Makin tinggi orang memuji ayahnya makin banyak orang mengingatkan kepadanya akan kemuliaan ayahnya, makin teringatlah Ling Ling akan kesengsaraan ibunya dan makin panaslah hatinya. Ia tersenyum mengejek dan menjawab sambil berdiri dan mencabut pedangnya.
“Kau kira aku takut menghadapi siapapun juga? Biarpun ada selaksa dewa hendak melindungi orang she Kwee itu, tetap aku hendak membunuhnya!”
Mulai panas darah Sian Lun. Betapapun ia mengagumi gadis ini dan menaruh hati kasihan mendengar kematian ibu gadis ini, namun sikap gadis itu dianggapnya amat keterlaluan.
Iapun bangkit berdiri dan berkata.
“Dan dengarlah, nona. Orang pertama yang akan menghalangi kehendakmu yang kejam itu bukan lain orang adalah aku sendiri!”
“Kau. ?” Ling Ling memandang tajam sambil mengangkat alisnya yang berbentuk
melengkung seperti bulan sabit itu.
“Ya, aku sendiri! Aku yang telah diperlakukan dengan baik oleh Kwee-susiok, yang telah dianggap sebagai anak sendiri, aku takkan membiarkan siapapun juga mengganggunya!” “Manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Apa kau kira dulu aku sudah kalah olehmu? Cabutlah pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran yang dulu!” tantang Ling Ling.
“Nona, haruskah kita bertempur lagi? Mengapa kau begitu berkeras hendak membunuh pamanku? Berilah penjelasan agar aku ikut pula mempertimbangkan apakah niatmu itu benar atau salah.”
“Bukan urusanmu, tak usah kau bertanya lagi. Pendeknya aku hendak membunuh Kwee Siong dan kalau kau menghalangiku boleh kau mencoba mengalahkanku!”
Terpaksa Sian Lun mencabut pedangnya Oei-hong-kiam. “Menyesal sekali, nona. Aku tak ingin bertempur dengan kau. ”
“Awas pedang!” teriak Ling Ling tanpa memperdulikan ucapan ini dan langsung menyerang dengan sebuah tusukan berbahaya. Sian Lun cepat menangkis dan berpijarlah bunga api ketika dua pedang pusaka itu bertemu.
Ling Ling menyerang lagi dan mainkan pedangnya dengan hebat sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sian Lun terpaksa mengimbangi permainan pedang nona ini dan pedang Oei-hong-kiam segera diputarnya merupakan segulung sinar kuning yang tak kalah cepatnya.
Demikianlah, kedua orang muda yang lihai itu kembali mengadu kepandaian di dalam hutan, ramai dan seru, tanpa ada seorangpun yang menjadi saksi.
Sian Lun bertempur dengan hati-hati. Ia maklum bahwa gadis ini amat lihai. Ginkang dan lweekangnya berimbang dengan kepandaiannya sendiri dan ilmu pedang gadis itu luar biasa ganasnya.
Betapapun juga, ia tidak tega untuk melukai gadis ini, dan bertempur hanya dengan maksud menguji kepandaian saja dan kalau ia mencari kemenangan juga, bukan dengan cara merobohkan gadis itu dalam keadaan terluka. Ia hanya akan merampas atau melepaskan pedang dari tangan nona itu. Akan tetapi ia maklum bahwa hal ini bukanlah mudah saja.
Sebaliknya, Ling Ling yang sudah tahu pula akan kepandaian pemuda ini, kini berusaha untuk mengalahkan lawannya dan bertempur dengan amat sengitnya. Dalam keadaan demikian, maka sedikit kelebihan permainan pedang Sian Lun menjadi tertutup dan pertempuran itu menjadi berimbang dan luar biasa ramainya.
Seratus jurus lewat tanpa terasa, dan belum juga di antara kedua orang muda ini ada yang kalah atau menang. Mereka saling serang dan saling desak, mengeluarkan gerak-gerak tipu yang terlihai. Betapapun juga, diam-diam Ling Ling harus mengakui keunggulan pemuda itu, karena setelah pertempuran berjalan seratus lima puluh jurus, ia mulai merasa lelah dan telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas dan perih. Adapun Sian Lun lawannya masih nampak kuat dan gerakan serta kecepatannya tidak berkurang.
Akhirnya Sian Lun merasa bahwa ia takkan dapat mengalahkan nona yang nekat ini tanpa melukainya. Akan tetapi bagaimana ia sampai hati untuk melukai nona yang dikagumi dan dikasihinya ini? Dan sedikit saja ia melamun, tiba-tiba ujung pedang Pek-hong-kiam di tangan Ling Ling sudah menyerangnya dengan gerak tipu Kim-gan-liong-hian-jiauw (Naga Bermata Emas Mengulur Kuku).
Sedangkan pada saat itu pedangnya masih tersembunyi di balik lengan ketika ia tadi bergerak dengan gerak tipu Burung Walet Menyembunyikan Ekor. Melihat serangan maut ini, Sian Lun terkejut sekali dan cepat ia mempergunakan tenaga pergelangan tangan untuk memutar pedangnya yang segera meluncur ke depan melakukan tangkisan ke arah ujung pedang lawan yang menusuk ke arah dadanya.
“Traaang!” dua pedang itu beradu keras sekali. Saking hebatnya tenaga keduanya yang dikeluarkan pada saat genting itu, ujung pedang Ling Ling meleset dan meluncur cepat ke arah tenggorokan Sian Lun sedangkan pedang Sian Lun sebaliknya kena terpukul dan melesat menuju ke arah pundak gadis itu.
Keduanya terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tiada waktu lagi. Dengan cepat tangan kiri mereka bergerak. Ling Ling melakukan gerakan Kwan-im-siu-kiam (Dewi Kwan-im Menyambut Pedang) sedangkan Sian Lun membuat gerakan Siauw-kin-na-jiu-hwat mencengkeram ke arah gagang pedang gadis itu.
Gerakan mereka begitu kuat dan cepat sehingga pada saat itu juga, pedang mereka telah pindah tangan. Oei-hong-kiam telah terampas oleh Ling Ling sedangkan Pek-hong-kiam terampas oleh Sian Lun. Mereka terhindar dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja mereka menjadi pucat dan mengeluarkan keringat dingin
Sian Lun cepat melompat ke belakang dan menjura.
“Nona, ilmu pedangmu benar-benar luar biasa sekali. Dan pedang inipun amat baiknya.”
“Pedang itu adalah pedang suhumu, Liang Gi Cinjin. Biarlah kau kembalikan kepadanya. Adapun pedang ini ”
Ling Ling menggerak-gerakkan Oei-hong-kiam yang terasa lebih enak ditangannya, karena pedang ini gagangnya lebih kecil dan lebih cocok untuk jari-jari tangannya. “Pedang ini adalah pedang dari Panglima Kam Kok Han, dan aku sebagai ahli waris ilmu pedangnya, .....
aku berhak mendapatkan pedang ini!”
Sambil berkata demikian, Ling Ling memandang kepada pemuda itu dengan sikap menantang.
Sian Lun menjadi tertegun. “Kau , kau hendak merampas pedang itu? Kembalikan, nona.
Pedang itupun boleh kupinjam dari Jenderal Li!”
“Bukankah kau dulu merampasnya dari seorang panglima kerajaan Sui? Pedang ini bukan pedangmu, bukan pula pedang Jenderal Li, akan tetapi adalah pedang dari mendiang Panglima Kam! Kalau kau ada kepandaian, boleh kau rampas kembali, pedang ini sekarang sudah berada di tanganku!” kembali Ling Ling memandang dengan sikap menantang.
Untuk sesaat teganglah semua urat dalam tubuh Sian Lun. Ia hendak bergerak menyerang nona itu untuk merampas kembali pedangnya, akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan kemudian bahkan duduk di atas rumput sambil tersenyum. “Biarlah, ambillah. kalau kau kehendaki, asal saja kau jangan membunuh paman Kwee.”
“Kau perduli apa dengan segala niatku? Kalau masih penasaran, hayo kau berdiri dan mari kita lanjutkan pertempuran kita!”
Akan tetapi Sian Lun menggelengkan kepalanya. “Kau serang dan bunuhlah aku kalau kau mau. Aku tiada nafsu untuk bertempur mati-matian seperti orang gila, tanpa ada alasannya. Aku tidak percaya kau tidak akan malu menyerang seorang yang tidak melawan.”
Karena iapun sudah merasa lelah sekali, Ling Ling lalu menyimpan pedangnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan bersandar pada pohon. Kembali kedua orang muda itu duduk berhadapan di atas rumput seperti tadi sebelum mereka bertempur mati-matian.
Matahari telah mulai bersembunyi di balik pohon-pohon dan hawa mulai terasa dingin. Setelah melepaskan penat, Ling Ling bangkit kembali, dan Sian Lun menegurnya. “Hendak ke manakah, nona?”
“Ke mana lagi? Tentu ke Tiang-an!” jawaban ini terdengar penuh tantangan. “Kalau aku jadi engkau, aku takkan melewati daerah seribu rawa di malam hari.” “Apa maksudmu?”
“Kalau kau keluar dari hutan ini, kau akan tiba di daerah yang penuh dengan rawa-rawa yang amat berbahaya. Tidak saja banyak sekali rawa-rawa yang tertutup rumput dan merupakan perangkap maut yang mengerihkan, bahkan di situ juga banyak sekali terdapat binatang- binatang berbisa. Tak mungkin ada orang dapat melalui tempat itu di waktu malam!”
Ling Ling adalah seorang gadis yang keras hati, keras kepala, dan bandel. Apalagi yang mengeluarkan kata-kata tadi adalah seorang pemuda yang menjadi musuhnya, pemuda yang “dibencinya”, tentu saja ia tidak sudi untuk mentaati nasehatnya. Ia teringat akan daerah berawa ini, karena dulu ia pernah lewat di daerah ini.
“Aku tidak takut!” katanya dan cepat ia berlari pergi. Ketika ia keluar dari hutan itu, tibalah ia di daerah penuh rawa itu, nampak gelap, sunyi dan menyeramkan. Matahari telah lenyap, terganti oleh malam yang remang-remang, dengan pohon-pohon besar menjulang dan jurang di sana-sini, seperti raksasa-raksasa setan menanti kedatangannya penuh ancaman.
Tak terasa lagi Ling Ling merasa ngeri juga dan ia menengok ke belakang. Dari jauh, nampak sosok tubuh orang merupakan bayang-bayang yang bergerak ke arahnya. Ia terkejut, akan tetapi setelah bayangan itu mendekat, ia mengenal itu sebagai bayangan Sian Lun.
Ling Ling merasa girang sekali, akan tetapi hanya untuk sebentar. Siapa orangnya yang takkan merasa girang kalau melihat seorang yang telah dikenalnya dalam malam yang menyeramkan di daerah yang mengerihkan itu, sungguhpun orang itu seperti Sian Lun sekalipun.