunya, kini serentak bangun berdiri, memandang kepada Ling Ling dengan matanya yang lebar dan bening.

“Ling Ling, kau baru datang, nak?” terdengar Kwee Siong berkata dengan suara seakan-akan seorang ayah menegur puterinya yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Sudah semenjak tadi aku, ibu tirimu dan adikmu menanti kedatanganmu!”

Naik sedu sedan dari dada gadis itu menuju kerongkongannya, akan tetapi ia cepat menekan perasaan keharuan ini dan membentak marah.

“Siapa anakmu? Kau orang jahat, manusia kejam berhati binatang. Kau telah membiarkan ibu hidup sengsara sampai bertahun-tahun. Ibu hidup bagaikan seekor binatang buas di dalam hutan, menjadi seorang yang dijuluki iblis wanita oleh orang lain. Semua karena kau! Laki- laki tidak tahu kewajiban, kau masih berani menyebut aku sebagai anakmu?”

“Ling Ling, kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi katakanlah, mengapa ibumu tidak ikut datang? Mana Sui Giok? Mana isteriku itu?”

Tak tertahan lagi air mata menitik keluar dari sepasang mata Ling Ling.

Kemudian ia mengangkat mukanya memandang wajah ayahnya dengan marah sekali. Dengan jari telunjuk tangan kirinya ia menuding ke arah muka Kwee Siong sambil berkata keras,

“Manusia rendah! Kenapa tidak dulu-dulu kau menanyakan ibu dan mencarinya? Mengapa sekarang setelah kau membunuh mati ibu, kau masih berpura-pura bertanya lagi?”

Muka yang sudah pucat dari pembesar itu kini menjadi makin pucat seperti mayat. Ucapan Ling Ling itu benar-benar menusuk hatinya dan membuatnya terkejut sekali.

“Ling Ling!” ia bangun dari kursinya dengan kedua kaki menggigil. “Apa kau bilang ? Mana ibumu ... ? Mana ??” “Ibu telah mati, dan kau tidak berhak bertanya-tanya lagi!” seru gadis itu dengan ganas sambil melangkah maju dengan pedang siap di tangan.

“Ya, Tuhan !” hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Kwee Siong. Ia terjatuh kembali ke

atas kursinya dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. “Sui Giok Sui Giok

.......bagaimana dia mati ? Bagaimana? Ling Ling, katakanlah, bagaimana ibumu bisa mati

.....?”

“Tutup mulutmu yang palsu!” bentak gadis itu makin marah. “Aku tidak kasihan kepadamu, seperti kau tidak kasihan kepada ibuku. Jangan pura-pura berduka atas kematian ibuku, karena sekarang aku datang hendak memaksa kau mati menyusul ibuku. Biar kau bisa bertemu dan minta ampun kepadanya!”

“Bunuhlah! Bunuhlah ini dadaku, siapa takut mati? Aku akan merasa girang sekali dapat

menyusul Sui Giok, aku merasa berdosa kepadanya, hanya hanya aku merasa sayang sekali

mengapa puteriku, puteri Sui Giok akan menjadi seorang anak durhaka yang membunuh ayah sendiri.”

Lemaslah tangan Ling Ling mendengar ini, akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia melompat maju dan mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke dada ayahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan nyonya Kwee melompat maju, menghadang di depannya.

“Nona, suamiku tidak bersalah. Ayahmu tidak bersalah terhadap ibumu. Ketika ia mengawiniku, dia sudah putus asa dan menganggap bahwa ibumu telah meninggal dunia. Telah banyak usahanya untuk mencari ibumu, akan tetapi sia-sia. Jangan bunuh padanya, nona, bunuhlah aku kalau kau merasa bahwa aku yang merusak kehidupan ibumu!” Dan nyonya ini lalu menangis terisak-isak, berlutut di depan Ling Ling.

Tiba-tiba Kwee Cun berteriak marah. “Tidak, ibu, tidak! Nona ini tidak boleh membunuhmu!” Ia lalu menghampiri Ling Ling dengan sikap mengancam, kedua tangannya yang kecil terkepal. “Kau kau ganas dan kejam! Kau orang durhaka, mau membunuh ayah

sendiri? Kupukul kau!” Dan anak kecil itu lalu menyerang Ling Ling dengan kedua tangannya memukul.

Ling Ling tertegun melihat ini semua. Sebetulnya ia tidak tega untuk membunuh ayahnya, untuk melukai orang tua yang sama sekali tidak nampak jahat dan kejam ini. Ia tadi telah tertusuk oleh sikap dan kata-kata ayahnya, yang ternyata seorang laki-laki gagah dan budiman.

Ketika nyonya itu menangis dan bermohon kepadanya, ia sudah merasa makin lemah semangatnya. Bagaimana ia bisa membunuh ayah sendiri dan membuat nyonya itu serta puteranya menjadi janda?

Kini melihat sikap Kwee Cun, ia makin pucat dan tak terasa pula ia melangkah mundur tiga tindak. Sebagai seorang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan, sikap dan keberanian anak ini membela ibunya telah membuat Ling Ling kagum sekali. Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Sedih dan girang tercampur aduk menjadi satu. Sedih mengingat nasib ibunya, dan girang mendapat kenyataan bahwa ayahnya dan isteri serta puteranya yang baru ternyata adalah orang-orang yang patut dipuji.

Kenyataan bahwa ayahnya seorang laki-laki gagah membuatnya bangga. Kalau seandainya ayahnya berlutut dan meminta-minta ampun, mungkin akan dilanjutkan niatnya membunuhnya. Akan tetapi ayahnya bahkan menantang, memberikan dadanya.

“Nona insyaflah akan kesesatanmu!” terdengar nyonya itu berkata di antara tangisnya. “Tidak ada kedosaan yang lebih besar daripada membunuh ayah sendiri. Menyakiti hatinya saja sudah merupakan perbuatan terkutuk, apalagi membunuhnya. Aku bersumpah, ketika ayahmu melihat kau dan ibumu masih hidup, tidak ada pengharapan yang lebih besar dalam hati ayahmu, dalam hatiku dan dalam hati adikmu yang masih kecil ini, melainkan melihat kau dan ibumu tinggal di sini bersama kami, hidup sebagai keluarga yang besar dan penuh damai. Sekarang kalau benar-benar ibumu telah meninggal dunia, kuminta kepadamu, tinggallah

di sini. Jadilah anakku, anak ayahmu, enci adikmu ini Ling Ling, pergunakanlah

kesadaranmu “

Kembali Ling Ling tertegun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya, ia berkata, “Kau kira akan dapat membujukku dengan omongan manis. Kau tidak tahu betapa rasanya kehilangan ibu. Biarlah anakmu yang akan merasakan betapa sengsaranya hati seorang anak terpisah dari ibunya.”

Setelah berkata demikian, secepat kilat Ling Ling menyambar tubuh Kwee Cun, dipondongnya dan dibawanya melompat keluar, menghilang di dalam gelap.

“Cun-ji ........ !” nyonya itu berteriak-teriak sambil menangis, “Ling Ling kasihanilah dia,

kembalikan anakku ”

Akan tetapi Kwee Siong segera memegang tangan isterinya yang hendak berlari mengejar. “Sabarlah, tenanglah! Aku tidak percaya bahwa Ling Ling akan mencelakakan Cun-ji. Dia pasti akan kembali membawa Cun-ji dengan selamat. Percayalah kepadaku.”

Nyonya itu lalu menubruk dan menangis di dada suaminya.

******

Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sudah masuk ke dalam gedung keluarga Kwee. Ibunya masih berada di rumah Jenderal Li Goan. Wajah pemuda ini muram dan pucat penuh kekhawatiran.

Semalam suntuk ia tidak pernah tidur sedikitpun juga, penuh kegelisahan memikirkan keadaan pamannya dan juga memikirkan keadaan Ling Ling. Bagaimana kalau gadis itu membunuh Kwee siokhu, pikirnya. Ah, kalau hal itu terjadi, akan hancurlah dunianya. Ia harus mencari gadis itu dan membunuhnya, mungkin untuk mati bersama. Apa gunanya hidup lagi baginya? Akan tetapi ketika ia masuk ke ruang belakang, didapati paman dan bibinya masih duduk di atas kursi. Ia tidak tahu bahwa mereka itu duduk di situ semalaman, sama sekali tak pernah tidur seperti dia sendiri. Sian Lun menarik napas lega, merasa seakan-akan batu besar yang semalaman menindih isi dadanya kini terangkat, membangkitkan sedu sedan yang mengumpul di kerongkongannya.

Posting Komentar