“Cepat, jangan sampai terdahului oleh mereka!” Ling Ling memberi perintah dan mereka bergerak lebih cepat lagi untuk mendahului barisan yang dipimpin oleh Liem Sian Lun.
Sementara itu, Liem Sian Lun yang memimpin pasukannya, juga melihat pasukan Pek-sim- kauw ini menaiki bukit. Ia telah mendengar dari Pek Hong Ji bahwa pasukan itu dipimpin oleh Toat-beng Mo-li, wanita yang dicari-cari oleh pamannya, Kwee Siong itu. Ia tidak tahu mengapa pamannya mencari mereka, akan tetapi hatinya merasa gembira ketika mendengar bahwa dua orang wanita itu ternyata membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan kaisar. Kini melihat pasukan Pek-sim-kauw mempercepat gerakannya, iapun lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Maka bergeraklah dua pasukan itu dari lain jurusan, bercepat-cepat dan agaknya berlomba untuk dulu mendului menerjang pertahanan akhir dari kaisar di puncak bukit itu.
Bukan main sibuknya barisan pengawal kaisar menghadapi serbuan dua pasukan musuh ini. Betapapun juga, barisan pengawal terakhir ini adalah barisan terkuat, yang terdiri dari pada pengawal-pengawal yang setia dan gagah berani.
Mereka melakukan perlawanan hebat sehingga tidak mudahlah bagi pasukan-pasukan penyerbu untuk membobolkannya. Pertempuran hebat terjadi, di mana dari dua pihak jatuh korban-korban yang banyak sekali.
Di dalam kehebatan pertempuran ini, Ling Ling lalu memisahkan diri dan dengan cepatnya ia lalu mendaki bukit itu, menuju perkemahan kaisar yang berada di pinggir sebuah anak sungai.
Keadaan di puncak bukit itu indah sekali. Ketika Ling Ling sudah tiba di atas, ia sendiri terpesona oleh keindahan pemandangan alam di tempat itu. Suara pertempuran di lereng bukit hanya terdengar samar-samar saja dan keadaan di situ amat sunyi dan indah. Burung-burung berkicau, mengiringi desiran anak sungai, kadang-kadang dihembus angin gunung yang membuat daun-daun dan kembang-kembang menari-nari.
Perkemahan yang dibuat di situ amat banyaknya. Adapun kemah di mana kaisar berada merupakan kemah terbesar dengan bendera naga terpancang di atasnya.
Di situ nampak kosong dan sunyi, karena para penjaga semua dikerahkan ke lereng bukit untuk membendung serbuan para musuh. Akan tetapi, ketika Ling Ling hendak menyerbu ke dalam kemah kaisar itu, tiba-tiba muncul lima orang perwira dengan pedang di tangan.
Lima orang ini adalah pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah lima orang siwi (pengawal kaisar) yang berkepandaian tinggi, karena tingkat kepandaian mereka bahkan masih sedikit lebih tinggi dari pada kepandaian perwira-perwira kelas satu dari kerajaan.
Mereka inilah yang menjadi perisai kaisar dan untuk dapat menawan atau membunuh kaisar, orang harus dapat merobohkan mereka terlebih dulu. Bagaikan patung-patung batu, kelima orang siwi itu berdiri dengan pedang di tangan, menghadang di depan kemah dengan mata memandang penuh kemarahan.
“Nona, sekarang bukan waktunya bersenang-senang. Kalau kau hendak mencumbu Hong- siang, lebih baik mencari kesempatan lain waktu,” kata seorang di antara mereka dengan senyum sindir.
“Keparat jahanam! Aku datang untuk memenggal leher kaisar lalim!” “Oho, mudah benar kau membuka mulut!” seru siwi kedua.
Akan tetapi Ling Ling tidak mau banyak bicara lagi, pedang Pek-hong-kiam diputar cepat dan berobah menjadi segunduk sinar putih yang menerjang kelima orang siwi itu. “Bagus, kau dapat juga mainkan pedang!” seru seorang siwi dan kelimanya lalu menyambut serbuan Ling Ling. Gadis ini harus mengakui ketangguhan para lawannya, karena tangkisan pedang mereka membuat pedangnya terpental kembali, sedangkan kelimanya ternyata juga memiliki pedang pusaka yang kuat sekali.
Pertempuran terjadilah dengan hebatnya di tempat sunyi itu. Dan betapapun Ling Ling mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, namun sukar sekali baginya untuk merobohkan seorang di antara kelima pengeroyoknya.
Ilmu pedang para siwi itu amat kuatnya, karena mereka ini adalah murid-murid dari Bu-tong- pai yang sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat. Kalau saja mereka tidak maju berlima, agaknya Ling Ling masih akan dapat menang, karena sesungguhnya ilmu pedang Ling Ling yang luar biasa, yakni Kim-gan-liong-kiam-sut, masih lebih menang dan unggul daripada ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat.
Akan tetapi dengan majunya lima orang yang ilmu kepandaiannya setingkat ini, mereka merupakan lawan yang amat tangguh. Mereka dapat bermain pedang dengan saling membela dan saling melindungi, dan melakukan serangan pembalasan yang tak kalah berbahayanya.
Ditambah lagi oleh kelelahannya, Ling Ling mulai terdesak dan terkurung hebat. Akhirnya ia bermain pedang sambil mundur. Selalu menangkis dan harus mempergunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari bahaya maut yang disebarkan oleh pedang-pedang lawannya.
Ia menjadi marah dan penasaran sekali, Hanya keteguhan hati dan ketabahannya yang luar biasa saja membuat Ling Ling masih kuat bertahan selama itu. Pertempuran telah berjalan hampir seratus jurus, namun tetap saja kelima orang siwi itu tidak mampu merobohkan gadis pendekar ini.
Bukan main kagum dan penasaran rasa hati para siwi ini. Mereka telah berlatih hebat, dan ilmu silat mereka untuk di kotaraja, telah amat terkenal dan sukar dicari tandingannya. Setelah melalui ujian yang amat berat dan mengalahkan banyak calon-calon, barulah mereka diterima sebagai yang terkuat dan diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang gadis muda saja mereka tidak berdaya merobohkannya.
Sungguh memalukan sekali.
“Kurang ajar!” seru seorang siwi yang berjenggot panjang. “Rasakan hui-to (golok terbang) mautku!” Setelah berseru demikian, ia melemparkan tiga batang golok kecil yang melayang cepat sekali ke arah tubuh gadis itu. Hui-to ini benar-benar berbahaya sekali karena selain cepat sekali datangnya, juga mengeluarkan bunyi melengking yang dapat mengacaukan semangat lawan.
Tiga batang hui-to ini menyambar ke arah leher, dada, dan pusar Ling Ling. Dan pada saat itu, empat orang siwi lain sedang menyerang Ling Ling dari kanan kiri. Agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi gadis ini dan agaknya ia akan menjadi korban sambaran tiga buah hui-to tadi.
Akan tetapi ternyata Ling Ling memiliki ketabahan dan ketenangan yang luar biasa sekali. Begitu melihat serangan hui-to dari depan dan serangan pedang dari kanan kiri, tiba-tiba ia berseru nyaring dan ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dangan gerak tipu Trenggiling Turun Dari Gunung. Dengan amat cepatnya setelah tubuhnya rebah telentang sehingga tiga batang hui-to itu menyambar lewat di atasnya, ia lalu menggulingkan tubuhnya ke depan dan pedangnya menyambar cepat sekali ke arah kaki siwi yang melepaskan hui-to tadi.
Bukan main kagetnya siwi berjenggot panjang itu. Serangan balasan ini sama sekali tak pernah disangkanya, demikian cepat dan kontan datangnya. Ia cepat mengelak sambil melompat ke atas dan sebelum Ling Ling dapat melanjutkan serangannya, kawan-kawannya telah datang mengurung dan kembali Ling Ling dikeroyok lima.
Pada saat yang amat berbahaya bagi gadis itu, tiba-tiba terdengar seruan keras,
“Jangan khawatir, nona, aku datang membantumu membinasakan lima anjing penjaga ini!” Dan Liem Sian Lun telah memutar pedangnya yang bersinar kuning itu untuk menggempur para pengeroyok Ling Ling. Memang, dalam tugasnya ini, Sian Lun diberi pinjam pedang Oei-hong-kiam dari Jenderal Li Goan.
Biarpun tidak menjawab sesuatu dan berpura-pura tidak melihat Sian Lun, namun Ling Ling bertambah semangatnya ketika melihat pemuda yang pernah dikenal kelihaiannya ini. Pedang Pek-hong-kiam diputar makin cepat dan dengan sebuah sabetan kilat, ia berhasil membacok roboh seorang pengeroyok.
Tadi ketika mengeroyok Ling Ling seorang saja, lima orang siwi itu masih belum dapat mengalahkannya dalam seratus jurus, apalagi setelah sekarang Ling Ling mendapat bantuan Sian Lun yang ilmu pedangnya bahkan lebih lihai dari pada nona itu. Tentu saja kedua orang muda ini bukanlah makanan empuk bagi empat orang siwi itu dan tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan susul menyusul dan kelima orang siwi itu semua telah tewas di ujung pedang Sian Lun dan Ling Ling.
“Nona, dimanakah ibumu?” tanya Sian Lun yang tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap nona itu. Akan tetapi matanya memandang dengan amat kagum sehingga Ling Ling menjadi cemberut. Ia menganggap pandang mata pemuda itu kurang sopan. Tanpa menjawab sesuatu, Ling Ling lalu melompat dan menyerbu ke dalam kemah kaisar. Akan tetapi, di dalamnya ternyata sunyi dan kosong.
Ling Ling berjalan terus dan keluar dari pintu belakang kemah itu, diikuti oleh Sian Lun yang merasa penasaran melihat sikap nona yang seakan-akan membencinya itu.
Ketika kedua orang muda itu sampai di belakang kemah itu, tiba-tiba mereka berhenti dan berdiri memandang ke depan dengan muka tertegun. Apakah yang mereka lihat?
Kaisar Yang Te, masih nampak gagah dan berpakaian mewah, sedang berdiri di dekat anak sungai, dihadap oleh seorang kakek tua yang berpakaian sebagai pelayan. Terdengar suara kaisar itu berkata sambil tersenyum-senyum.
“Tidak betulkah kata-kataku tadi, Lao Kwang? Seorang kaisar harus menghadapi kebangkitan atau keruntuhannya dengan senyum di mulut. Semua orang memberontak, tidak ingat bahwa aku adalah kaisar yang harus mereka hormati, kaisar yang dipilih oleh Thian sendiri untuk memimpin rakyat seluruh negara. Ha, ha, ha! Dan sekarang mereka mengejar-ngejarku untuk membunuhku. Bukankah ini lucu sekali? Lihatlah, laksaan orang saling membunuh hanya karena aku seorang! Bukankah hal ini hebat sekali? Apakah artinya aku mengorbankan nyawaku untuk kebesaran seperti itu? Ha, ha, Lao Kwang, kau bilang apa tadi? Kaupun ingin pula memberontak?”
Kakek itu sambil bercucuran air mata lalu mencabut sebilah pedang pendek dan setelah berlutut ia lalu berkata,
“Hong-siang, junjunganku, juga anak yang kutimang-timang semenjak masih bayi! Mengapa tidak dulu-dulu paduka mendengar nasehat seorang rendah seperti hamba? Mengapa paduka, hanya menurutkan kata nafsu hati, menurutkan bujukan para pembesar buruk? Mengapa paduka ingin memuaskan hati tanpa memperdulikan pengorbanan rakyat jelata? Ah, apakah yang akan menimpa diri paduka?”
Kaisar itu tertawa bergelak. “Lao Kwang, kau seorang yang setia dan bersikap selalu merendah. Alangkah bodohnya kau ini! Kalau aku bertindak sebagai seorang kaisar yang bodoh dan mengalah, tdak mau memeras tenaga rakyat untuk membuat bangunan-bangunan besar, untuk menyerang negara timur, akan jadi kaisar apakah aku ini? Betapapun juga, akhirnya aku toh mesti mati. Kalau aku membiarkan keadaan negara tanpa memperkuatnya, biarpun dengan menekan rakyat, aku akan mati sebagai seekor semut, rakyat yang gendut dan senang akan lupa kepadaku dan negara sebentar lagi akan dirampas oleh orang asing.
Sekarang, biarpun aku mati, lihatlah saluran air yang megah, lihatlah tembok besar yang jaya, semua adalah bekas tanganku. Orang takkan melupakan selama sejarah berkembang. Mati?
Ha, ha, ha, siapa yang takut mati? Di dunia aku menjadi kaisar, mustahil di alam baka aku tidak diberi pangkat dan kedudukan? Aku adalah kaisar, tahu? Dalam keadaan bagaimanapun juga, kaisar tetap dihormati, menjadi tawanan pun berbeda dengan perajurit biasa. Tetap menjadi tawanan besar dan penting, diperlakukan penuh penghormatan!”
Pada saat itu, mereka melihat dua orang muda yang berdiri dengan pedang di tangan. “Hong-siang, musuh telah datang menyerbu!” bisik Lao Kwang
“Mereka itu?” Kaisar membalikkan tubuhnya dan menudingkan telunjuknya ke arah Ling Ling dan Sian Lun. “Hanya dua orang muda yang bodoh, yang menjadi alat dari pada keganasan perang! Apakah mereka ini akan dapat menggantikan kedudukanku? Ha, ha, ha!”
“Kaisar lalim, rasakan pembalasanku!” tiba-tiba Ling Ling berseru keras dan menyerbu. Akan tetapi, ia kalah dulu oleh Lao Kwang. Dari belakang, pelayan yang semenjak Yang Te masih kecil telah menjadi pelayannya itu, telah menusuk punggung Kaisar Yang Te dengan pedangnya. Kaisar itu mengeluh berat dan tubuhnya roboh telentang, tak bergerak lagi.
“Hamba ikut, tuanku!” kata Lao Kwang dan sebuah tusukan ke arah dadanya dengan pedang yang dipegangnya membuat ia roboh di samping Kaisar Yang Te.
Tertegunlah Ling Ling dan Sian Lun menyaksikan peristiwa ini. Untuk beberapa lama Ling Ling berdiri memandang ke arah tubuh kaisar itu. Inikah musuh besarnya? Inikah orang yang telah menghancurkan penghidupan ibunya? Yang telah menghancurkan penghidupan rakyat banyak? Sukar untuk dipercaya.
Kaisar ini hanya memerintah dan memberi petunjuk. Yang menjadi pelaksana bukanlah dia sendiri dan mana kaisar ini bisa mengetahui cara pelaksanaan perintahnya? Tahukah kaisar ini bahwa tenaga rakyat yang dikerahkan itu diperoleh dengan jalan yang curang dan keji oleh para petugasnya? Siapakah yang salah? Kaisarnya, atau para petugas yang nyeleweng, ataukah jamannya yang salah?
Setelah menarik napas panjang, Ling Ling lalu berpaling dan Sian Lun melihat betapa kedua mata gadis cantik itu basah oleh air mata. Ling Ling lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.
“Nona, tunggu dulu!”
Ling Ling menahan tindakannya. Mereka telah berada jauh dari kemah kaisar itu. “Kau mau apa?” tanyanya dengan tegas dan ketus.