Sian Lun menggerakkan alisnya dan tersenyum pahit. “Beginikah sikapmu kepada orang yang telah berusaha membantumu? Nona, kau agaknya benci kepadaku. Ada apakah dan apakah kesalahanku?”
“Tidak ada yang benci dan tidak ada yang salah! Aku hanya ingin tahu mengapa kau menyusulku?”
“Nona, aku hanya ingin menyatakan bahwa pamanku Kwee Siong telah mencari-cari dan menanti-nanti kau dan ibumu.”
Berkerut kening Ling Ling mendengar nama Kwee Siong disebut-sebut. “Aku tidak kenal pamanmu. Ada apa dia menanti-nanti kami?”
“Entahlah, hanya aku tahu bahwa paman sedang sakit dan seringkali menanyakan kau dan ibumu. Di manakah ibumu?”
“Ibu. ibu sudah meninggal dunia!” Setelah berkata demikian Ling Ling melompat dan lari
lagi dengan cepatnya. “Nona, tunggu dulu. !”
Ling Ling berlari terus, akan tetapi Sian Lun mengejarnya dan karena ia sudah lelah sekali, Ling Ling terpaksa berhenti. Sian Lun melihat kini betapa air mata telah mengalir turun di kedua pipi gadis itu yang agak pucat.
“Mengapa kau mengejarku? Apakah kau menagih budimu ketika kau menolongku tadi? Nah, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu, dan sekarang pergilah!”
Sian Lun memandang dengan penuh iba. “Nona, aku menyesal sekali, yakni tentang
ibumu. ”
“Jangan kau sebut-sebut akan hal ibuku. Ibu telah gugur dalam pertempuran, tidak ada hubungannya dengan kau.”
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan dua orang perwira pembantu Sian Lun tiba di tempat itu. “Liem-ciangkun, musuh telah dipukul habis. Sebagian besar telah menyerah. Menanti perintah!”
Demikian kata mereka sambil turun dan berdiri dengan sikap gagah.
“Bawa semua tawanan dan kembalikan ke Tiang-an. Kau mewakili aku memimpin pasukan. Seperti biasa, berlakulah keras, jangan biarkan anak buah kita meninggalkan barisan,” perintah Sian Lun dengan suara keren. Kedua pembantunya memberi hormat dan pergi lagi menunggang kuda.
“Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal!” kata Ling Ling.
“Nanti dulu, nona. Kau telah banyak berjasa dalam perjuangan kami, apakah kau tidak mau bersamaku kembali ke Tiang-an? Sungguh, nona, pamanku amat mengharap-harap kedatanganmu.”
“Memang aku mau ke Tiang-an, akan tetapi tidak bersama engkau!” Berseri wajah Sian Lun mendengar ini,
“Bagus, kau tentu akan datang kepada pamanku Kwee Siong, bukan? Baik sekali.”
“Memang aku akan mencari orang she Kwee itu, untuk membunuhnya dengan pedangku!” Setelah berkata demikian, Ling Ling melompat dan berlari pergi.
Untuk sejenak Sian Lun berdiri bagaikan sebuah patung batu. Ucapan yang dikeluarkan dengan sengit oleh gadis itu benar-benar telah membuatnya terheran-heran dan terkejut sekali. Ada apakah antara pamannya dan gadis ini serta ibunya yang telah gugur? Ah, ia harus mencegah maksud gadis itu. Setelah melihat bayangan Ling Ling lenyap dibalik pohon-pohon barulah Sian Lun menjadi terkejut dan cepat ia lalu melompat dan berlari cepat mengejar.
Dengan hati yang amat berat karena masih berduka mengingat kematian ibunya, Ling Ling berlari dengan cepat sekali. Kakinya telah terasa lelah dan lemahlah seluruh tubuhnya. Ia telah bertempur melawan musuh-musuh yang tangguh dan telah sehari lamanya ia tidak makan.
Akan tetapi ia tidak mau berhenti mengaso karena maklum bahwa pemuda she Liem itu tentu akan mengejarnya.
Ketika ia tiba di sebuah dusun dan melihat, bahwa pemuda itu tidak dapat menyusulnya, ia lalu masuk ke sebuah restoran dan memesan makanan. Setelah makan dan beristirahat sejenak, pulihlah kembali kekuatannya dan ia merasa tubuhnya sehat. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dan alangkah mendongkolnya ketika tiba di luar dusun itu, pemuda she Liem itu telah menantinya sambil duduk di atas rumput seorang diri.
Ling Ling berpura-pura tidak melihatnya dan hendak berlari terus, akan tetapi Sian Lun berkata.
“Nona Ling Ling, mengapa tergesa-gesa? Akupun hendak menuju ke Tiang-an. Tidak sudikah kau melakukan perjalanan bersamaku?” “Kau melakukan perjalanan, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak melarang orang menuju ke Tiang-an,” jawab Ling Ling merasa marah kepada dirinya sendiri mengapa melihat pemuda ini hatinya berdebar girang.
Sian Lun terpaksa mempercepat langkahnya agar dapat mengimbangi kecepatan lari gadis aneh ini.
“Nona, bukankah kau adalah nona yang dulu pernah menerima pedang Pek-hong-kiam dari Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-sim-kauw?”
“Memang akulah yang dimaksudkan oleh suhumu itu. Dia seorang yang baik hati, akan tetapi suhumu itu masih mempunyai hutang kepadaku yang harus dibayarnya!”
Setelah berkata demikian, kembali Ling Ling berlari pergi tanpa memperdulikan kepada Sian Lun lagi. Pemuda ini segera mengejarnya. Ling Ling mengerahkan kepandaiannya berlari cepat yang disebut Couw-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput). Ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya karena ia hendak mencoba apakah pemuda itu akan dapat mengejarnya.
Sian Lun merasa penasaran sekali melihat betapa gadis itu berlari dengan amat cepatnya. Iapun lalu mengeluarkan ilmunya berlari cepat yang disebut Keng-sin-sut dan setelah berlari- larian beberapa belas li, akhirnya dapat juga ia mengejar gadis itu.
“Nona, kau sungguh terlalu. Mengapa kita tidak berjalan perlahan saja menuju ke Tiang-an? Apakah yang membuat nona demikian terburu-buru?”
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi tiba-tiba lalu duduk di atas rumput di bawah sebatang pohon besar. Enak sekali duduk di situ, ditiup angin sambil mendengarkan gemersiknya daun- daun pohon tertiup angin. Peluhnya mengalir dari atas jidat, disapunya dengan sehelai saputangannya.
Sian Lun juga duduk di depannya, agak jauh dari nona itu. Sungguhpun mereka duduk berhadapan, akan tetapi keduanya tidak berkata-kata dan bahkan tidak saling memandang. Sungguh keadaan yang amat lucu dan ganjil.
“Mengapa kau mati-matian mengejarku dan hendak berjalan bersamaku?” tanya Ling Ling tiba-tiba dan sepasang matanya yang indah dan tajam itu menatap wajah Sian Lun. Untuk sesaat, pemuda itu berusaha menahan serangan sinar mata ini, akan tetapi akhirnya ia menunduk karena pandangan mata gadis yang menyelidik ini benar-benar tajam sekali.
“Nona, aku tidak mempunyai niat buruk terhadapmu. Aku kagum sekali akan kegagahanmu, hanya aku merasa tidak enak mendengar ucapanmu tadi yang hendak membunuh pamanku Kwee Siong. Ketahuilah bahwa paman Kwee bagiku sama dengan ayahku sendiri. Tidak boleh kau mengganggunya. Dia orang yang baik-baik, semulia-mulianya orang, mengapakah kau begitu membencinya dan hendak membunuhnya?”
Ling Ling memandang tajam dengan kening berkerut. Ia amat benci kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang telah menyia-nyiakan ibunya. Ibunya menyatakan bahwa ayahnya itu tidak bersalah. Kalau memang ayahnya itu orang baik-baik, mengapa tidak dicarinya ibunya yang hidup seperti seorang “iblis” di dalam hutan? Mengapa ayahnya yang sudah menjadi seorang pembesar itu bahkan lalu menikah lagi dan telah memperoleh seorang putera? Mengapa ketika bertemu di pengadilan dulu, ayahnya tidak menerima mereka sebagai isteri dan anak? Kalau dipikir-pikir, bukan kaisar yang menjadi biang keladi kesengsaraan ibunya, melainkan Kwee Siong itulah! Orang itu harus dibunuhnya, untuk membalas sakit hati ibunya.
Kini melihat sikap Sian Lun yang hendak membela Kwee Siong, mendengar ucapan pemuda gagah ini yang memuji-muji Kwee Siong sebagai seorang yang berhati mulia, hatinya menjadi perih dan gemas sekali.
“Paman Kwee amat baik kepadaku,” terdengar lagi Sian Lun berkata, “seakan-akan aku anaknya sendiri. Ia memperlakukan aku seperti anak sendiri, mengajarku membaca dan menulis, memberi nasehat-nasehat dan pelajaran filsafat dan budi pekerti. Orang sebaik dia tidak mungkin mempunyai musuh dan tak mungkin mengganggu orang lain. Mengapa kau hendak membunuhnya, nona?”
“Kau tak perlu tahu, Liem-ciangkun. Urusan ini adalah urusanku sendiri, orang luar tak berhak tahu. Betapapun juga, aku akan mencarinya di Tiang-an dan akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Kata-kata ini diucapkan dengan tegas dan mengandung kemauan bulat.
“Tidak mungkin, nona. Perbuatanmu itu sebelum dapat kau lakukan, kau akan menghadapi seluruh penduduk Tiang-an, seluruh barisan di bawah pimpinan Jenderal Li Goan sendiri. Kwee-susiok adalah seorang yang dihormati dan dipandang tinggi oleh semua orang. Takkan mungkin mengganggu, lebih sukar dari pada mengganggu kaisar sendiri.”