“Ha, ha, ha! Jadi kau membela gadis ini? Agaknya dia adalah kecintaanmu, baik, baik!
Akan kuantar kalian berdua menjumpai Kwan Sun Giok muridku di alam baka!”
Kini pertempuran menjadi makin hebat. Gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu benar- benar hebat. Biarpun ujung lengan baju itu hanya terbuat dari pada bahan kain yang tidak berapa tebalnya, namun karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan menurut aturan dari ilmu silat luar biasa Soan-hong-kim-ko-jiu, maka lengan baju itu merupakan senjata yang luar biasa berbahayanya.
Biarpun, berkali-kali bertemu dengan pedang-pedang pusaka seperti Oei-hong-pokiam dan Pek-hong-pokiam, namun ujung lengan baju itu tidak menjadi putus bahkan tangan kedua orang muda itu terasa kesemutan seakan-akan pedang mereka bertemu dengan benda yang amat keras dan kuatnya.
Makin lama makin banyak orang yang menonton pertempuran ini, dan semua orang tidak berani mendekat, menonton dari jarak jauh sambil menahan napas. Memang pertempuran itu amat indah dilihat. Pedang di tangan Sian Lun menjadi segulung sinar putih yang cepat dan kuat, sedangkan pedang di tangan Ling Ling berobah menjadi segulung sinar kuning yang amat ganas. Adapun lengan baju Liang Hwat Cinjin kadang-kadang terbuka lebar merupakan awan-awan putih yang bergulung-gulung tertiup angin, sehingga nampaknya karena tubuh ketiga orang itu tidak kelihatan lagi, seakan-akan yang bermain di situ adalah seekor naga kuning dan seekor naga putih yang bermain-main di antara mega-mega yang tertiup angin.
Liang Hwat Cinjin merasa penasaran sekali dan diam-diam ia mengagumi ilmu pedang Sian Lun. Pantas saja Kwan Sun Giok, muridnya itu tidak dapat menang, tidak tahunya pemuda itu sudah hampir mewarisi seluruh kepandaian sutenya, Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat dan tosu itu tetap belum dapat mengalahkan kedua orang lawan mudanya, sungguhpun kedua orang muda itu telah terdesak hebat oleh kedua lengan bajunya. Bahkan Ling Ling nampak pucat sekali dan keringat telah membasahi jidatnya.
Gadis ini memang telah merasa tidak enak badan dan kini karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, ia merasa kepalanya pening dan tubuhnya panas bagaikan terbakar. Hanya semangat dan keberaniannya yang luar biasa sajalah yang membuat ia masih kuat melakukan pertempuran hebat itu.
Pada saat itu terdengar seruan. “Kim-kong Lo-koai, kau memang jahat sekali!” Dan tiba-tiba seorang tosu tua berkelebat datang dan menggunakan sebatang tongkat bambu menyerbu dan menyerang Liang Hwat Cinjin.
“Beng Kui Tosu, kau mau ikut-ikut?” Liang Hwat berseru marah, akan tetapi diam-diam ia mengeluh karena dengan adanya tosu tua yang amat tangguh ini, ia merasa tak sanggup melawan terus. Tadipun menghadapi Ling Ling dan Sian Lun, biarpun ia selalu dapat mendesak, namun kegesitan tubuh kedua orang muda itu telah membuat kepalanya pening dan sukar baginya untuk merobohkan seorang di antara mereka.
Kini tertambah pula oleh Beng Kui Tosu, tokoh dari Kun-lun-san yang kepandaiannya tinggi juga, tentu saja berat baginya menghadapi keroyokan ketiga orang ini. Biarpun tingkat kepandaian Beng Kui Tosu tidak lebih tinggi dari pada kepandaian Ling Ling atau Sian Lun, namun tosu ini telah banyak pengalaman dalam pertempuran dan oleh karenanya bambu di tangannya itu tidak kalah lihainya dari pada pedang pusaka di tangan Sian Lun atau Ling Ling.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di antara para penonton, “Dia Liem-ciangkun! Hayo keroyok tosu siluman itu!” Dan banyak orang datang dengan senjata di tangan, siap mengeroyok Liang Hwat Cinjin.
Ternyata mereka itu adalah bekas pejuang-pejuang atau pemberontak-pemberontak yang mengenal Liem Sian Lun sebagai pemimpin mereka ketika dahulu menyerbu ke Tiang-an.
Melihat gelagat tidak baik, Liang Hwat Cinjin tertawa bergelak dan tubuhnya melompat cepat sekali dan lenyap dari pandangan mata.
Sian Lun lalu menghampiri Beng Kui Tosu dan berlutut. “Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu.” Akan tetapi Beng Kui Tosu setelah mengelus-elus kepala bekas muridnya ini lalu berkata, “Lihat, Sian Lun, nona ini agaknya sakit.”
Sian Lun terkejut sekali dan cepat menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Ling Ling berdiri sambil meramkan mata.
Wajahnya pucat sekali dan tiba-tiba gadis itu menjadi limbung, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia tentu sudah roboh kalau Sian Lun tidak cepat-cepat melompat dan memeluknya. Sementara itu, beberapa belas orang bekas anak buahnya sudah merubungnya dan di antaranya berkata,
“Liem-ciangkun, marilah bawa nona itu ke rumahku untuk dirawat.”
Beramai-ramai mereka lalu menuju ke rumah orang she Thio yang peramah itu. Ling Ling dipondong oleh Sian Lun yang merasa amat gelisah karena tubuh gadis itu ternyata amat panas bagaikan api.
Untung sekali bahwa pendeta Kun-lun-pai ini, yaitu Beng Kui Tosu, paham akan ilmu pengobatan. Setelah memeriksa nadi tangan Ling Ling dan merabah jidatnya, pendeta ini lalu berkata perlahan,
“Ah, dia tidak terkena pukulan dan tidak terluka, hanya menderita demam akibat gigitan nyamuk berbisa!”
“Memang malam tadi kami berdua bermalam di tepi rawa, suhu.”
Beng Kui Tosu mengangguk-angguk maklum. “Tidak apa, tak usah gelisah, ada obatnya untuk penyakit ini.” Ia lalu menulis resep dan minta seorang di antara bekas anak buah Sian Lun untuk mencarikan obat itu di toko obat. Orang she Thio itu sendiri lalu pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli obat di toko obat.
“Penyakitnya tidak berbahaya,” kata tosu itu kepada Sian Lun, “dengan rawatan dan istirahat, kau beri minum obat itu selama beberapa hari saja akan sembuh. Siapakah nona ini dan mengapa pula kau sampai bertempur melawan Kim-kong Lo-koai yang lihai?”
Dengan singkat Sian Lun menuturkan pengalamannya. Tosu itu mengangguk-angguk lalu berkata,
“Nona ini ilmu pedangnya hebat sekali. Agaknya cocok kalau bisa menjadi jodohmu, Sian Lun.”
Pemuda itu hanya menunduk dengan muka merah. Kemudian tosu itu lalu berpamit untuk melanjutkan perantauannya, karena tosu Kun-lun-pai ini memang seorang perantau yang tiada tentu tempat tinggalnya.
Dengan amat teliti dan sabar, Sian Lun merawat Ling Ling hingga empat hari kemudian setelah sembuh, gadis ini merasa amat terharu dan berterima kasih. Akan tetapi, ia merasa malu untuk memperlihatkan perasaannya, hanya kini ia tidak marah-marah lagi kepada Sian Lun. “Kau baik sekali, Liem-ciangkun. Mengapa kau sebaik itu kepadaku?” hanya inilah ucapannya ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri memberi obat minum kepadanya.
“Nona, kau adalah seorang gagah yang berbudi tinggi dan telah berjasa dalam perjuangan. Kita boleh dibilang orang-orang segolongan dan kebetulan sekali kita melakukan perjalanan yang sama, mengalami bahaya yang sama serta bertemu dengan Liang Hwat Cinjin yang berbahaya. Mengapa aku tidak akan merawatmu? Tak usah bicara tentang kebaikan, karena kalau aku yang tertimpa malapetaka, aku percaya penuh bahwa kaupun takkan tega meninggalkan aku begitu saja.”
“Belum tentu,” kata Ling Ling sambil menghindari pandang mata pemuda ini. “Aku, aku
keras hati dan keras kepala.”
Sian Lun tersenyum. Dia sendirilah yang menyebut keras hati dan keras kepala kepada gadis itu.
“Apa kau kira aku tidak keras kepala? Kita sama saja, nona, dan haruskah kita bersikap
seperti orang yang belum saling mengenal? Tak enak sekali mendengar kau menyebut ciangkun kepadaku. Di dalam barisan mungkin aku seorang panglima, akan tetapi di luar barisan, aku hanyalah Liem Sian Lun, orang biasa saja.”
Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya melengoskan muka untuk menyembunyikan mukanya, akan tetapi pemuda itu telah melihat betapa air mata mengucur deras dari sepasang mata gadis itu.
“Nona...... Ling Ling. kau mengapakah?” bisiknya perlahan.
Gadis ini dalam keadaan sakit teringat akan nasibnya, teringat akan ibunya yang sudah meninggal dunia, teringat pula akan ayahnya, orang yang sesungguhnya akan menjadi orang satu-satunya yang dapat diminta tolong, menjadi tempat ia berlindung, akan tetapi, ayahnya telah menjadi ayah orang lain dan ia hanya akan menjadi anak tiri.
Selama hidupnya, baru dua orang yang menaruh hati kasih sayang kepadanya, yang memperhatikan dan mengurusnya, yakni neneknya dan ibunya. Bu Lam Nio dan ibunya telah meninggalkannya. Dan sekarang, dalam keadaan sebatang kara, seorang diri tiada orang lain yang dapat dimintai tolong, ia jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang demikian baiknya dari seorang yang “dibencinya” !”
Mengingat akan hal ini dan mendengar pertanyaan pemuda itu yang diucapkan dengan penuh perhatian, tak terasa lagi Ling Ling menangis tersedu-sedu. Baru kali ini dia menangis terisak- isak dengan hati serasa diperas-peras.
“Kau..... kau terlalu baik padaku..... Liem-ciangkun, keluarlah. keluarlah, tinggalkan aku
sendiri ” tangis Ling Ling menjadi-jadi.
“Akan tetapi minumlah dulu obat ini, nona.” Sian Lun mendekatinya sambil memegang mangkok berisi obat.
“Biarkan saja, aku dapat minum sendiri. Keluarlah, Liem-ciangkun ...... Sian Lun menarik napas panjang. Sungguh ia tidak dapat mengerti akan sikap gadis ini.
“Kau masih lemah, nona. Tak dapat minum sendiri. Biarlah aku menyuruh enso Thio ke sini.” Setelah meletakkan mangkok obat itu ke atas meja, Sian Lun lalu keluar dan memanggil nyonya Thio. Nyonya rumah ini amat peramah seperti suaminya, dan ia segera masuk ke dalam kamar gadis itu.
“Nona, minumlah obat ini agar kau lekas sembuh.”
Dibantu oleh nyonya Thio, Ling Ling bangun duduk dan minum obat ini. “Terima kasih enci, kau benar-benar baik sekali. Aku berhutang budi kepadamu.”
“Hush, mengapa bicara tentang budi? Kalau mau bicara tentang budi, kau harus ingat kepada Liem-ciangkun. Dialah yang merawatmu selama ini, dia lupa makan, lupa tidur mengkhawatirkan keadaanmu.”
Ling Ling memandang kepada nyonya itu dengan air mata berlinang. “Benarkah, enci?”