Ang-hoa Mo-li yang melihat betapa anak buahnya telah empat orang mengundurkan diri dan terluka, makin merasa gentar dan tiba-tiba ia melompat keluar dari kalangan pertempuran dan hendak melarikan diri ke dalam kelenteng. Akan tetapi tangan kiri Hwe Lan bergerak dan tiga butir thi-lian-ci meluncur cepat dan ketiga-tiganya tepat mengenai sasaran, sebuah mengenai belakang leher, kedua mengenai punggung dan ketiga mengenai belakang lutut! Tanpa dapat dicegah lagi tubuh “Dewi Kahyangan” itu terguling sambil mengeluarkan jeritan ngeri!
Pada saat itu, dari luar menyerbulah para penonton mengiringkan sepasukan penjaga kota. Ternyata bahwa para penonton telah memberi laporan kepada yang berwajib bahwa kelenteng Ang-hoa-kauw telah kedatangan penjahat-penjahat dan pembesar-pembesar setempat yang juga telah berada di bawah pengaruh kelenteng itu, segera mengirim tentara untuk menangkap!
Melihat hal ini, Hong An lalu melompat ke atas panggung tempat Ang-hoa Mo-li biasanya duduk bersila dan ia berkata dengan suara nyaring,
“Cu-wi sekalian dengarlah keteranganku! Kalian telah ditipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pendeta ini! Ketahuilah bahwa orang yang kalian anggap sebagai Ang-hoa Pouw-sat itu bukan lain adalah seorang kepala perampok wanita berjuluk Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah) yang dibantu oleh seorang penjahat ahli hoat-sut (ilmu sihir) yang mengaku bernama Ang-hoa Sianjin! Pencucian dosa hanya tipu muslihat belaka. Kalian tidak percaya? Carilah kembang merah yang masih tersisa dan periksalah di dalamnya, kalian akan mendapatkan bahwa di dalam kembang-kembang itu terdapat obat yang dapat membuat air menjadi hitam. Kalian telah ditipu tanpa sadar! Kegaiban mereka hanyalah palsu belaka dan buktinya, kalau memang mereka itu gaib dan sakti, mengapa kini roboh oleh kami orang-orang biasa? Sekarang terserah kepada cu-wi unutk melakukan pemeriksaan sendiri!”
Setelah berkata demikian, Hong An melompat turun di depan Hwe Lan dan berkata, “Nona, lebih baik kita pergi dari sini, biarlah penduduk kota ini yang memberi keputusan dan hukuman sendiri!”
Hwe Lan memandang kagum dan mengangguk. Ia lalu menggandeng tangan Sui Lan dan menyusul pemuda itu yang telah melompat dan pergi dengan cepat dari tempat itu. Hwe Lan mengambil buntalan yang tadi dikaitkan di pohon. Kedua orang dara itu melompat naik ke atas kuda yang cukup kuat unutk membawa dua tubuh gadis yang ringan itu.
Para penduduk kota itu ketika mendengar ucapan Hong An, menjadi terkejut sekali dan merasa ragu-ragu, demikianpun para anggauta pasukan penjaga kota. Akan tetapi ketika mereka melihat Ang-hoa Sianjin yang dianggapnya kebal dan sakti itu telah rebah tak berkutik lagi, sedangkan Ang-hoa Pouw-sat yang dianggapnya dewi dari kahyangan yang menjelma di atas bumi itu kini telah rebah terluka dalam keadaan pingsan, mereka menjadi tertarik dan mulai merasa curiga. Seorang di antara mereka menuju ke tempat penjualan “bunga pencuci dosa” dan ketika ia mengambil setangkai bunga merah dan memeriksanya dengan teliti, ia berseru,
“Benar! Di dalamnya ada beberapa butir bahan warna hitam yang biasanya untuk mewarnai benang sulam! Celaka! Benar-benar kita telah tertipu!”
Maka berbondong-bondonglah mereka memasuki kelenteng itu dan mengadakan pemeriksaan, dan hasilnya membuat mereka menjadi marah sekali. di dalam kelenteng itu terdapat sebuah kamar yang amat indah dan mewah, yakni kamar Ang-hoa Mo-li dan pendeta gemuk itu, karena di dalam kamar itu ditemukan pakaian mereka. Dan selain itu, juga didapatkan banyak sekali uang perak dan emas, hasil yang mereka kumpulkan selama ini!
Maka diseretlah kedua orang penipu itu oleh rakyat dan dibawa ke kantor pengadilan. Keadaan mereka telah payah dan biarpun belum mati, akan tetapi mereka tak berdaya lagi. Demikianlah, nasib dua orang jahat yang menipu rakyat secara licin.
Ketika Hwe Lan dan Sui Lan tiba di luar kota, ternyata Hong An telah menanti mereka di tempat teduh. Hwe Lan dan Sui Lan melompat turun dari kuda dan memberi hormat kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.
“Baiknya saudara datang menolong, kalau tidak, entah bagaimana nasih kami enci dan adik,” kata Hwe Lan. “Maka sudah sepatutnya kalau kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan saudara yang gagah perkasa.”
Hong An tersenyum dan merasa geli karena melihat betapa besar perubahan yang terjadi dengan gadis ini.
“Ah, nona, kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apakah harus bersungkan-sungkan lagi? Tanpa disangka- sangka dapat bertemu dengan nona di kota itu, sungguh-sungguh merupakan karunia besar dari Tuhan! Bukankah itu suatu tanda baha kita berjodoh untuk... untuk berkawan?”
Ucapan pemuda ini membuat Hwe Lan merasa heran sekali, akan tetapi Sui Lan yang jahil dan nakal itu menahan senyumnya.
“Eh, eh, kiranya kalian sudah menjadi sahabat kental! Enci, kau sama sekali belum menceritakan padaku tentang... dia ini!”
“Hush, tutup mulutmu, Sui Lan!” seru Hwe Lan dan Sui Lan menyembunyikan senyumnya di balik tangannya.
“Sesungguhnya, aku merasa belum pernah berjumpa dengan saudara, bolehkah kami mengetahui nama saudara?” tanya Hwe Lan pula sambil memandang tajam karena melihat sikap pmeuda yang seakan-akan mengenalnya ini, ia merasa curiga dan berlaku hati-hati.
Kembali pemuda itu tersenyum, akan tetapi senyumnya membayangkan kekecewaan hati.
“Ah, nasib!” katanya. “Namaku memang tak berharga unutk diingat orang. Biarlah, kalau memang lupa, namaku adalah Kui Hong An, dan aku anak murid Kun-lun-pai. Bolehkan sekarang aku mengetahui nama nona berdua?”
Tiba-tiba terdengar Sui Lan mentertawakan. “Ha, akal bulus ini kelihatan sekarang! Enci, Hwe Lan, orang ini terang membohong! Kalau ia sudah pernah kenal padamu mengapa tidak mengetahui siapa adanya namamu? He, sobat, jangan kau main-main dengan kami! Pemuda-pemuda ceriwis macam kau ini sudah banyak kulihat!”
Hong An tertegun, karena memang dulu ketika ia bertemu dengan Siang Lan, gadis itu tidak mau memberitahukan namanya. Akan tetapi, Hong An memang beradat sabar, maka ia hanya tersenyum mendengar serangan Sui Lan ini, katanya. “Sudahlah, tidak mau memberi tahu namapun tidak apa karena aku sekarang sudah tahu. Kau bernama Hwe Lan dan adikmu ini bernama Sui Lan!”
Sui Lan cemberut dan merasa telah kena diakali. “Hm, kau mendengar enciku menyebut namaku, dan aku menyebut nama enciku! Bagus, sungguh akal bulus seorang pemuda ceriwis!”