Dalam keadaan sakit keras Kwee Siong lalu diangkat pulang ke rumah sendiri. Atas permintaannya, peristiwa itu dirahasiakan, hanya Kwee Siong dan Li Goan sendiri yang mengetahuinya. Bahkan Sian Lun sendiri tidak diberi tahu bahwa ibu dan anak yang menyerang Li Goan itu sebenarnya adalah isteri dan puteri dari Kwee Siong.
Nyonya Kwee Siong dari keluarga Liok adalah seorang yang terpelajar. Melihat keadaan suaminya dan mendengar betapa di dalam sakitnya, suaminya mengingau dan memanggil- manggil nama Sui Giok, ia menjadi curiga.
Ia telah diberitahu oleh suaminya bahwa suaminya dulu pernah menikah dengan orang yang bernama Sui Giok dan yang dikabarkan telah tewas, maka ketika ia melihat suaminya sudah menjadi agak sembuh, dengan halus ia mendesak dan membujuk kepada Kwee Siong untuk menceritakan keadaannya. Kwee Siong maklum akan kebaikan hati isterinya, maka ia lalu berterus terang, menceritakan apa yang telah terjadi.
Nyonya Kwee menjadi sangat terharu dan dengan setulus hatinya ia mengucurkan air mata. “Aduh, kasihan sekali mereka! Suamiku, mengapa pada saat kau bertemu dengan mereka, kau tidak mengajak mereka pulang ke sini? Mereka berhak duduk di sampingmu dan hidup bersama kita serumah. Dia adalah ibu dari anakmu yang sulung dan aku adalah ibu dari anakmu yang bungsu. Kami dapat menjadi enci-adik dan hidup rukun di sini.”
Kwee Siong menghela napas berulang berkali dengan penuh kemenyesalan.
“Aku berdosa besar ..... aku berdosa besar kepada mereka ” hanya inilah yang diucapkan
berkali-kali dan hatinya penuh dengan pertanyaan bagaimana Sui Giok yang lemah lembut itu kini telah menjelma menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan mengerikan. Akan tetapi siapakah dapat menjawab pertanyaan ini? Puterinya, Ling Ling yang dulu masih berada dalam kandungan Sui Giok ketika mereka terpaksa berpisah, ternyata demikian cantik jelita, demikian gagah berani, ah........
Tiada habisnya penyesalan menggerogoti hati Kwee Siong sehingga dalam beberapa bulan saja rambut kepalanya banyak yang menjadi putih, sikapnya makin pendiam dan seringkali ia duduk melamun. Sungguhpun ia masih melakukan tugas pekerjaannya seperti biasa, namun ia tak pernah lagi nampak gembira seperti biasa. Tentu saja isterinya juga ikut menjadi sedih.
Berkali-kali isteri yang bijaksana ini menghiburnya.
“Suamiku, kau tidak berdosa, sama sekali tidak berdosa. Kau bukan sengaja meninggalkan enci Sui Giok, dan kau menikah dengan aku karena mengira bahwa enci Sui Giok sudah meninggal dunia. Nasiblah yang menjadikan enci Sui Giok seperti itu dan yang telah merusakkan kebahagiaan rumah tanggamu bersama enci Sui Giok. Ada ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa perbuatan salah yang dilakukan tanpa disadarinya dan tanpa disengaja bukanlah perbuatan dosa. Lebih baik kita berusaha mencari mereka dan membawa mereka itu ke sini.”
Terhibur jugalah jati Kwee Siong oleh ucapan isterinya yang bijaksana ini dan ia mulai menyuruh orang-orangnya untuk mencari di mana adanya ibu dan anak itu. ******
Jenderal Li Goan ternyata adalah seorang yang tidak saja pandai mainkan senjata dan memimpin barisan, akan tetapi ternyata ia pandai pula menghatur pemerintahan. Ia mulai mengatur pemerintahan, mengangkat pembesar-pembesar, membagi-bagi tugas dan mulai mengatur pekerjaan, melanjutkan ketatanegaraan dengan adil dan baik. Disamping ini, ia masih mengerahkan pasukan-pasukannya untuk terus mengejar kaisar dan sisa balatentaranya.
Sementara itu, di mana-mana masih saja berkobar api pemberontakan. Sebagian besar para pasukan pemberontak yang bergerak menyendiri, dapat dibujuk dan dapat digabungkan dengan barisan di bawah pimpinan Jenderal Li.
Akan tetapi ada pula pemberontak-pemberontak yang mempunyai cita-cita sendiri dan yang bahkan memerangi pasukan Jenderal Li, oleh karena ini dipimpin oleh orang-orang yang sesungguhnya menginginkan kedudukan kaisar. Oleh karena ini, di mana-mana terjadi pertempuran antara pasukan kaisar melawan para pemberontak dan antara pasukan-pasukan Jenderal Li melawan pemberontak-pemberontak yang tidak mau menggabungkan diri.
Keadaan negara menjadi rusuh sekali, pertempuran kacau balau terjadi di mana-mana.
Kedudukan Kaisar Yang Te makin lemah, sungguhpun kaisar ini masih melakukan perlawanan mati-matian. Pemberontak-pemberontak yang paling hebat menggempur barisan Kaisar Yang Te adalah sepasukan pemberontak baru yang terdiri dari pendeta-pendeta dan anak buah perkumpulan agama Pek-sim-kauw.
Mereka ini berjuang tanpa maksud untuk keuntungan diri sendiri. Mereka hanya bergerak untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Yang Te yang amat dibenci karena kelalimannya. Tadinya anggauta-anggauta Pek-sim-kauw ini bangun dan menggabungkan diri dengan para pemberontak setempat, tidak memilih pihak mana dan siapa yang memimpin pemberontakan itu.
Akan tetapi, akhirnya terbuka mata mereka dan yang merasa bahwa barisan pemberontak di mana mereka menggabung diselewengkan pemimpinnya yang memberontak dengan maksud untuk menjadi kaisar, lalu keluar dari pasukan itu. Akhirnya para anggauta Pek-sim-kauw ini agaknya mendapatkan seorang pemimpin baru dan mereka bersatu merupakan sebuah pasukan Pek-sim-kauw yang luar biasa kuatnya.
Tiap kali terjadi pertempuran antara barisan Pek-sim-kauw melawan barisan pelindung kaisar banyaklah perwira-perwira gagah perkasa dari kaisar yang roboh tewas oleh pasukan yang kuat ini. Sesungguhnya pasukan Pek-sim-kauw ini tidak seberapa banyak jumlahnya, akan tetapi mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi pemimpin mereka yang baru, ternyata bahwa pemimpin ini amat tangguh dan tiap kali pasukan Pek-sim-kauw menghadapi perlawanan yang dipimpin oleh seorang perwira lihai selalu pemimpin Pek-sim-kauw inilah yang merobohkan perwira itu.
Siapakah pemimpn Pek-sim-kauw yang lihai ini? Bukan lain adalah Ling Ling dan ibunya, Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ibu dan anak ini melarikan diri dari tempat tahanan setelah dilepaskan oleh Sian Lun. Karena Sui Giok merasa hancur hatinya dan habis binasa pengharapannya ketika mendengar bahwa suaminya yang kini telah menjadi seorang pembesar tinggi ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera. Kalau dulu di dalam setiap tindakan, Sui Giok selalu menjadi kemudi dan selalu mencegah puterinya berlaku ganas, adalah kini nyonya mempunyai sepak terjang mengerikan sekali. Di dalam setiap pertempuran, Sui Giok mengamuk bagaikan kerbau luka, menghancurkan tentara musuh yang berani menghadapinya.
Ia berlaku nekad dan tidak memperdulikan lagi bahaya yang mengancamnya, seakan-akan ia tidak perduli lagi akan hidup matinya. Memang nyonya ini telah putus harapan dan di dalam dadanya terdapat kedukaan besar sekali yang selalu disembunyikan dari mata orang lain, bahkan dari mata puterinya sendiri.
Ling Ling dan Sui Giok diangkat menjadi pemimpin oleh pasukan Pek-sim-kauw, ketika pada suatu hari serombongan pendeta Pek-sim-kauw terdiri dari belasan orang telah dikurung oleh sepasukan tentara kaisar di dalam sebuah hutan. Belasan pendeta Pek-sim-kauw ini melawan mati-matian, akan tetapi karena pihak lawan amat banyak jumlahnya dan dipimpin oleh lima orang perwira kelas satu, agaknya rombongan pendeta Pek-sim-kauw itu tidak akan menang dan tidak mempunyai jalan keluar pula.
Tiba-tiba terdengar bentakan merdu dan nyaring dan dua bayangan orang yang luar biasa sekali gerakannya menyerbu masuk, mengocar-ngacirkan barisan kaisar ini dan dalam beberapa jurus saja telah berhasil merobohkan lima orang perwira kaisar. Barisan kaisar menjadi kacau balau dan ketika melihat betapa pemimpin-pemimpin mereka gugur, mereka lalu melarikan diri.
“Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li!” tiba-tiba terdengar seruan heran dan ketika kedua orang wanita yang telah membantu mereka itu menengok, Ling Ling dan Sui Giok mengenal bahwa di antara para pendeta itu, terdapat dua orang pendeta yang mereka kenal baik, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji dua orang di antara Pek-sim Ngo-lojin di Cengtu.
Demikianlah, Ling Ling dan ibunya lalu diangkat menjadi pemimpin mereka dan ketika ditanya, Pek Hong Ji dan adiknya memberitahukan bahwa tiga orang di antara kelima kakek gagah itu, yakni Pek Im Ji, Pek Yang Ji, dan Pek Te Ji, telah gugur di dalam pertempuran- pertempuran yang lalu.
Dengan adanya pasukan Pek-sim-kauw ini, maka para anggauta dan pendeta Pek-sim-kauw yang tersebar di mana-mana lalu datang menggabungkan diri sehingga pasukan ini menjadi makin besar dan kuat. Pasukan ini bermarkas di dalam sebuah hutan di luar kota Yang-kouw di mana Kaisar Yang Te membangun benteng sebagai tempat pertahanan terakhir.
Memang, karena dikejar-kejar dan sebagian besar barisannya telah dapat dipukul mundur hancur, Kaisar Yang Te dengan para pengikut dan pasukannya yang masih bersetia kepadanya, lalu bersembunyi di dalam kota Yang-kouw. Sisa-sisa barisan dikumpulkan dan dipusatkan di tempat ini, membuat pertahanan yang cukup kuat. Beberapa kali pasukan- pasukan pemberontak datang menggempur, akan tetapi pertahanan kaisar ini berhasil memukul mundur barisan penyerang sehingga sampai hampir setahun kaisar itu masih hidup selamat di kota Yang-kouw ini.
Pada suatu hari, ketika Ling Ling dan Sui Giok sedang duduk beristirahat di bawah sebatang pohon pek yang besar, datanglah seorang pendeta Pek-sim-kauw dan setelah dekat, ternyata bahwa yang datang itu adalah pendeta Pek Hong Ji. Napasnya terengah-engah tanda bahwa pendeta yang sudah tua ini telah berlari-lari dari tempat jauh dalam keadaan yang tegang.
“Ada apakah, totiang?” tanya Ling Ling sambil bangun berdiri.
“Siocia, toanio, pertempuran besar telah dimulai! Penyerbuan besar-besaran telah terjadi, dilakukan oleh barisan Jenderal Li dari Tiang-an. Inilah saatnya benteng Yang-kouw dihancurkan.”
Seakan-akan menjadi bukti dari laporan pendeta Pek Hong Ji ini, tiba-tiba terdengar sorak sorai yang riuh sekali dari jurusan kota Yang-kouw.
“Bagus, kita harus cepat menyerbu, membantu barisan Jenderal Li!” dengan sigap Ling Ling memberi perintah. “Kumpulkan kawan-kawan kita dan kita menyerbu dari belakang kota.
Biarkan barisan Tiang-an yang besar jumlahnya menggempur dari depan dan selagi para tentara kaisar mempertahankan dan mengumpulkan kekuatan di benteng depan, kita menyerbu dari belakang dan memasuki kota!”
Ketika pasukan mereka sudah berkumpul dan hendak berangkat, Sui Giok berkata kepada Ling Ling dan kepada kedua pendeta Pek-sim-kauw, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji.
Kalau kita sudah berhasil menyerbu masuk, jangan mengganggu kaisar, dia adalah bagianku dan pedang ini yang akan menamatkan riwayatnya!”