Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 40

NIC

Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa girangnya ini dan berganti merasa gemas. Ia ingin berlari secepatnya, akan tetapi tidak mungkin melakukan hal ini dalam daerah yang demikian berbahaya. Ia maklum bahwa tanah berlumpur yang membentang luas di depannya itu belum tentu tanah keras, dan kalau sekali kakinya terjeblos ke dalam rawa yang tertutup rumput, akan celakalah dia.

Sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya dan mereka berdua berjalan tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tanpa saling pandang, bagaikan dua bayangan setan berkeliaran di daerah menyeramkan itu.

“Gadis bandel!” tiba-tiba Sian Lun berkata perlahan. Ia marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum di dalam gelap. Telah berkali- kali ia dibikin mendongkol dan marah oleh pemuda ini, dan kali ini ia merasa girang dapat membalas dendam dan membuat Sian Lun marah dan mendongkol.

Pemuda ini, sudah beberapa kali lewat di daerah ini, maka ia lebih hafal akan liku-liku jalan di situ, tahu di mana letaknya rawa-rawa yang berbahaya. Akan tetapi ia diam saja dan hanya menurut ke mana Ling Ling memilih jalan. Ia maklum bahwa gadis itu telah tersasar dan salah jalan, akan tetapi ia diam saja.

Setelah berjalan tersaruk-saruk dan bulan telah muncul, menambah keseraman tempat itu, belum juga mereka dapat keluar dari daerah liar ini, bahkan tiba-tiba Ling Ling menahan kakinya dan melompat mundur. Hampir saja ia celaka, karena ketika kakinya menyentuh rumput di depannya, ternyata bahwa di bawah rumput itu terdapat lumpur. Baiknya ia berlaku hati-hati, kalau tidak tentu ia akan terjeblos ke dalam lumpur dan berbahaya.

Ling Ling melompat ke belakang bagaikan diserang ular. Ia berjalan ke kanan, akan tetapi baru beberapa belas tindak kembali ia menghadapi lumpur berumput. Ke kiri tidak mungkin, karena di sana membentang jurang yang amat dalam. Untuk kembali? Ah, bagaimana ia harus kembali melalui jalan tadi yang demikian jauhnya? Ia berdiri termenung dengan bingung.

“Kita telah salah jalan,” kata Sian Lun dengan suara tenang, akan tetapi mengandung kegembiraan, karena diam-diam ia mentertawakan gadis itu.

Ling Ling cemberut. “Kau sudah tahu dari tadi?” “Tentu saja aku tahu,” jawab pemuda itu.

“Kurang ajar! Kalau sudah tahu mengapa diam saja? Mengapa kau membiarkan kita tersesat ke jalan buntu ini?”

“Kuberitahu juga kau takkan percaya omonganku, apa perlunya? Biarlah, gadis kepala batu seperti engkau perlu sewaktu-waktu mendapat hajaran.”

“Tutup mulutmu! Siapa suruh kau mengikuti perjalananku? Kau pergilah dan biarkan aku sendiri!” Suara yang marah ini mengandung isak yang ditahan.

Akan tetapi Sian Lun tidak menjawab, bahkan ia lalu mengumpulkan daun-daun kering dan memanjat pohon untuk mengambil ranting-ranting kering. Ditumpuknya daun dan ranting itu di situ lalu ia membuat api unggun.

“Pergi!” seru Ling Ling. “Mengapa kau tidak mau pergi? Aku tidak ingin ditemani!” “Di sini bukan tempat milikmu, di sini daerah rawa, tiada pemiliknya. Siapa saja boleh bermalam di sini. Kau suruh aku pergi ke mana? Kembali ke jalan tadi, mungkin akan tersasar ke tempat yang lebih berbahaya lagi. Tahukah kau bahwa tak jauh dari sini terdapat daerah yang penuh dengan ular-ular kecil berbisa? Bagaimana kau dapat melawan ular-ular kecil yang tiba-tiba menyerang kakimu dari dalam gelap? Sekali saja kena gigitan seekor ular itu, tubuh kita akan menjadi kaku dan bengkak-bengkak, nyawa takkan tertolong lagi. Ke mana aku harus pergi? Aku akan bermalam di sini dan besok kalau sudah terang tanah, barulah dapat kita keluar dari neraka ini.”

Meremang bulu tengkuk Ling Ling mendengar cerita tentang ular-ular berbisa itu. Padahal cerita ini amat dilebih-lebihkan oleh Sian Lun. Dengan jengkel sekali Ling Ling duduk di bawah pohon di mana Sian Lun mengambil ranting-ranting tadi dan ia memandang kepada pemuda itu yang mengatur ranting dan daun yang mulai bernyala.

Kemudian Sian Lun duduk menghadapi Ling Ling. Untuk beberapa lama mereka diam saja dan agaknya di dalam cahaya api unggun yang suram itu, Sian Lun lebih berani memandang dan menatap wajah gadis itu lebih lama. Karena di dalam keadaan yang agak gelap ini, sinar mata gadis itu yang luar biasa tajamnya tidak begitu menikam pandang matanya.

“Jadi kau adalah ahli waris dari Panglima Besar Kam Kok Han?” tanya Sian Lun kemudian. “Ya,” jawab Ling Ling singkat.

“Jadi kau she Kam?”

“Bukan,” kembali jawaban yang singkat sekali.

Sunyi kembali sampai lama. Sian Lun merasa heran melihat keadaan gadis yang menarik perhatiannya ini. Seorang gadis yang keras hati dan galak, seakan-akan telah mengeras dalam rendaman air pengalaman yang pahit getir.

Siapakah dia ini? Ada hubungan apakah dengan Kwee Siong? Betapapun juga, ia seorang gadis patriot yang gagah perkasa, dan seorang yang berpribudi tinggi. Buktinya, gadis yang pernah bermusuhan dengan Pek-sim-kauw ini, akhirnya di dalam perjuangan bahkan menjadi pemimpin pasukan Pek-sim-kauw yang amat terkenal dan ditakuti musuh.

“Nona, aku telah mendengar bahwa namamu Ling Ling, akan tetapi siapakah shemu?”

Hampir saja Ling Ling menjawab untuk mengaku terus terang, akan tetapi ia teringat bahwa pengakuannya ini akan membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Kwee Siong. Ia tidak mau pemuda ini mengetahui bahwa dia adalah puteri Kwee Siong, maka ia lalu menutup kembali bibinya yang sudah hampir digerakkan.

“Nona, mengapa kau diam saja? Apakah terlalu kurang ajar pertanyaanku tadi?” setelah menanti agak lama Sian Lun berkata lagi.

“Sudahlah, jangan banyak tanya,” akhirnya Ling Ling menjawab juga, “aku lelah dan mengantuk, hendak tidur!” Sambil berkata demikian, gadis itu berdiri dan hendak pergi menjauhkan diri dari tempat itu. “Eh, nona, mengapa pergi? Mau tidur, tidurlah saja di sini, di bawah pohon dekat api unggun. Biarlah aku yang pergi menjauhkan diri kalau kau tidak ingin berdekatan dengan aku.”

Akan tetapi Ling Ling menoleh sambil berkata, “Aku tidak biasa tidur dalam terang api. Menyilaukan mata. Padamkanlah api unggunmu yang menyilaukan itu!”

“Mana bisa dipadamkan? Api ini mengusir binatang-binatang kecil yang mengganggu kita. Dan pula, hawa malam begini dingin.” Sian Lun membantah.

Ling Ling membanting-banting kakinya. “Kalau begitu, mengapa kau menawarkan tempat itu kepadaku? Kau selalu membantah dan membawa kehendak sendiri. Keras kepala!” Gadis ini dengan marah lalu menjahui tempat itu, berjalan kembali ke jalan tadi, kemudian merebahkan diri di bawah pohon berikutnya, tak jauh dari tempat Sian Lun.

Ia dapat melihat pemuda itu berdiri di dekat api unggun sambil memandang ke arahnya. Akan tetapi Ling Ling tidak perduli, membuka buntalan pakaiannya dan segera duduk bersandar ke pohon dan menyelimuti tubuhnya dengan sebuah mantelnya.

Gadis aneh, pikir Sian Lun sambil duduk bersandar pohon itu, aneh, galak, akan tetapi

amat manis dan menarik hati........

******

Pada keesokan harinya, Ling Ling bangun dari tidurnya dengan tubuh lemas. Ia hampir tak dapat tidur malam itu karena benar saja, banyak nyamuk yang mengganggunya. Ia telah menutupi seluruh tubuhnya, akan tetapi nyamuk di daerah rawa itu benar-benar bandel.

Binatang-binatang kecil itu dapat menggigitnya melalui mantelnya dan mukanya menjadi sasaran. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi ia merasa malu untuk membuat api unggun seperti Sian Lun.

Ketika pada pagi hari itu ia hendak melanjutkan perjalanan dengan diam-diam tanpa memberi tahu kepada pemuda itu, ternyata bahwa Sian Lun telah mendahuluinya dan datang mendekatinya.

“Enak tidur?” tanya pemuda ini sambil tersenyum. Panas hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini yang dianggapnya seperti olok-olok karena tidak tahukah pemuda itu betapa ia menderita gangguan nyamuk? Ia sama sekali tidak tahu bahwa juga Sian Lun tidak tidur malam itu, sungguhpun bukan karena gangguan nyamuk, akan tetapi gangguan hati sendiri yang mulai jatuh cinta kepadanya.”

“Kau yang enak tidur!” jawabnya mendongkol. “Bagaimana aku dapat tidur di tempat seperti neraka ini?”

“Nona, harap kau jangan terlalu mencurigaiku. Kalau saja kau menurut kata-kataku, tentu kau tidak akan mengalami kekecewaan. Aku lebih hafal akan jalan-jalan di sini dan percayalah, aku akan membawamu ke Tiang-an, dan takkan kuhalangi segala tindakanmu kecuali kalau sudah sampai di kota itu.” Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi ia tidak membantah dan mengikuti pemuda itu ketika Sian Lun mengajaknya keluar dari daerah rawa itu. Mereka berjalan kembali ke jalan yang kemaren kemudian membelok ke kanan dan selanjutnya Sian Lun yang menjadi penunjuk jalan.

Mereka melakukan perjalanan bersama, merupakan pasangan yang amat sedap dipandang karena mereka sama-sama muda, gagah dan elok. Akan tetapi, di sepanjang jalan mereka tidak pernah, atau jarang sekali bicara.

Ling Ling merasa betapa tubuhnya terasa tidak enak sekali dan kepalanya kadang-kadang pening. Akan tetapi tentu saja ia tidak sudi memperlihatkan keadaannya kepada Sian Lun.

Ia mengira bahwa ia terlampau lelah dan kurang tidur, dan ia tidak mau menyatakan kelemahannya terhadap Sian Lun. Padahal sebetulnya ia telah terserang oleh bisa gigitan nyamuk-nyamuk malam tadi.

Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah dusun dan Sian Lun yang melihat betapa gadis itu wajahnya pucat dan penuh keringat lalu berkata.

“Kita beristirahat dulu dan mengisi perut.” “Aku tidak ingin makan!” bantah Ling Ling.

“Ingat, nona. Aku yang menjadi penunjuk jalan dan sekarang aku merasa lapar dan lelah. Kau pun nampak lelah, mengapa berkeras kepala?”

“Kau yang keras kepala!” kata Ling Ling merengut, akan tetapi ia mengikuti pemuda itu yang melangkah masuk ke dalam sebuah restoran.

“Dua bubur, bebek tim dan air teh.” Sian Lun memesan kepada seorang pelayan yang menghampiri mereka. Pelayan itu mengangguk dan pergi ke belakang untuk menyediakan pesanannya.

“Aku tidak suka bubur dan bebek tim, apalagi air teh!” Ling Ling membantah. “Aku ingin daging dan arak!”

“Dalam keadaan seperti ini, tidak baik makan daging dan minum arak, nona. Kesehatanmu bisa terganggu.”

Ling Ling dengan mata melotot, akan tetapi dalam pandangan Sian Lun, ia nampak makin cantik dan menarik kalau sedang marah.

Posting Komentar