Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 44

NIC

Pemuda ini terkejut sekali dan cepat ia melompat dan mengejar. Karena memang tubuh Ling Ling masih lemah, sebentar saja Sian Lun dapat menyusulnya. Akan tetapi, Ling Ling telah mencabut pedangnya dan berkata menantang,

“Sian Lun, untuk satu hal ini, kalau terpaksa, aku akan menghadapimu dengan pedang!” Bukan main bingung dan sedihnya hati Sian Lun.

“Ling Ling, aku tidak sampai hati untuk bertanding dengan engkau. Tidak lagi. Kalau kau mau, kau boleh penggal leherku, aku takkan melawan. Alan tetapi, jika aku melihat engkau mengganggu pamanku, terpaksa aku akan membelanya, biarpun aku harus mati di tanganmu.” Sambil berkata demikian, Sian Lun lalu berlari terus dengan amat cepatnya, mendahului gadis itu menuju Tiang-an.

Ling Ling maklum bahwa pemuda itu tentu akan pergi ke rumah Kwee Siong dan akan menjaga keselamatan orang she Kwee itu. Akan tetapi ia tidak takut. Kalau perlu, ia akan menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Sakit hati ibunya lebih penting untuk dibalaskan.

Ia belum pernah berbakti terhadap ibunya, dan ia telah menyaksikan sendiri betapa ibunya hidup bersengsara, semenjak muda hidup di dalam hutan dan dijuluki iblis wanita, sama sekali tidak diperdulikan oleh ayahnya yang kini menduduki pangkat tinggi dan hidup bersenang- senang dengan isteri dan puteranya yang baru. Dengan pikiran penuh nafsu dan dendam, gadis ini lalu berlari cepat menuju ke kota Tiang-an yang temboknya telah nampak di depan.

******

Semenjak pertemuan dengan Sui Giok dan Ling Ling, Kwee Siong sembuh dari sakitnya dengan keadaan yang berobah sama sekali. Ia kini nampak tua, selalu berwajah muram dan seringkali termenung. Isterinya mencoba untuk menghiburnya, akan tetapi sia-sia.

Kwee Siong terganggu oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia merasa berdosa dan apabila ia teringat akan Sui Giok dan Ling Ling, ia menjadi amat terharu dan kasihan. Ia dapat membayangkan betapa hebatnya penderitaan dan kesengsaraan isterinya yang terpisah darinya di dalam hutan liar itu dalam keadaan mengandung tua. Dulu ia merindukan isterinya dan telah berusaha mencari isterinya itu. Sampai lama, bertahun-tahun kemudian, baru ia mau menikah kembali atas bujukan saudara angkatnya, yakni Liem Siang Hong ayah Liem Sian Lun.

Dan sekarang, setelah penghidupannya dengan keluarganya yang baru ini mulai bahagia, tiba- tiba saja muncul Sui Giok yang dikira telah tewas itu dengan puterinya. Alangkah malang nasibnya, alangkah hebat penderitaan ibu dan anak itu. Ia menyesal sekali mengapa Sui Giok dan Ling Ling telah pergi.

Hiburan satu-satunya hanya Kwee Cun, puteranya yang telah berusia delapan tahun itu. Kwee Cun ternyata menjadi seorang anak laki-laki yang amat cerdik. Sukar bagi ibunya untuk menyembunyikan sesuatu dari anak ini karena Kwee Cun memiliki kecerdikan dan keluasan pandangan seperti orang dewasa.

“Ibu,” katanya setelah berkali-kali menanyakan keadaan ayahnya tanpa mendapat jawaban memuaskan dari ibunya, “bagaimanapun juga ibu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu bahwa tentu ada sesuatu yang menimpa diri ayah. Ia nampak begitu sedih. Ibu, ceritakanlah kepadaku, ibu.”

“Cun-ji, kau masih kecil, tidak perlu mengetahui akan hal ini,” kata ibunya sambil mengelus- elus kepala anak itu.

“Ibu, kalau kau tidak mau menceritakan, aku akan selalu merasa sedih. Aku tidak mau belajar, tidak makan, tidak mau bermain-main. Ayah berduka sedangkan aku tahupun tidak urusannya. Ibu memperlakukan aku seperti orang luar saja.”

Setiap hari Kwee Cun membujuk ibunya sehingga akhirnya ibunya merasa kewalahan dan diceritakannyalah tentang Sui Giok dan Ling Ling. Anak itu mengerutkan kening dan kontan berkata,

“Ayah tidak bersalah !”

Ibunya hanya memeluknya sambil mengalirkan air mata.

“Cun-ji, jangan kau ikut-ikut. Kau masih kecil, nak, belum tahu perasaan hati orang tua. Mari kita berdoa saja semoga ayahmu akan terhibur hatinya dan semoga ibu dan anak itu akhirnya akan dapat tinggal bersama kita dalam keadaan yang rukun dan damai.”

Kwee Cun memandang kepada ibunya dengan mata penuh kasih sayang, lalu katanya, “Ibu, kau seorang yang berhati mulia.”

Demikianlah, anak kecil ini dengan cara pikiran dan pertimbangannya sendiri, telah dapat mengetahui keadaan ayahnya.

Pada hari itu, menjelang senja, datanglah Sian Lun dengan wajah pucat dan lesu.

“Engko Sian Lun datang !” Kwee Cun berteriak berkali-kali dengan girang sekali. Sian

Lun mengangkat anak itu ke atas lalu menurunkannya kembali. Ia menganggap Kwee Cun seperti adiknya sendiri. Ibunya, yakni nyonya Liem Siang Hong, yang semenjak Kwee Cun lahir telah tinggal menjadi satu di gedung itu, menyambut kedatangan puteranya dengan girang.

“Lun-ji, pasukanmu telah lama tiba, mengapa baru sekarang kau datang ? Kau membuat kami merasa gelisah saja. Kemanakah kau pergi ?”

“Aku aku mengurus sebuah hal yang penting, ibu. Mana Kwee siokhu ?” tanyanya

menyimpangkan pertanyaan ibunya itu.

“Di ruang belakang. Ah, Sian Lun, pamanmu itu akhir-akhir ini nampak selalu bersedih saja. Jumpailah dia, siapa tahu kedatanganmu akan menghibur hatinya.”

Sian Lun lalu menuju ke ruang belakang di mana ia disambut oleh pamannya dan bibinya. “Kwee siokhu, aku membawa sebuah berita yang amat penting.”

Melihat sikap pemuda itu, Kwee Siong lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar kerja. Nyonya Kwee yang maklum bahwa sebagai seorang wanita ia tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan suaminya. Ketika melihat Kwee Cun hendak ikut ayahnya ke dalam kamar kerja, nyonya Kwee segera membetot tangannya dan mengajaknya ke belakang.

“Kau dan aku tidak boleh mengganggu ayahmu kalau sedang ada urusan pekerjaan,” katanya. “Mengapa tidak boleh ibu ?”

“Kita tidak dapat membantu, hanya akan merupakan gangguan saja. Kalau kakakmu Sian Lun ada pembicaraan penting dengan ayahmu, tentu mereka itu membicarakan tentang pekerjaan dan urusan negara.”

Akan tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh dua orang itu sama sekali bukanlah urusan negara.

“Siokhu, mulai saat ini sampai malam nanti, harap siokhu sekeluarga jangan keluar dari kamar dan biar aku menjaga di sini, di dekat siokhu sampai bahaya itu datang.”

“Apa maksudmu, Sian Lun ?” tanya Kwee Siong terkejut.

“Siokhu, nanti akan ada orang yang datang dan berusaha menyerang untuk membunuh siokhu.” Pemuda ini sengaja tidak mau menyebut nama Ling Ling, agar orang tua ini jangan menjadi kaget dan berduka.

“Orang mau membunuhku ? Siapakah dia dan bagaimana kau bisa tahu ?” Kwee Siong adalah seorang yang telah lama melakukan pekerjaan sebagai hakim, maka mendengar tentang ada orang hendak membunuhnya, bukan merupakan hal yang aneh karena tentu banyak penjahat merasa dendam kepadanya. Dan karena kebiasaan memeriksa pesakitan, kali inipun ia telah mendesak Sian Lun dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Siokhu, tak perlu kiranya aku beritahukan siapa orangnya yang hendak melakukan hal itu. Tiada gunanya siokhu mengetahui.” Pemuda ini menundukkan mukanya. Ia tidak bisa membohong dan juga bukan seorang ahli dalam memutar balikkan omongan, maka agar dapat bersembunyi dari pandangan mata pamannya yang luar biasa tajamnya, ia menundukkan mukanya.

Berat sekali rasa hatinya untuk memberitahukan siapa orangnya yang hendak melakukan perbuatan jahat ini. Ia tidak ingin orang lain, terutama sekali pamannya, tahu akan maksud jahat dari Ling Ling.

Ia hendak menghadapi gadis yang dicintanya itu sendiri, hendak berusaha sedapat mungkin untuk mencegah gadis itu melanjutkan niatnya. Kalau perlu ia akan mengorbankan nyawanya.

Untuk membiarkan Ling Ling membunuh pamannya, tak mungkin dapat ia lakukan. Dan untuk memberi keterangan sejelasnya kepada pamannya sehingga orang tua ini memandang rendah dan marah kepada Ling Ling atau lalu bertindak untuk menghadapi gadis itu dengan kekerasan sehingga Ling Ling akan mendapat bencana, juga tak dapat dilakukan olehnya. Ia menyinta dan berbakti kepada pamannya yang dianggap sebagai ayah sendiri, akan tetapi iapun amat menyinta Ling Ling.

Hening sejenak, Kwee Siong menatap tajam sedangkan Sian Lun menunduk sambil menahan napas.

“Tentu dia yang akan datang, bukan ? Dia gadis yang bernama Ling Ling dan dijuluki

orang Toat-beng Mo-li, gadis yang dulu hendak membunuh jenderal Li, bukan ?” tiba-tiba Kwee Siong berkata.

Serasa ambruk bangunan rumah di atas kepalanya ketika Sian Lun mendengar pertanyaan ini. Ia cepat mengangkat kepala memandang pamannya dan melihat sinar mata itu menembus dadanya dengan pandang menyelidik, ia tidak berani mencoba-coba untuk menyangkal lagi.

“Siokhu, bagaimana kau dapat menduga demikian tepat ?” tanyanya kagum.

Kwee Siong tersenyum pahit. Tentu saja ia dapat menduga. Kalau penjahat-penjahat biasa yang hendak mengarah nyawanya, tentu Sian Lun takkan menyembunyikan namanya. Sui Giok dan Ling Ling adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah meninggalkan ingatannya, dan ia maklum betapa gadis puterinya itu akan membencinya kalau mendengar dari ibunya betapa ia adalah ayahnya yang seakan-akan telah menyia-nyiakan kehidupan ibunya.

“Sian Lun, mengapa kau menyembunyikan namanya dariku ?” Kwee Siong menjawab pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan pula, pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara menuntut dan penuh selidik.

Berdebar jantung Sian Lun. Tentu saja tak mungkin baginya untuk berkata terus terang bahwa ia menyinta gadis itu. Bahwa ia tidak ingin gadis itu tertangkap dan mendapat celaka, akan tetapi bahwa iapun tidak ingin melihat gadis itu membunuh pamannya.

“Dia ..... dia adalah seorang dara perkasa, seorang pendekar wanita yang sudah berjasa,

yang sudah membantu perjuangan kita, siokhu. Aku hendak mencegahnya melakukan perbuatan yang jahat ini. Siokhu, bolehkah aku mengetahui, mengapakah dia begitu benci kepadamu ? Mengapa dia begitu berkeras hati hendak membunuhmu ?” Melihat wajah pemuda itu yang sedih dan ucapannya yang penuh penasaran dan kepedihan hati itu, mata Kwee Siong yang tajam sudah dapat menduga lebih mendalam lagi.

Posting Komentar